JAKARTA, MENARA62.COM – Pengajuan sertifikasi halal oleh masyarakat atau perusahaan ke Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sifatnya sukarela. Karena itu, biaya yang dikenakan pun atas dasar kesepakatan yang dituangkan melalui akad antar kedua belah pihak.
“Seperti halnya lembaga sertifikasi lain, misalnya sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya LPPOM MUI memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal. Tetapi besaran dan skemanya disepakati oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam akad,” kata Lukmanul Hakim, Direktur LPPOM MUI dalam siaran persnya, Rabu (15/7/2020).
Pemberlakukan tarif tersebut mengacu pada fakta bahwa meski ditugaskan oleh pemerintah melalui MUI, tetapi LPPOM MUI bukanlah instansi atau lembaga pemerintah. Maka dalam menjalankan amanah melakukan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI lanjut Lukmanul Hakim juga telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.
Lukmanul Hakim mengatakan bahwa sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), selama 30 tahun terakhir proses sertifikasi halal dilakukan secara sukarela oleh pihak perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan memenuhi tuntutan konsumen muslim yang menghendaki produk yang terjamin halal.
Adapun komponen biaya sertifikasi halal LPPOM MUI antara lain biaya pemdaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal. Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Online LPPOM MUI (Cerol SS 23000).
“Basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk. Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai minuman, cukai rokok dan sejenisnya,” jelas Lukmanul Hakim.
Sebagai ilustrasi, hingga Juni 2020 LPPOM MUI telah mengeluarkan sebanyak 2.662 Sertifikat Halal bagi 2.180 perusahaan, dengan jumlah produk mencapai 125.703 produk. Artinya, biaya sertifikasi halal yang diterima oleh LPPOM MUI adalah berasal dari 2.662 sertifikat halal, bukan dari 125.703 produk.
Terkiat pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Kecil dan Mikro (UMKM), LPPOM MUI diakui Lukmanul Hakim kerap menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan.
Mengingat proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela dan pendaftarannya dilakukan secara online dan transparan serta dituangkan dalam bentuk akad yang ditandatangani oleh pihak perusahaan, maka tuduhan dan anggapan akan adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal adalah fitnah dan merupakan pencemaran nama baik MUI maupun LPPOM MUI sebagai lembaga yang secara sah diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lukmanul Hakim mengatakan sebagai lembaga halal, kinerja LPPOM MUI telah diakui secara nasional maupun internasional. LPPOM MUI telah mendapatkan sertifikat ISO 17065 untuk kategori Lembaga sertifikasi halal dari Badan Sertifikasi Nasional (BSN). Melalui sertifikasi tersebut LPPOM MUI dapat beroperasi sebagai lembaga sertifikasi sesuai standar internasional, termasuk keberterimaan produk yang disertifikasi LPPOM MUI ke negara-negara yang mengimplementasikan acuan standar yang sama.
Begitu juga Laboratorium Halal LPPOM MUI yang memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) berupa sertifikat ISO 17025. Sistem Jaminan Halal (SJH) LPPOM MUI telah diadopsi dan menjadi rujukan oleh lembaga-lembaga halal di sejumlah negara.
Sertifikasi halal oleh MUI itu sendiri bermula dari penugasan pemerintah kepada MUI untuk meredakan kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988. Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989. Tugas utama LPPOM MUI adalah melakukan pemeriksaan kehalalan produk.