Di puncak bukit itu, awan hampir selalu menutupi. Selimut putih itu, sejak pagi hanya terbuka sebentar di siang hari. Tapi tidak lama kemudian, selimut putih itu sudah menutupi sebagian besar kaki bukit.
Anehnya, bagian atas terlihat cerah. Sinar matahari terang benderang, tapi seolah-olah tak mampu menembus tebalnya selimut awan putih itu. Di sebuah desa kecil, yang berada di salah satu lembah yang asri bernama Lembah Anggrek, menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi tiga puluh keluarga.
Salah satunya, seorang petani padi yang amat rajin bernama Pras dan istrinya, Kirana. Pras dikenal sebagai pria yang bijak dan penyayang, sementara Kirana, yang memiliki kecantikan menawan. Tapi kecantikan itu, terlalu sering dilupakan ketika melihat perangainya yang sering kali keras kepala. Ia sangat sulit menerima saran dari orang lain, termasuk suaminya sendiri. Bahkan, ia membatah dengan kata-kata yang amat tajam hingga menusuk hati dan jantung.
Suatu malam, Pras bermimpi buruk. Ia melihat Kirana berjalan sendirian di sebuah hutan lebat yang dipenuhi aroma bunga liar. Aroma yang mengingatkan dengan kondisi lembah di atas Lemba Anggrek.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak belukar yang amat rimbun, menyerual muncul seekor serigala besar. Kepalanya yang menonjol dan bulu hitam legam, ditambah sorot mata merah menyala. Dalam hitungan detik, serigala itu menerkam Kirana, mencengkeram lehernya, dan menyeretnya ke dalam gelap dan entah apa yang dilakukannya.
Dari kejauhan, hanya terdengar teriakan Kirana. Meski kencang, tetapi tak ada seorangpun yang datang membantunya. Saat akhirnya ia berhasil lolos entah dengan cara apa dari cengkraman srigala itu, wajah dan lehernya penuh luka. Meski tidak terlalu dalam, namun meninggalkan bekas yang sulit disembuhkan. Kondisi ini membuat wajah cantiknya, tak lagi seperti sebelumnya.
Cerita
Keesokan paginya, dengan wajah tegang, Pras menceritakan mimpinya kepada Kirana. Ia tak ada maksud apapun, kecuali hanya bercerita tentang mimpinya itu. “Kirana, aku memohon padamu, jangan pergi ke hutan hari ini. Aku merasa mimpi itu adalah peringatan,” katanya penuh kekhawatiran.
Namun, Kirana hanya tersenyum sinis. “Itu hanya mimpi, Pras. Kau terlalu berlebihan. Lagipula, kau pasti hanya ingin aku tetap di rumah agar tak melihat apa yang sebenarnya kau rencanakan di belakangku.”
Pras menghela napas panjang. “Aku hanya ingin melindungimu. Percayalah padaku, Kirana.”
“Baiklah, aku akan menurut,” jawab Kirana akhirnya. Namun dalam hati, ia bertekad untuk membuktikan bahwa Pras salah. Ia ingin memperlihatkan kehebatannya. Pras pasti salah, dan ia akan kalah, kemudian mengalah dan makin bertekuk lutut padanya. Pikiran-pikiran ini memenuhi isi kepala Kirana, berputar semakin cepat dan semakin cepat.
Tanpa sepengetahuan Pras, Kirana rupanya berangkat ke hutan. Ia yakin, bahkan sangat yakin kalau Pras sebetulnya sedang menyembunyikan sesuatu. Pikiran inilah yang justru mendorongnya untuk tetap pergi ke hutan, dan ia ingin mencari tahu apa yang sesungguhnya disembunyikan Pras.
Masuklah Kirana ke dalam hutan yang sunyi. Ia mencari tempat yang cocok dan pas untuk menjalankan aksinya. Ia bersembunyi di balik pohon besar. Dari tempatnya bersembunyi ini, ia bisa mengawasi setiap sudut hutan tersebut. Memang tempat persembunyian itu sangat ideal. Tak ada orang yang bisa dengan mudah menemukannya.
Setelah lebih satu jam bersembunyi, memasuki jam kedua ia pun menyaksikan tak ada hal yang mencurigakan. Ia mulai merasa lelah dan lega. Saat itulah, degup jantung Kirana bergerak cepat. Ia merasakan kekhawatiran yang amat sangat. Tiba-tiba dari balik semak belukar terdengar suara gemerisik. Saat ia menoleh, di hadapannya berdiri seekor serigala besar muncul. Kepala besar dengan bulu berdiri warna hitam legam dan sorot matanya merah menyalah. Amat menakutkan.
Kirana membeku. Ia hanya sempat berbisik untuk dirinya sendiri. Ia berdoa, “Ya Tuhan, tolong aku,” sebelum serigala itu menerkamnya. Taring tajamnya telah mencengkeram leher Kirana. Sang srigala kemudian, menyeret mangsa buruannya yang sudah tak berdaya. Kirana tak mampu berteriak. Ia hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa di leher karena luka akibat cengkraman taring yang kuat.
