Sehat dan sakit adalah salah satu isi dari dinamika hidup umat manusia. Begitu pula, kaya-miskin, senang-susah, berani-takut, hidup-mati, dan dan seterusnya.
Sesungguhnya dari semua proses tersebut Allah hendak melihat sikap kita sebagai hamba, sebagai manusia, apakah kita bisa bersyukur dan bersabar. Bersyukur atas nikmat dan rahmat yang Allah berikan serta bersabar atas ujian yang dialami dalam hidup.
Dinamika dalam hidup yang demikian untuk menguji apakah kita akan menjadi manusia yang berterima kasih kepada Allah ataukah kita menjadi manusia yang ingkar? Sebagaimana disampaikan Nabi Sulaiman AS., yang dinyatakan dalam Surat al-Naml: ayat 40: “A-asykuru am akfuru” (Apakah aku akan bersyukur atau kufur?). Di ayat lain, bahwa kehidupan dan kematian itu sebagai ujian naik tingkat yang disebutkan, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan“, (untuk menguji kalian, mana di antara kalian yang paling bagus perbuatannya”. (QS. Al-Mulk: 2). Karenanya, di dalam menjalankan tugas sebagai hamba Allah (‘abdullah) dan juga sebagai pelaksana tugas kekhalifahan (khalifah Allah) untuk memakmurkan Bumi dan seisinya, manusia membutuhkan pedoman hidup, yaitu Al-Quran sebagai Kitab Petunjuk (hudan) dan Hadis, Sunnah Nabi sebagai penjelasan atasnya. Dalam menjalani hidup tersebut, setidaknya sifat syukur dan sabar adalah sikap dasar yang harus ada di dalam diri hamba Allah. Karenanya pula, Allah memuji hamba-hamba-Nya yang menjaga kedua sifat tersebut dengan julukan “shobbaar” dan “syakuur” (orang yang sangat penyabar dan sangat bersyukur).
Kedua sifat ini ibarat 2 sisi mata uang atau 2 sayap pesawat yang saling menyeimbangkan, saling melengkapi, dan setiap manusia akan mengalami kondisi di mana kedua sifat tersebut adalah terapi yang ampuh dalam menjalankan tugas hidup. Tanpa syukur, manusia akan bersikap sombong atau angkuh, karena tidak mengakui sumber nikmat yang dirasakan dan tidak menggunakan untuk kebaikan dan kebenaran.
Manusia yang tidak bersyukur akan menjauh dari keshalehan, menjauh dari rahmat Allah, menuju kondisi derita lahir batin, di dunia dan akhirat. Demikian juga, tanpa sifat sabar manusia tidak bisa masuk dalam kondisi baik dan bahagia, sebab ketidaksabaran akan menjebak diri dalam ketidaktepatan dan ketidakpatutan yang pada gilirannya mengantarkan pada kegagalan dunia akhirat. Kesabaran yang indah, begitu gambaran Al-Quran, shobrun jamiil, merupakan seni meraih keberhasilan dengan tepat dan sesuai dengan petunjuk ilahi. Sabar menjadikan hidup tidak terburu-buru dan juga tidak terlambat dari yang semestinya. Semua dikendalikan secara baik, benar, dan bijaksana. Karenanya, Allah mencintai orang-orang yang bersabar. Innallaaha ma’ash-shoobiriin.
Belajar Hikmah dari Pandemi Covid 19. Dalam perjalanan satu tahun lebih belakangan ini, kita dihadapkan pada ujian pandemi covid 19 yang mau tidak mau telah memaksa semua pihak untuk menyesuaikan dan mengkondisikan segala sesuatu dikaitkan dengan situasi pandemi. Bahkan, urusan ibadah sekalipun dikondisikan melihat tingkat laju penularan covid 19. Sholat di masjid disarankan bermasker, berjarak, bahkan ibadah Jum’atan sempat diganti dengan sholat dzuhur di rumah masing-masing. Begitu juga, ibadah Haji dikurangi jumlah jamaahnya secara drastis, tahun 2020 hanya sekitar 1000 jamaah, bahkan yang dari luar Makkah ditunda, alias tidak diizinkan.
Ini menunjukkan ujian pandemi ini relatif berat dan berdampak luas. Hampir tidak ada sesi kehidupan yang tidak terkena dampaknya. Tidak luput pula yang paling terdampak adalah di bidang kesejahteraan rakyat dan ekonomi. Betapa sangat menurun kondisinya, setidaknya bagi kaum kecil, pegawai kecil, buruh kecil, usaha kecil, dan seterusnya. Hal ini memaksa kita untuk mengetatkan ikat pinggang dan mencari terobosan kreatif dan inovatif dalam menjalankan usaha karena terkait protokol kesehatan.
Di bidang kesehatan, angka kematian meningkat cukup tinggi di sejumlah negara akibat pandemi covid ini. Kita banyak sekali kehilangan orang-orang baik dan tersayang di sekitar kita. Hampir tiap hari di tiap daerah dan juga di grup-grup medsos diwarnai berita duka cita yang diawali dengan ungkapan istirja‘ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, setiap kita milik Allah dan setiap kita akan kembali kepada Allah) sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 156 yang mengajarkan kesadaran sangkan-paran manusia dan apa saja berasal dari dan kembali kepada Allah. Untuk kerabat, rekan, keluarga, serta guru-guru kita yang telah wafat, kita iringkan doa, semoga Allah terima iman dan amal ibadah mereka dan digolongkan dalam golongan syuhada’ atau ash-habul yamiin, golongan kanan.
Apapun yang terjadi, sesulit apapun, seberat apapun, sebesar apapun kehilangan kita, Islam mengajarkan sikap yang moderat, dengan perpaduan syukur dan sabar sebagai sikap tengah dalam melihat pandemi ini. Jika kita mengalami sakit, sebisa mungkin kita berobat dengan baik dan bersabar serta diiringi zikir dan doa sebagai bentuk pengharapan kita kepada kasih sayang Allah. Berobat itu ikhtiar untuk sembuh dan ini menjadi ladang pahala. Demikian juga bersabar akan mengundang pertolongan Allah dan Allah pun akan menghapus dosa bagi si sakit yang bersabar. Jika ada keluarga kita yang wafat, kita berserah diri pada Allah, bahwa kita sudah berusaha mengobatinya, namun takdir menunjukkan lain. Kita berpikir, Allah lebih mencintai beliau yang diwafatkan.
Setinggi apapun cinta kita kepada keluarga atau rekan, sahabat serta guru kita, tetaplah cinta Allah lebih besar dari cinta makhluk sehingga Allah segera akan memberikan penghargaan terbaik atas iman dan amal sholehnya. Beliau-beliau dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai hamba yang beriman dan taat. Jika, akibat pandemi ini, kita terbatasi dalam beraktivitas, misalnya kerja online dan belajar online, dan seterusnya, kita pahami ini sebagai cara Allah untuk mengajarkan manusia mencari cara-cara inovatif mengatasi masalah, misalnya muncul program kelas online, kerja online, ngaji online, seminar online, warung online, dan seterusnya. Tetap Positif thinking.
Terkait keadaan sulit dan kehidupan yang dirasa berat, Nabi Muhammad SAW. mengajarkan kepada kita untuk memandang ujian secara positif thinking (husnudz-dzon) kepada Allah. Bahwa di balik ujian-ujian berat dalam hidup, terdapat hikmah-hikmah yang banyak, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Inna ma’al-‘usri yusroo. (Sungguh beserta kesulitan, ada kemudahan).
Ayat ini ditegaskan 2 kali oleh Allah dalam surat al-Syarh. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadis berikut: عن أبي سعيد و أبي هريرة أنهما سمعا رسول الله ص. يقول: ” ما يصيب المؤمن من وصب ولا نصب ولا سقم و لاحزن حتى الهم يهمه إلا كفر به من سيئاته”. (رواه البخاري و مسلم( Artinya: Dari Abi Sa’id RA. dan Abi Hurairah RA. bahwa keduanya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada musibah apapun yang menimpa orang beriman, baik berupa sakit yang menahun, keletihan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan yang melandanya, kecuali menjadi penghapus dari kesalahan/dosanya.” (HR. Bukhori dan Muslim: 2573).
Rasulullah SAW. mengajarkan umatnya untuk bersabar dalam hidup sebab hidup tidak selalu lurus, nyaman, mulus, dan lancar. Hidup tidak selalu bertemu karpet empuk, namun seringkali yang ditemukan adalah jalan berlubang, berbatu, berkelok, naik-turun, bahkan jalan berduri. Karenanya, jika umat Nabi SAW. Memiliki kesabaran yang baik ia akan bisa memiliki daya tahan dan daya juang yang tinggi dan itu merupakan modal kebangkitan dan kemudian kesuksesan dunia dan akhirat. Tentu ini berlaku jika dilandasi atas dasar iman kepada Allah dan yakin akan rahmat dan pertolongan-Nya.
Dalam hidup, tidak selalu dalam keadaan sehat, kuat, sukses, dan nyaman. Sebab jika demikian, dari mana seorang hamba belajar bersabar? Dari mana manusia memperoleh predikat shobbar (sangat penyabar) dan syakuur (sangat bersyukur)? Tidak lain kecuali dilatih dan diasah dengan munculnya ujian-ujian tersebut, baik yang memberatkan atau yang menyenangkan. Sebaliknya, juga hidup tidak selamanya sakit itu terjadi terus-menerus, gagal juga tidak datang terus bertubi-tubi, dan kondisi sulit itu juga bukan kondisi tanpa ujung.
Pasti pada saatnya, hari akan berubah. Sakit berubah menjadi sembuh, gagal menjadi berhasil, jatuh menjadi bangkit, dan seterusnya. Dari kondisi ini, Allah hendak mengajarkan kepada kita semua akan sikap hidup berharap rahmat dan pertolongan Allah, berserah diri kepada Allah, dan merasa didampingi Allah dengan dzikir dan doa yang kita panjatkan.
Jadi pergantian keadaan itu adalah hal yang biasa dan seorang hamba ditantang untuk menyikapi dengan sikap terbaik, bersabar atas musibah dan bersyukur atas anugerah. Dan hamba-hamba Allah yang bersabar dan bersyukur serta yang terus berpengharapan baik kepada Allah dengan selalu menjalankan ketaatan, dialah yang akan menjadi pemenang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Karenanya, musibah tidak boleh menjadikan kita larut dalam kesedihan yang berkepanjangan dan membuat kita patah arang dan tidak siap atau membuat kita ragu melanjutkan perjuangan dalam meraih hidup mulia di dunia dan akhirat. Terlepas dari itu, setiap musibah jika disikapi dengan sabar akan menjadi penghapus dari dosa dan kesalahan kita. Betapa dalam, makna di balik sebuah ujian. Mari terus berdoa dan terus optimis karena firman Allah, “Alaa Inna nashrollahi qoriib“.(Ingatlah bahwa sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat sekali). Aamiin. (NA,2021)
Penulis: Nur Achmad, MA. (Pengasuh Pesantren MBS Ki Bagus Hadikusumo dan Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta)