Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang baik. Dalam bahasa agama, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang berkah. Ya, berkah yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Berkah rezekinya, berkah ilmunya, berkah keluarganya, berkah segala-galanya.
Pertanyaannya kemudian, apa sebetulnya yang disebut dengan berkah itu?
Kata berkah adalah kata serapan dari bahasa Arab, Al-Barakah. Dalam sejumlah kamus Bahasa Arab dijelaskan bahwa kata barakah mengandung arti: kebahagiaan, berkembang, tumbuh, bertambah, dan kebaikan.
Kata barakah selalu dikaitkan dengan konteks agama. Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak dua kali dan selalu dalam bentuk jamak, barakaat, tidak dalam bentuk mufrad (tunggal), barakat, seperti terdapat pada Q.S. 7: 96, dan Q.S. 11: 48, yang kemudian diterjemahkan menjadi berkah (dalam jumlah yang besar/banyak).
Dalam Kamus Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa kata ‘barakah’ berasal dari gambaran tentang unta yang mendekam. Orang Arab biasa mengatakan ba-ra-ka al-ba’ir, unta itu mendekam. Biasanya, ketika unta kekenyangan setelah makan, ia segera menekuk lututnya untuk kemudian mendekam dalam waktu yang lama. Pengertian ini kemudian berkembang, bahwa setiap yang “mendekam” dan “menetap” dalam waktu lama diungkapkan dengan kata ba-ra-ka. Sehingga kata al-barakah kemudian diartikan dengan khairat tsabitah, kebaikan (nikmat) yang “menetap”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘berkah’ didefinisikan dengan “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Ulama
Para ulama mendefinisikan makna al-barakah dengan kalimat yang berbeda, tetapi memiliki hakekat makna yang sama. Ibnu Abbas, misalnya, menjelaskan makna al-barakah sebagai al-katsrah fi kulli khair, keberlimpahan pada setiap nikmat yang baik. Ar-Raghib Al-Asfahany mendefinisikan berkah dengan tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu. Sedangkan Ibn al-Qayyim Al-Jauziyah mendefinisikan berkah sebagai kenikmatan atau kebaikan yang banyak dan terus menerus. Al-Zarqani juga mengutip pandangan ulama-ulama bahwa al-barakah adalah al-ziyadah min al-khair wa al-karamah, kenikmatan dan kemurahan yang bertambah-tambah.
Dari beragam makna tentang berkah tersebut, dapat disimpulkan bahwa berkah adalah sebuah anugerah karunia nikmat berlimpah yang datang dari Allah dan bersifat menetap dalam waktu yang lama.
Hidup berkah adalah sebuah kondisi kehidupan seseorang yang diliputi kebaikan dalam waktu yang lama, hingga akhir hayatnya. Kebaikan yang dimaksud tidak sekadar ketika hidup di dunia ini saja, tetapi juga hingga kelak ketika hidup di akhirat.
Setelah kita memahami definisi makna berkah dan kehidupan yang berkah, maka pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana agar kita dapat meraih hidup berkah itu? Bahkan, lebih jauh lagi, bagaimana agar berkah melimpah melingkupi hari-hari kita?
Jika merujuk ke sejumlah ayat al-Qur’an, maka dapat kita ambil sebuah kesimpulan, bahwa untuk meraih berkah melimpah setiap saat, sepanjang masa, baik ketika hidup di dunia ini, maupun saat di akhirat kelak adalah dengan bertakwa. Ya, takwa adalah kata kuncinya.
Definisi takwa secara umum dapat diartikan dengan menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangannya. Sebuah definisi yang singkat, tetapi mengandung konsekuensi yang tidak ringan.
Orang yang bertakwa akan selalu merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Dia selalu merasa diawasi setiap langkah kakinya, setiap ucapannya, setiap tindakannya, bahkan setiap desah nafasnya. Walhasil, orang yang bertakwa akan selalu berusaha menjaga diri agar tidak melakukan hal yang mengundang murka-Nya.
Karena merasa selalu diawasi Allah (muraqabah), maka orang yang bertakwa akan berusaha mencari rezeki yang halal, ilmu yang bermanfaat, pasangan yang salih dan salihah, serta aktivitas yang diridai-Nya.
Tersebab keyakinan yang mantap tentang kehadiran Allah bersamanya, orang yang bertakwa akan menggunakan setiap waktu yang dilaluinya untuk menghadirkan manfaat sebanyak-banyaknya kepada sesama.
Karena dia sadar sepenuhnya bahwa ajal bisa datang kapan saja, maka dia berusaha mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan di akhirat kelak.
Tersebab keimanannya, maka apa yang dilakukannya hanya berorientasi pada rida Allah semata, bukan pada sanjung puja orang-orang di sekelilingnya.
Orang yang bertakwa hanya berharap keberkahan dan kelimpahan anugerah yang dihadirkan Allah kepadanya, bukan kelimpahan materi tanpa arti, apalagi sekadar penghargaan manusia yang tak seberapa.
Ruang Inspirasi, Jumat (3/7/2020)