31.8 C
Jakarta

Benarkah Literasi Digital Sekolah Menengah Masih Di Bawah Standar?

Baca Juga:

 

Oleh : Ace Somantri

BANDUNG, MENARA62.COM – Sudah terjadi pergeseran cepat pola hidup manusia dalam mengisi ruang dan waktu, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok, penunjang dan pendukung dalam hidupnya. Khusus dunia pendidikan suka tidak suka, saat ini semua sektor kehidupan sudah bergeser dari instrumen manual ke digital area. Ada beberapa perguruan tinggi berdiri sudah benar-benar “full digital system” dalam proses pendaftaran, seleksi, pembelajaran hingga finishing studi. Namun, stigma masyarakat pada umumnya masih memiliki pandangan bahwa studi atau kuliah tetap harus tatap muka secara langsung dikarenakan hal tersebut manakala daring atau online by virtual dirasa kurang afdhol dalam proses pembelajaran. Selain itu, pembelajaran daring tidak meningkatkan sikap-sikap dan karakter yang tangguh dan disiplin karena dalam pelaksanaan banyak abai etika dan estetika.

Ada ungkapan dari beberapa pengelola pendidikan tinggi berbasis digital mengeluhkan para mahasiswa yang baru masuk studi sarjana, narasi digitalnya masih di bawah standar minimum. Padahal, selama 3 tahun berjalan proses digitalisasi berbagai sektor kehidupan termasuk kegiatan pembelajaran pun selama 2 tahun lebih benar-benar melalui virtual aplikasi g-meet dan z-meet. Penggunaan aplikasi tersebut sudah familiar, namun narasi-narasi digital lainnya tergolong belum memenuhi standar yang seharusnya. Hal ini penting diketahui oleh pengelola satuan pendidikan sekolah tingkat menengah, konsekuensi pada penguatan narasi digital ditingkatkan volumenya sehingga saat memasuki dunia perguruan tinggi yang hampir dipastikan narasi berbasis digital menjadi dominan, tidak mengalami kegagapan.

Boleh jadi banyak sekolah yang sudah mengklaim pihaknya sudah menerapkan digitalisasi sekolah atau madrasah, padahal faktanya selain tidak update generasi digital juga yang berjalan masih di bawah standar minimum. Di sisi lain, perkembangan teknologi perubahannya sangat cepat bak kilat. Memang tidak murah memfasilitasi sarana dan parsarana digital di sekolah dan madrasah, saat pertama menggunakan infrastruktur digital awal boleh jadi relevan dan kekinian, namun dalam hitungan waktu tertentu pada satu tahun berikutnya sudah tidak lagi dianggap baru dan dapat dikatakan ketinggalan teknologinya. Solusinya apa yang lebih tepat, hal itu tidak mudah dan murah, apalagi setiap tahun harus update juga belum tentu kemampuan dan kapasitas satuan pendidikan sekolah menegah mumpuni, baik anggaran maupun sumber daya manusia. Untuk meringankan pihak sekolah, formulanya diubah yang tadinya lebih kepada struktur material teknologi menjadi filsafat teknologi atau cara berpikir teknologi.

Simulasi cara berpikir teknologi memang harus orang yang memahami struktur ilmu. Hal tersebut ada dalam filsafat ilmu atau di kalangan pesantren tempo dulu, dikenal dengan ilmu mantik dan balaghoh. Usia peserta didik pada tingkat menengah sebaiknya sudah dikenalkan logika berpikir teknologi, minimal dasar-dasarnya dapat dipahami sehingga saat kala terbatas perangkat keras teknologi, mereka tidak ketinggalan terlalu jauh karena saat membuka lembaran baru perkembangan teknologi digital dapat beradaptasi cepat pada perubahan. Apapun alasannya, standarisasi kemampuan dasar teknologi dengan pendekatan pada logika berpikir menjadi keharusan saat sekolah keterbatasan fasilitas atau menghindari inefesiensi anggaran di sekolah.

