Oleh : Yuliani Winarti, M.PH *)
Sejatinya tidak ada anak yang nakal, yang ada hanyalah anak yang tangki jiwanya sedang kosong. Setiap anak memiliki hak lahir untuk hidup, hak cinta dan kasih sayang tulus dan dibesarkan dengan bahagia oleh orang tua yang mencintai mereka, namun saat ini banyak sekali orang tua yang menjadi toxic parent, istilah yang cukup menohok untuk menggambarkan bagaimana saat ini orang tua jauh dari kata bahagia dalam mendidik dan mengasuh anaknya.
Toxic parents itu sendiri diartikan sebagai perilaku orang tua yang menyebabkan anak merasakan ketidaknyamanan secara terus menerus. Toxic parent adalah orang tua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik sebagai individu. Anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh yang destruktif dan kasar, mampu meracuni psikologis anak. Dalam psikologi, orang tua dengan pola asuh seperti ini kerap disebut toxic parents.
Tak jarang, anak-anak yang besar dalam pengasuhan toxic parents tumbuh dengan membawa luka batin dan perasaan traumatis. Ketidakbahagiaan pada anak, lonely, tidak dihargai, kata-kata kasar membuat anak tersakiti secara batiniah, hatinya dingin terhadap orangtuanya, dan tidak betah di rumah, akhirnya dapat menimbulkan berbagai masalah dalam diri anak pada tahap perkembangan selanjutnya terutama dalam perkembangan jiwa dan sosialnya di masyarakat.
Apa dan bagaimana toxic parents itu? Berikut ciri-ciri orang tua yang toxic parent: (1) Sumbu pendek. Formasi tubuh orangtua yang sedang lelah mudah tersulut emosinya, mudah marah, anak menjadi pelampiasan kekesalan ortu, dari masalah yang tidak seharusnya ditimpakan kepada anak. Orang tua yang gampang sekali marah melihat sikap dan perilaku anak yang tidak sesuai dengan keinginannya dinamakan sumbu pendek. (2) Self center. Orang tua yang menjadikan dirinya selalu utama, anak hanya sebagai pemuas ego, orang tua dengan self center ini biasanya tidak sadar memperlakukan anak hanya untuk mencari pengakuan atas dirinya, tidak tahu dan tidak perduli anak suka atau tidak, menuangkan ambisinya pada anak.
Dalam hal ini orang tua ingin memiliki kontrol penuh kepada sang anak, tidak memperbolehkan anak memiliki emosi, tidak menghargai anaknya, dan menggunakan rasa bersalah anak untuk ketenangan orang tua.
“Misalnya…’kalau kamu enggak membantu mama, nanti mama jadi sedih dan susah’. Hal seperti ini membawa dampak anak merasa bersalah, bahwa apa yang mereka lakukan mengakibatkan orang tua sedih. (3) Tidak tepat menghandel anak. Banyak orangtua merasa kebingungan anaknya mau diapain. Pada poin ini tidak akan kita dapat jalan keluar ketika tidak dekat dengan anak. (4) Suka mengontrol. Semua mau diatur, semua di handel orangtua, anak sudah rapuh akan makin rapuh jika orangtua semua yang handel, tidak mengapa anak kita merasakan jatuh biar dia belajar bagaimana caranya bangkit, orangtua harus belajar kapan ngerem kapan ngegas.
(5) Selalu menyalahkan anak. Selalu menuntut dan menyalahkan anak. Selain itu, apa pun usaha dan hasil yang dilakukan oleh anak tak pernah cukup baik baginya. Ia selalu mencari kesalahan dan jarang mengapresiasi anak. (6) Sering mempermalukan anak di depan Orang lain atau keluarga besar. Orangtua yang toxic juga kerap mempermalukan anaknya dengan sangat buruk. Ia akan mengejek, merendahkan, memukul, memaki, atau meneriaki anak di depan orang lain, terutama teman-temannya, sehingga anak merasa sangat malu. (7) Merasa bersaing dengan anak. Hindari perasaan bersaing dengan anak, hal ini dikarenakan orangtua merasa tidak cukup dengan dirinya. Bukan hanya selalu merasa benar, toxic parents juga akan bertindak seperti orang yang sedang bersaing dengan anak. Jadi, alih-alih menyemangati dan merasa bahagia atas keberhasilan anak, ia malah membuat anak down, mengabaikannya, dan merasa tidak suka jika anak senang.
Figur orangtua tentu saja akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Oleh sebab itu, sebagai orangtua yang baik tentu harus memberi pola asuh yang tepat untuk anak. Jangan sampai pola asuh yang buruk membuat keutuhan keluarga menjadi bermasalah. Untuk menghindari toxic parents maka pola asuh perlu diperbaiki dalam komunikasi di keluarga, hindari pola asuh otoriter (kendali penuh oleh ortu, semua dihandel ortu), permisif (kendali penuh ada pada anak, semua keinginan anak di-iyakan), pola asuh cuek (tidak mengatur dan cenderung abai) tetapi sebaliknya pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang ideal diterapkan dalam keluarga, komunikasi dengan anak seperti sahabat, dekat pada anak tetapi tidak kehilangan wibawa di depan anak.
Jika Anda menjadi toxic parents, anak tidak akan merasa senang ketika berbicara, menghabiskan waktu, atau berpikir tentang Anda. Bahkan anak bisa menjadi sangat ketakutan, depresi, atau emosional hingga melampiaskannya pada hal lain.
Bila Anda merasa memiliki ciri-ciri toxic parents, tak ada salahnya bagi Anda untuk secara perlahan memperbaikinya. Selain itu, Anda juga dapat berkonsultasi pada psikolog keluarga untuk mendapat bantuan secara profesional dalam mengatasi masalah ini. Perlu Anda ingat bahwa anak adalah titipan yang senantiasa harus selalu kita jaga.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan guna menghindari toxic parent, yaitu orangtua harus mindfull parent (kebalikan dari toxic parent), orangtua yang menikmati tumbuh kembang anak, sumbu orangtua panjang, orangtua senang, tenang dan melakukan fitrah-fitrah pengasuhan dengan penuh ridho, menerima masukan dari siapapun termasuk dari anak, mau terus berubah, dekat dengan anak, maka anak akan lebih kuat (strong from home) dengan pengasuhan yang tepat.
__
Opini ini dalam rangkaian mensukseskan program psikososial Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Senyum Bersama Meratus.
*)Dosen Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur