JAKARTA, MENARA62.COM – Lembaga Kajian Pendidikan NU Circle bersama koleganya tengah menyiapkan yudicial review ke Mahkamah Agung atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam PP tersebut, Pancasila dan Bahasa Indonesia menghilang dari kurikulum pendidikan.
Ketua Lembaga Kajian Pendidikan NU Circle Bambang Pharmasetiawan mengatakan pihaknya telah meminta agar pemerintah segera mencabut PP 57/2021 untuk direvisi. Alasannya PP tersebut bertentangan dengan UU sebelumnya.
Menurutnya Pendidikan Pancasila sangat berperan penting dalam membangun jiwa nasionalis dan menjadi pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Bukankah sudah tersirat dengan jelas pada lagu Indonesia Raya bahwa “Bangunlah Jiwanya dan Bangunlah Badannya” menunjukkan pembangunan jiwa sangat penting. Pembangunan jiwa adalah pembangunan mental dan ini sejalan dengan program Revolusi Mental,” kata Bambang, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/4/2021).
Ia mengingatkan bahwa saat ini kita semua di tengah perang generasi-4, dimana ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan) dari segala sisi mengancam generasi muda Indonesia, termasuk mahasiswa di dalamnya. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Daoed Joesoef bahwa pendidikan berfungsi mentransformasikan seorang penduduk (dalam hal ini anak didik) menjadi seorang Warga Negara Indonesia yang unggul.
“Ini sejalan dengan program pemerintah sendiri yaitu SDM unggul,. Tetapi entah bagaimana tiba-tiba mata pelajaran Pancasila dihapus begitu saja,” ujar Bambang.
Mengutip pendapat Yudi Latif, Pakar Aliansi Kebangsaan, bahwa Pancasila adalah persilangan budaya luhur cerlang Nusantara dan budaya positif dari luar yang telah digali para pendiri bangsa ini dengan luar biasanya. Dengan demikian mata pelajaran Pancasila wajib ada di setiap jenjang pendidikan.
Tentang hilangnya Bahasa Indonesia dalam PP tersebut, dikatakannya bahwa berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah adanya kemauan untuk hidup bersama. Semangat ini berkobar karena kesadaran kebangsaan kaum terdidik ketika masa penjajahan. Salah satu tonggak kesadaran kebangsaan ini adalah saat peristiwa Sumpah Pemuda 1928 ketika bersumpah dan bersepakat bahwa berbangsa, bertanah air, dan berbahasa yang satu yaitu Indonesia.
Dengan demikian khusus dalam konteks Bahasa Indonesia maka menyepakati Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat tepat karena merupakan determinan faktor bagi Persatuan Indonesia. Dan ini sangat penting.
“Adalah ironi bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia dihapus dari pelajaran wajib di perguruan tinggi. Sungguh ini mengkhianati semangat persatuan yang digaungkan sejak Sumpah Pemuda,” tukasnya.
Bambang menyatakan bahwa selain PP ini, lembaganya yang berada di bawah naungan NU Circle juga sedang mengkaji Peta Jalan (road map) Pendidikan bersama berbagai pakar dan praktisi, karena selain masalah Agama yang waktu itu sudah ditanggapi, ternyata masih sangat banyak masalah yang ada di sana.
Sementara Sururi Aziz, Ketua Bidang Pendidikan NU Circle, mengatakan bahwa adalah hal yang kontraproduktif disaat Kemendikbud sedang menyusun Roadmap Pendidikan yang didalamnya akan menghasilkan Profil Pelajar Pancasila, pemerintah malah mengeluarkan PP no. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tidak memuat Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib dalam struktur kurikulumnya. Lalu, Roadmap Pendidikan landasannya apa?
Lebih lanjut ditambahkannya PP no. 57/2021 tentang SNP memiliki beberapa kelemahan. Terutama dengan tidak adanya matakuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia yang secara eksplisit terdapat dalam UU no. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Namun jika mengacu pada UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memang pada struktur kurikulumnya tidak mencantumkan pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia secara tegas. Dalam UU Sisdiknas yang tercantum adalah pendidikan kewarganegaraan dan bahasa, jadi tidak tegas. Oleh karena itu, langkah untuk mengembalikan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran maupun matakuliah wajib yang harus diubah dimulai dari UU Sisdiknas nya.
Sementara Yudi Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Center, yang juga ikut mengusung yudicial review ini mengatakan bahwa Indonesia hadir bersamaan dengan Pancasila. Dan, ia tumbuh bersama dalam masa pertahanan kemerdekaan sekaligus pemaknaannya. Jika secara sengaja menghilangkan Pancasila (di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja) maka ia menghilangkan Indonesia. Tentu ini tindakan ahistoris, rabun konstitusi dan dapat disebut melawan terhadap nation nya sendiri. Perlu diusut karena kelalaian yang sangat fatal, tegasnya.
Ki Darmaningtyas dari Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa menambahkan, hal mendasar yang perlu dikoreksi dari pasal 40 PP No. 57/2021 tersebut adalah soal posisi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan, di mana posisinya? Karena dalam pasal 40 ayat 2 dikatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat, pendidikan agama, kewarganegaraan, bagasa, dan seterusnya..
“Di sini hanya dikatakan Bahasa saja, tidak mewajibkan pelajaran Bahasa Indonesia. Artinya kalau suatu sekolah tidak mengajarkan Bahasa Indonesia, karena memilih memakai Bahasa Inggris atau Bahasa asing lainya, sekolah tersebut tidak salah. Tapi ini bertolak belakang dengan ayat 1 poin j bahwa kurikulum disusun dengan memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan alat apa persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan tersebut akan ditanamkan kalau Bahasa Indonesia tidak diajarkan?” katanya.
Terkait dengan pendidikan Pancasila, menurutnya ada semangat yang kontradiktif dari penyusunan PP tersebut, yaitu pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan Pancasila tidak diajarkan karena tidak mau bertentangan dengan UU Sisdiknas, yang tidak memasukkan Pancasila sebagai pelajaran wajib dari SD sampai PT. Namun pada tingkat PT pendidikan Pancasila ditiadakan dengan alasan sudah diatur di dalam UU dan PP ini tidak meniadakan UU PT.
“Kalau memang PP ini tidak menegasikan UU PT, mengapa kurikulum yang wajib diberikan di PT tidak mengambil saja dari UU PT?” tutup Darmaningtyas.