Benar ataupun salah informasi hal ihwal dasar narasi anak-anak generasi milenial masih di bawah standar seharusnya saat lulus sekolah menengah, dapat diambil nilai positifnya untuk peningkatan percepatan skill narasi digital saat masuk dunia kemahasiswaan atau dunia kerja. Ada banyak yang menyampaikan berbagai kalangan, khususnya pebisnis saat ditanya dalam keterserapan dunia industri ada kecenderungan meningkat permintaannya bukan tingginya gelar akademik, melainkan hard skill dan soft skill untuk keunggulan dalam diri seseorang dalam menjual dirinya ketika masuk pada saat tuntutan kebutuhan hidup dunia usaha atau aktifitas kerja lainnya. Narasi digital tidak dapat dimungkiri, saat ini dan beberapa waktu ke depan puncak life of digital akan menghiasi hari-hari selama 24 jam terus berputar dari siang ke malam dan sebaliknya tanpa henti. Konsekuensinya semua pihak, termasuk diwajibkan dan harus bagi setiap satuan pendidikan menengah untuk menambah volume wawasan logika narasi digital. Hal tersebut sudah menjadi tuntutan bagi para lulusan menengah saat mengikuti test skolastik masuk perguruan tinggi.

Virtual reality di berbagai belahan dunia sudah diperkenalkan sebagai sarana pembelajaran di tingkat dasar, sehingga tidak ada alasan pihak sekolah untuk tidak memperkuat basis skill teknologi digital. Gelombang PHK berbagai jenis industri jasa dan barang terus tidak berhenti, perkiraan hingga akhir tahun ini dan yang akan datang menyentuh ratusan ribu pekerja. Dan akan diganti oleh robot-robot base on artificial inteligence dan diperkuat sumber daya manusia ahli yang memiliki konsep gagasan pengembangan kerangka berpikir teknologi yang produk hasil berpikirnya akan dikembangkan oleh pemilik skill teknologi terapan. Menjadi perhatian penting bagi penyelenggara pendidikan jikalau masih menggunakan cara berpikir lama, bahwa kehebatan sekolah bukan pada megahnya gedung melainkan pada cara, metode dan model pembelajaran benar-benar “out of the box” melawan arus keumuman model pendidikan hari ini. Pasalnya pendidikan hari esok akan sangat-sangat super dinamis, hal itu bagi penyelenggara pendidikan dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi kala tidak up grade kualitas akan mengalami kemunduran dan mulai lambat laun ditinggalkan masyarakat dan akhirnya gulung tikar.

Standarisasi pendidikan sudah dipaksa dan diperkosa oleh sistem digital yang berkembang hari ini, suka tidak suka kecepatan berpikir pimpinan sekolah atau madrasah untuk membuat formulasi baru dan terbarukan merancang kurikulum yang menciptkan para pembelajar memiliki hard dan soft skill tingkat dewa. Boleh jadi beberapa waktu ini masih menolak dan abai terhadap dinamika pendidikan sekarang dengan gaya “sombong” merasa sudah pengalaman puluhan tahun. Namun faktanya banyak lulusan meraka kaget, bingung, dan bengong tidak dapat berbuat banyak dengan tatapan mata ke depan kosong karena secarik ijazah hanya ada dalam lipatan plastik. Sementara puluhan industri jasa dan barang meminta keunggulan diri dengan skill yang dimiliki, sebut saja perusahaan “google” menerima para kreator handal bukan para pemilik ijazah nilai rata-rata tinggi, namun juga pernyataan tersebut bukan berarti bahwa sekolah tidak mesti seperti itu cara berpikir dan logika “dungu”, kalau pakai istilah bung Rocky.

Tuntutan narasi digital bukan paham pengggunaan berbagai aplikasi yang dibuat orang, melainkan pihak penyelenggara pendidikan benar-benar membuat formula kurikulum tidak sekedar memenuhi standar kurikulum pemerintah yang cenderung menjemukan. Apalagi kata guru gembul, pendidikan Indonesia selama ini membodohkan dan Universitas Pendidikan pun tidak mengajarkan dan mentransfer kompetensi pendidikan seharusnya. Entah apa yang dimaksud guru gembul tersebut yang beredar di media sosial itu, namun saya cukup mengamini juga karena puluhan tahun dengan ribuan sarjana pendidikan belum menunjukan signifikansi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia, bahkan terkejar oleh negara-negara yang belakangan negaranya merdeka dari penjajahan. Mungkin dapat dikatakan terlalu lama Indonesia ini posisi negara berkembang. Wallahu’alam.

Bandung, Juni 2023

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!