28.8 C
Jakarta

Bantu Selesaikan Konflik Laut Cina Selatan, Indonesia Bisa Gunakan Jalur Diplomasi

Baca Juga:

JAKARTA – Konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan banyak negara harus disikapi dengan arif oleh Indonesia. Sebab meski tidak menjadi bagian dari konflik tersebut tetapi dengan posisinya yang berdekatan, membuat Indonesia bisa terkena imbas dari konflik.

“Dalilnya kalau rumah tetangga terbakar maka kita tidak bisa bilang rumah kita aman,” kata Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A, Pakar Hukum Laut Internasional, di sela Diskusi Panel Serial ke-15 bertema Mengenali Ancaman dari Luar Negeri (Perkembangan Internasional) yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YNSB) bekerjasama dengan FKPPI dan Aliansi Kebangsaan, Sabtu (1/9).

Kepentingan-kepentingan dari konflik Laut China Selatan memang Indonesia tidak terlibat secara langsung. Indonesia bahkan tidak memiliki klaim wilayah terhadap fitur-fitur Laut Cina Selatan. Tetapi  jika 9 garis putus-putus Cina/Cina Taipei adalah wilayah kedaulatan atau kewenangan yang diklaim Cina atau Cina Taipei, maka hal itu dapat bersinggungan dengan ZEE dan landas kontinen Indonesia.

Itu sebabnya menurut Hasjim, Indonesia perlu mengambil peran dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan. Melalui kemampuan diplomasi, Indonesia bisa mengajak pihak berkonflik untuk duduk bersama guna mencari jalan keluar terbaik.

“Seperti saat Indonesia mengambil peran dalam penyelesaikan konflik Kamboja, ini bisa diterapkan pada konlik Laut Cina Selatan,” tambah Hasjim.

Klaim dan konlik Laut Cina Selatan meliputi klaim laut antara Cina dan Cina Taipei atas laut di dalam 9 garis putus-putus yang tidak jelas koordinatnya dan hak-hak mereka atas adjacent waters.

Klaim oleh negara lain seperti Filipina atas gugusan Kepulauan Kalayan, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vitenam atas ZEE dan landas kontinen seperti tertera dalam UNCLOS 1982. Dan Cina Taipei mengkalim atas dasar sejarah dan penguasaan efektif terhadap pulau-pulau tertentu.

Sementara itu Pontjo Sutowo, Ketua Aliansi Kebangsaan mengatakan spektrum ancaman terhadap wilayah dan kedaulatan bangsa berkembang sangat dinamis. Jika pada perang dunia kedua ancaman lebih dilihat sebagai perang fisik dan adu kekuatan militer, maka tidak demikian untuk era globalisasi ini.

“Bentuk ancaman negara menjadi sedemikian unik dengan sumber ancaman yang semakin luas,” jelasnya.

Pontjo mengingatkan bahwa perang kini melibatkan berbagai sendi kehidupan secara multidimensi atau sering disebut sebagai perang generasi ke-4 (Fourth Generation of War-4GW). Perang ini cenderung menghancurkan musuhnya dengan sasaran non fisik seperti ideologi, ekonomi, social, budaya, mental dan sebagainya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNDP, pada tahun 1994 telah mendorong perlunya perubahan konsep dan focus keamanan menuju paradigma yang lebih menekankan pada keamanan manusia. Keamanan tersebut meliputi 7 wilayah yakni keamanan ekonomi, makanan, lingkungan, individu, komunitas, dan politik.

Dalam kaitannya dengan konflik Laut Cina Selatan, menurut Pontjo konsep keamanan nasional Indonesia harus dimaknai secara komprehensif. Bahwa keamanan tidak hanya sebatas pada urusan menjaga batas-batas territorial dan kedaulatan bangsa, tetapi juga harus menjamin, memenuhi dan melindungi masyarakat dan warga negaranya.

Menurut Pontjo ada beberapa isu global yang berpotensi menjadi ancaman bagi bangsa dan negara kita saat ini. Diantaranya isu The Belt and The Road Inisiative, isu Silent Invasion dan desakan agar Indonesia segera menetapkan ALKI-IV (Timur-Barat).

The Belt and The Road Inisiative atau dikenal OBOR merupakan perluasan pembangunan infrastrktur yang diprakarsai Cina dengan skema Turn Key Project Management yaitu proyek yang dana, manajemen, materiil, marketing dan tenaganya berasal dari Cina. Indonesia telah berpartisipasi dalam inisiatif ini, oleh karena itu perlu didalami potensi ancaman yang akan timbul.

Isu Silent Invasion yakni kampanye spionase dan pengaruh intrik China yang sistematis mengarah pada erosi kedaulatan Australia. Erosi ini disebabkan antara lain gelombang migrasi China ke Australia termasuk didalamnya para milyuner, pemilik media, mahasiswa dan kaum professional. Isu ini perlu dikaji kemungkinan terjadi di Indonesia.

Sekalipun Indonesia telah menetapkan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yakni ALKI I, II dan III, tetapi sejak 2008 muncul desakan dari AS dan Australia agar Indonesia menetapkan ALKI IV yang membentang dari Laut Arafuru-Laut Jawa. Indonesia perlu mengkaji desakan tersebut terkait potensi ancaman bagi Indonesia.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!