JAKARTA, MENARA62.COM – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang kembali digulirkan sejak Mei lalu, hingga kini tak kunjung disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Padahal UU Perampasan Aset menjadi harapan bagi pemerintah untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga tercipta kesejahteraan sosial seperti dicita-citakan kita bersama.
“Wacana tentang urgensi UU Perampasan Aset mencuat dan sempat menjadi topic pembicaraan yang hangat ketika muncul peristiwa pidana yang menimpa pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan. Sayangnya sejak bulan Mei dibicaraka namun sampai sekarang tak kunjung disahkan menjadi UU,” kata Ketua Pengawas Yayasan Unkris, Irjen Pol (Purn) Drs Ali Johardi, SH, MH, ketika menjadi pembicara kunci pada Webinar Reformasi Hukum Perampasan Aset dalam Tindak Pidana yang digelar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) yang digelar secara hybrid, Rabu (27/9/2023).
Menurut Ali sejatinya wacana RUU Perampasan Aset ini sudah diajukan oleh pemerintah sejak tahun 2008 atau 15 tahun lalu. Tetapi memang tidak mudah untuk menggoalkan sebuah RUU menjadi UU mengingat dalam setiap produk hukum selalu ada pihak yang memiliki kepentingan.
Sebagai gambaran saja, lanjut Ali, pengajuan revisi UU no 35 tahun 2009 tentaNg Narkotika yang dilakukan BNN sejak 2015, hingga sekarang tidak menghasilkan satu pun pasal revisi. “Kalau UU Narkotika kami gampang cari kambing hitamnya, jangan-jangan kartel yang bermain sehingga mampu memprovokasi agar revisi UU Narkotika tidak jadi. Tetapi kalau RUU Perampasan Aset, siapa yang akan dijadikan kambing hitam,” katanya.
Oleh karena itu Ali berharap dari webinar ini, bisa menjadi motivasi bagi para pemangku kepentingan yang berkompeten untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset ini menjadi UU. “Mudah-mudahan akhir tahun 2023 sudah disahkan jadi UU,” harap Ali.
UU Perampasan Aset menurutnya tidak sekadar memberikan keadilan hukum bagi masyarakat. Lebih dari itu UU Perampasan Aset akan memberikan wacana baru dalam sistem peradilan di Indonesia. “Kalau kita melihat definisi perampasan yakni pengambil alihan tanpa pemidanaan, berarti akan ada perubahan dalam sistem peradilan kita. “Kalau perampasan adalah pengambilalihan tanpa pemidanaan, ini sesuatu yang baru yang akan memberikan implikasi luas dalam sistem peradilan kita,” tukas Ali.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Unkris Prof. Dr. Abdul Latif , SH, MHum dalam sambutannya mengatakan bahwa membahas soal RUU Perampasan Aset untuk saat ini sangat relevan dan actual ditengah proses perjalanan RUU Perampasan Aset menjadi UU di gedung parlemen. “Fakultas Hukum Unkris yang tidak terlepas dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, ikut ambil bagian dalam rangka memberikan suatu pemikiran-pemikiran yang sifatnya responsif terhadap permasalahan-permasalahan khususnya pada penegakan hukum dan keadilan di negara kita,” paparnya.
Dari hasil webinar, lanjut Dekan, paling tidak akan memberikan kontribusi bagi pemerintah dan masyarakat, utamanya dalam mencapai cita-cita negara hukum guna mewujudkan kesejahteran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Diakui Dekan, substansi perampasan aset dalam tindak pidana ini secara factual banyak terjadi dikalangan penyelenggara pemerintahan atau ASN. Sehingga jika persoalan ini tidak menjadi perhatian masyarakat, maka menurutnya, hak konstitusionalitas dari rakyat terutama hak sosial dan ekonomi untuk menikmati kesejahteraan dalam menikmati pembangunan Indonesia menjadi jauh dari harapan.
“Karena itu, webinar ini secara aktif memberikan pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan ke depan atau sekaligus bahan diskusi kita sebagai lembaga pendidikan terkait perampasan asset,” tandasnya.
Webinar yang dibuka resmi oleh Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono dan dihadiri Ketua Pengadilan Negeri Kota Bekasi Surachmat SH, MH tersebut menghadirkan narasumber Dr Suhadi, SH, MH, Ketua Kamar Hukum Pidana Mahkamah Agung, Dr Chairul Huda SH, MH, Pakar Hukum Pidana dan Penasehat Ahli Kapolri, Dr. Patra M Zain, SH, LLM, Dosen FH Unkris dan Praktsi Hukum. Webinar diikuti oleh dekan dan mahasiswa Fakultas Hukum Unkris.