Nyawa memang di tangan Allah. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh tanpa izin Allah. Beruntung, beberapa pemburu yang kebetulan berada di dekat situ mendengar suara gemeretak dari semak-semak. Mereka memang tidak mendengar ada teriakan Kirana, karena tak sempat dilakukannya. Tapi sebagai pemburu handal, mereka berlari mendekat tempat mencurigakan itu. Mereka mulai berteriak, dan mengacungkan tombak ke arah serigala. Takut dengan ancaman yang datang tiba-tiba, serigala itu akhirnya melepaskan buruannya, Kirana dan segera melesat melarikan diri ke dalam kegelapan hutan.
Para pemburu pun membawa Kirana pulang ke rumah. Wajah dan lehernya penuh luka yang cukup parah. Meski para tabib desa berusaha keras menyembuhkannya, bekas luka itu tak pernah hilang sepenuhnya. Tapi nyawanya bisa diselamatkan. Ada luka yang cukup membekas. Luka yang sedikit banyak mempengaruhi kecantikan Kirana. Kecantikan yang dulu ia banggakan, kini berubah menjadi kesedihan yang tak pernah bisa ia lupakan. Ada penyesalan di dalam hatinya. Penyesalan karena mencurigai dan tak mau dengar semua nasehat orang lain, termasuk suaminya.
Sejak saat itu, dalam hatinya, Kirana tak lagi ingin mengabaikan saran Pras. Ia menyadari bahwa cinta dan perhatian suaminya bukanlah omong kosong. Itu bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang selalu melindunginya, meski ia sendiri sering kali tak menyadarinya.
Apa yang dialami Kirana, kemudian menjadi pelajaran penting tidak hanya bagi Kirana. Namun itu menjadi hikmah bagi semua warga di desa Lembah Anggrek. Cerita tentang mimpi Pras dan nasib yang menimpa Kirana, menjadi pelajaran berharga dan buah bibir yang tak ada habisnya. Kisahnya diceritakan di warung-warung, di pertemuan desa, di saat istirahat disela-sela membersihkan kebun.
Mimpi, sebagaimana dikatakan orang-orang tua, terkadang membawa pesan yang tak boleh diabaikan.
Semakin lama, warga pun tidak berani mengabaikan apa yang terjadi di dalam buah tidurnya. Mereka tak punya alasan lain, kecuali kekhawatiran terhadap apa yang terjadi di dalam mimpinya, menjadi peristiwa yang jadi kenyataan. Sebagian ingin mendapat mimpi dan menjadi petunjuk, sebagian lainnya takut dengan bermimpi yang menjadi kenyataan.
Satu hal yang jelas, hari-hari berikutnya memang tidak sepenuhnya kembali normal bagi Kirana. Tidak juga bagi warga desa. Satu hal yang juga jelas, tak ada lagi hari-hari indah bagi Kirana. Dalam hati Kirania sekarang, ia kerap dihantui oleh bayangan seringai taring serigala itu.
Dalam malam-malamnya yang panjang, ia sering bermimpi kembali berjalan ke hutan yang lebat, dan tiba-tiba melihat mata merah serigala yang menatapnya tajam dari kegelapan. Ketakutan itu, membuatnya enggan keluar rumah apalagi saat matahari mulai terbenam. Sebetulnya bukan enggan, tapi bahkan takut keluar rumah yang menjadi kegemarannya selama ini.
Sebuah langkah baik, jika mengingat kegemaran sebelumnya itu. Namun Pras, yang melihat perubahan kondisi istrinya, berusaha memberikan semangat. Ia mulai membacakan kisah-kisah lama yang mengajarkan tentang keberanian.
“Hutan memang penuh bahaya, Kirana. Tapi kita juga harus percaya, ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi kita, jika kita berhati-hati. Atau kau perlu kudampingi, dengan senang hati aku akan temani,” ujar Pras suatu malam sambil menggenggam tangan Kirana. Tapi tatapan mata Kirana malam itu seperti kosong. Tatapan mata yang penuh kekhawatiran, meski ada rasa senangnya mendengar Pras ingin menemani kegemarannya berjalan keluar rumah.
Perubahan terasa amat lambat. Namun, lambat laun, Kirana mulai memberanikan melangkah keluar rumah. Kali ini, ia tak lagi keras kepala. Setiap saat ia ingin pergi ke tempat jauh, ia meminta Pras menemaninya. Desa Lembah Anggrek pun kembali menyaksikan pasangan itu berjalan bersama di bawah sinar matahari pagi, berbincang dengan para tetangga, dan menanam bunga di halaman rumah mereka.
Kirana kini lebih menghargai arti kebersamaan dan perlindungan. Baginya, Pras bukan hanya suami, tetapi juga penjaga setianya. Sedangkan bagi Pras, pengalaman itu mengajarkannya bahwa cinta sejati membutuhkan kesabaran tanpa batas. Kesabaran yang penuh pengertian.
Dan di tepi hutan, bunga-bunga liar terus bermekaran, mengingatkan siapa saja yang melintasinya tentang keberanian, cinta, dan pesan-pesan yang datang lewat mimpi.