Oleh :
M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Hijrah, hajr dan hujr merupakan tiga ungkapan di dalam bahasa arab yang berasal dari kata dasar yang sama; kata dasar tersebut terdiri dari tiga suku kata hā`, jīm dan rā` yang secara literal memiliki arti melakukan perlawanan terhadap kondisi lingkungan dengan meninggalkannya dan menjauhinya, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Rāghib al-Așfahānī di dalam mufradātnya, tetapi pada tataran bahasa terapan (`urf isti`mālī) dan bahasa syariat (`urf syar`ī) ketiganya memiliki makna dan semangat yang berbeda, ada yang bermakna positif dan sebaliknya juga ada yang menimbulkan pengaruh negatif.
Secara historis hijrah merupakan terma syariah yang secara khusus menunjukkan peristiwa pindahnya nabi Muhammad dan para sahabat ke Madinah meninggalkan kota Mekah dan meninggalkan sanak kerabat dan semua harta yang dimiliki, dan gelombang migrasi orang-orang Islam yang tinggal di Mekah menuju Madinah masih dianggap masuk dalam kategori hijrah menurut perspektif syariah sampai terjadinya penaklukan kota Mekah pada tahun 8 Hijriyah.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: lā hijrata ba`da al-fath (Tidak ada gerakan hijrah (ke Medinah) lagi, setelah pembebasan kota Mekah). Meskipun terminologi hijrah secara teritorial dalam pengertian yang ekslusif meninggalkan Negara kafir (Mekah) menuju Negara Islam (Madinah) tidak berlaku lagi, tetapi pengejawantahan makna hijrah secara substansial sebenarnya masih dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan transformasi dan liberasi.
Narasi tentang hijrah di dalam al-Quran secara umum banyak dikaitkan dengan kedhaliman dan ketidakadilan, penyiksaan dan ancaman pembunuhan yang diterima oleh umat Islam dari pembesar kafir Quraisy pada masa itu, sehingga umat Islam selama periode Mekah tidak merasakan ketenangan dan kenyamanan karena sebagai minoritas selalu tertekan baik tertekan secara teologis, psikologis maupun sosiologis (Q.S. al-Nisa: 75 dan Q.S. al-Anfal: 41), akibat dari tekanan dan ancaman tersebut umat Islam tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan ibadah (Q.S. al-Ankabut: 56).
Dengan memperhatikan beberapa narasi al-Quran tentang hijrah tersebut, dapat dikatakan bahwa gerakan hijrah ke Madinah lebih bernuansa gerakan liberasi; yaitu membebaskan umat Islam dari segala bentuk tekanan yang sangat mempengaruhi kebebasan keberagamaan dan peribadatan. Sebagaimana universalitas risalah Islam juga membawa misi membebaskan manusia dari belenggu perbudakan sesama manusia menuju penghambaan kepada yang Maha Pencipta.
Dengan melakukan hijrah ke Madinah, secara teologis umat Islam akan terbebas dari propaganda kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang singkretis menuju agama tauhid, sedangkan secara sosiologis umat Islam yang selalu dimarginalkan dan diperlakukan secara tidak adil akan terbebas dari perbudakan dan sistem kasta bangsa Arab menuju masyarakat madani yang egaliter.
Untuk itu dapat dikatakan bahwa setiap perubahan menuju sebuah kondisi lingkungan yang lebih baik adalah bagian dari gerakan hijrah yang dianjurkan; upaya maksimal seseorang dalam meninggalkan kemaksiatan menuju pribadi yang berkualitas secara spiritual dan upaya maksimal meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah merupakan bagian dari hijrah yang transformatif. Dan hijrah berparadigma transformasi ini akan mudah terwujud ketika kita mampu menggelorakan hijrah yang liberatif sebagai upaya membebaskan diri dari kungkungan syahwat, ambisi dan strata sosial.
Terminologi hijrah menjadi sangat popular pada sekitar tahun 2018an dengan semakin banyaknya pesohor negeri ini yang mentransformasikan tampilan hidupnya menjadi lebih terlihat syar`ī. Fenomena hijrahnya para pesohor tersebut tidak bisa dilepaskan dari maraknya digitalisasi dakwah dan hadirnya pemuka agama, penceramah dan juru dakwah yang sangat milenial menyampaikan pesan-pesan agama dengan bahasa kekinian dan kedisinian, istilah yang digunakan untuk gerakan dakwah ini pun sangat trendy dan infotainable seperti hijrahfest dan unforgotable hijrah dan lain sebagainya, meskipun beberapa kalangan menilai fenomena hijrahfest semacam ini lebih banyak muatan industrinya dari pada spiritualnya.
