25.1 C
Jakarta

Berpolitik di Percaturan Nasional atau Tidak

Baca Juga:

Wali Kota Bukan Level Gibran-Kaesang
JAKARTA, MENARA62.COM — Rabu (1/8/2019), Pengamat Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Andriadi Achmad menilai bahwa berita terkait peluang besar Gibran dan Kaesang untuk maju di Pilwakot Solo cukup menarik untuk di telaah, diteliti, dan dipelajari secara utuh bahwa politik dinasti atau politik keturunan masih menggurita di Indonesia.
“Saya agak kaget saja, mendengar berita Gibran dan Kaesang berpeluang kuat maju di pilwakot Solo 2020. Pasalnya selama ini, kita tidak pernah mendengar anak dan menantu Jokowi ikut berpolitik praktis. Kita mengenal Gibran pengusaha martabak ‘Markobar’ dan Kaesang pengusa pisang goreng ‘Sang Pisang’. Sedangkan Boby Nasution suami Kahiyang Ayu berbisnis property,” jelas Andriadi Achmad saat diwawancara.
Dalam konteks politik Dinasti atau keturunan keluarga sebenarnya tumbuh secara alami, dimana politik dinasti ini mengingatkan kita akan sistem kerajaan, dalam sistem kerajaan bila leluhurnya atau Bapak-Ibu berkedudukan sebagai Raja atau Ratu. Maka keturunannya akan menjadi Raja atau Ratu, minimal pangeran atau putri mahkota. Tapi perbedaan dengan saat ini, politik dinasti seperti kerajaan melalui jalur demokrasi dipilih oleh rakyat, baik di level politik lokal maupun politik nasional.
“Saat ini, politik dinasti terselubung dalam sistem demokrasi. Sebagai contoh, Megawati sejak awal kemunculannya dalam ranah politik pada era tahun 1980-an sampai saat ini tak bisa lepas dari bayang-bayang Soekarno, begitu juga trah keturunan Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, dan tokoh bangsa lainnya terjun ke dunia politik tak bisa lepas dari bayang-bayang orangtuanya. Begitu juga suatu saat keturunan Jokowi, seperti Gibran dan Kaesang berpolitik,” urai Direktur Eksekutif Nusantara Institute for Political Communocation Studies and Research Centre (PolCom SRC) ini.
Dalam konteks perpolitikan Indonesia kekinian, Gibran dan Kaesang sebagai putra mahkota mempunyai kesempatan terbuka lebar untuk meng-upgrade diri dalam percaturan politik nasional, bukan di level daerah. Seperti Puan Maharani, AHY, Yenny Wahid dan lainnya muncul ke permukaan politik nasional. Oleh karena itu, menggadangkan Gibran atau Kaesang maju di Pilwakot Solo sama dengan memakaikan baju dan celana yang kesempitan.
“Kaesang dan Gibran, tidak pas maju sebagai walikota Solo, kayak terjun bebas atau obral murah saja. Kalo mau berpolitik, jangan tanggung-tanggung. Gibran dan Kaesang mesti muncul di level nasional atau tidak sama sekali. Sekilas saya menilai syahwat berpolitik Gibran dan Kaesang nyaris tidak terlihat. Berbeda dengan Puan Maharani, Yenny Wahid, AHY dan lainnya sudah terjun bebas all out dalam politik praktis,” tegas Alumnus Pasca Sarjana Ilmu Politik FISIP UI ini disela-sela wawancara.
Studi politik dinasti yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder (2007) mengenai dinasti politik di Kongres Amerika Serikat sejak berdirinya tahun 1789 memberikan beberapa catatan. Pertama, terjadi korelasi antara dinasti politik dan kompetisi politik. Merebaknya politik dinasti berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi politik, semakin menyuburkan politik dinasti. Kedua, semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan mereka disebut dengan power begets power.
“Berbicara terkait politik Dinasti, hampir di seluruh dunia terjadi praktek politik dinasti. Oleh, karena itu tidak aneh bila di Indonesia praktek politik dinasti menggurita tidak hanya di lingkaran kekuasaan tingkat atas, akan tetapi terjadi tingkat kekuasaan paling terendah,” demikian tutup Andriadi Achmad mengakhiri wawancara.
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!