Hijrah sendiri pada prinsipnya merupakan sebuah bentuk kesadaran dan kesungguhan tekad untuk berubah dalam rangka menciptakan kebaikan di dalam dirinya dan keharmonisan lingkungan dengan merubah paradigma dan orientasi hidupnya, untuk itu hijrah ini tidak cukup dengan semangat berubah tetapi juga harus dibarengi dengan pembekalan ilmu dan penguatan etika sehingga acara-acara milenial yang terkait dengan transformasi spiritual ini tidak berubah menjadi gerakan menutup diri dari lingkungan sekitar dan merasa sudah benar dan paling benar yang akhirnya berpotensi melahirkan ketegangan sosial dengan gerakan saling menghajar.
Al-Rāghib al-Așfahānī menyebutkan bahwa al-hajr artinya meninggalkan dan menjauhi sesuatu tetapi maknanya lebih mengarah kepada hal yang negatif. Bentuk hajr pada tataran ini bisa memiliki arti menjauh secara fisik sebagai yang tersebut di Q.S. al-Nisa [4]: 34 “wahjuruhunna fi al-madlaji`i” (dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka).
Begitu pula yang diungkapkan di dalam sebuah hadits yang melarang umat Islam untuk melakukan hajr terhadap sesamanya dengan memutus hubungan persahabatan tanpa saling menyapa selama 3 hari. Hajr dalam arti menjauh juga bisa dilakukan dengan hati dan lisan sebagaimana yang dikisahkan di dalam Q.S. al-Furqan ayat 30 tentang nabi yang mengeluhkan sikap umatnya menjauhkan diri dari al-Quran: “inna qawmī ittakhadzū hādzā al-qurāna mahjūran” (sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan).
Sedangkan al-hujr adalah ungkapan bahasa yang tidak pantas untuk diucapkan sehingga patut untuk dijauhi dan ditinggalkan karena dampak dari mengucapkan kata-kata yang berkategori al-hujr tersebut bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang yang mendengarkannya, akibatnya kita yang dijauhi oleh masyarakat karena ucapan kita sendiri yang tidak beretika tersebut, dan ini benar-benar dilarang secara syar`ī sebagaimana yang disabdakan oleh nabi ketika memberikan arahan kepada para sahabat berkenaan dengan etika ziarah kubur: ”wa lā taqūlū hujran”. (dan janganlah kamu berkata yang tidak layak).
Di dalam tradisi bahasa arab, ungkapan-ungkapan yang diderivasi dari kata dasar yang sama meskipun menunjukkan makna yang berbeda secara termonilogis tetapi semuanya disatukan pada sebuah arti literal, tetapi keberagaman makna yang dibawa oleh setiap kata yang dikembangkan tersebut pada tataran tertentu saling mempengaruhi, bahkan memperkaya dan memperluas ruang lingkupnya serta memperkuat karakternya. Begitu pula keterkaitan hijrah, hijr dan hujr yang ketiganya saling mengikat dan disatukan dalam arti literal yang sama, meninggalkan dan menjauhi.
Narasi yang bisa dikembangkan melalui ketersambungan makna ini adalah bahwa tekad seseorang dalam berhijrah untuk menjalani ajaran agama yang lebih baik harusnya tidak menjadi penghalang baginya dan keluarganya untuk tetap bersosialisasi secara normal dengan masyarakat dan lingkungan sekitar yang mungkin dianggap belum baik menurut pandangannya, sehingga perjalanan hijrah dengan niat yang suci semacam ini harusnya menginspirasi orang lain untuk melakukan kebaikan yang sama bukan malam menimbulkan kegaduhan sosial dan menebar kebencian kepada orang lain yang belum hijrah dengan melakukan hajr; pemutusan hubungan persaudaraan, apalagi sampai muncul perasaan lebih sempurna sehingga menghajar orang lain dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung unsur hujr seperti mengatakan sesat dan kafir kepada saudaranya yang dianggap belum merubah orientasi hidupnya seperti pandangannya.
Rasulullah pernah bersabda: bahwa seorang mukmin yang baik yang tetap bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya kemudian bersabar dalam artian tidak mengeluhkan kondisi lingkungannya dan tidak terpengaruh, jauh lebih mulia dari pada seorang mukmin yang merasa khawatir dengan kebaikannya dan menutup diri tidak mau bersosialisasi dengan warga sekitar, juga tidak sabar dengan seringnya mengeluhkan kondisi sekitar dan menebar kebencian lewat ucapan-ucapan yang tidak baik terkait dengan keadaan lingkungannya.
Penulis : Tim Ahli Sahabat Misykat Indonesia