29.2 C
Jakarta

Biasakan Mengambil Risiko Sedang

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP*

Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, sisi positif yang dapat kita ambil adalah munculnya aneka usaha baru. Baik skala rumahan alias home industri, hingga munculnya pabrik (perusahaan baru). Peluang usaha tetap ada. Penting sebagai modal adalah kemauan. Meski demikian, bagi yang ingin membuka outlet usaha baru, tidak ada salahnya mencoba untuk membiasakan mengambil resiko sedang. Alasannnya, kalau berhasil, tidak pongah, kalau gagal tidak bunuh diri. Karena kerugian yang ditanggung tidak terlalu banyak.

Ini adalah catatan ringan dari teman-teman yang membuka usaha baru, diawali dengan mencoba mengambil resiko sedang. Dari hasil wawancara. Inilah catatannya.

Cerita pertama. Seorang teman pebisnis accu (baca: aki) menceritakan kalau setiap dua bulan sekali dari bisnis akinya ia mendapatkan keuntungan dari bekas aki tukar tambah konsumen saja dapat mencapai 12 juta kotor. Belum dari hasil jasa penambahan air aki sendiri. Padahal konsep bisnisnya kalau saya tanya sederhana saja. Jaga kepercayaan relasi dan beri pelayanan lebih. Maka meski bisnis aki bermunculan, ia tetap eksis.

Awalnya teman saya ini cerita, kalau bisnis aki yang dirintisnya benar-benar dari nol. Tempat dan modal pinjam. Meski era listrik merambah sampai pelosok desa, namun ia yakin peran aki akan tetap eksis. Kendaraan apapun akan tetap memanfaatkan peran aki ini. Sebelum usahanya berkembang seperti sekarang ini, saya bertanya tentang risiko yang harus diambilnya ketika harus memilih. Maka teman saya ini mengatakan dalam mengambil risiko, maka ambil risiko sedang. Ketika usaha sedang naik sekalipun, kita tidak perlu terburu-buru untuk mengambil risiko besar dengan cara  pinjam modal besar di bank untuk menambah asset atau kekayaan. Atau melebarkan sayap usaha. Jangan. Tunggu sebentar sampai usaha kita benar-benar kokoh.

Saran sederhana ini  ternyata mujarab. Kadang kita terburu-buru untuk mendapatkan untung besar, namun pondasi usaha kurang kokoh, akibatnya  goyah. Bukan untung yang kita peroleh, namun justru usaha kita mengalami kemunduran bahkan sampai pada titik nadir, bangkrut.

Cerita kedua, kita coba belajar dari penjual gorengan (tahu susur, tempe dan pisang goreng). Betul, awalnya ia sekedar menjual gorengan saja untuk melayani tetangga kiri kanan. Namun lama kelamaan usaha gorengan ini berkembang. Ia mencoba mengembangkan usaha dengan menambah jual soto, lotek, gado-gado dan aneka minuman. Dan berhasil. Tak cukup sendri maka ia ajak suaminya untuk membantu melayani. Itupun tidak cukup, maka ia ajak saudara yang lain untuk turut serta mengurusi warungnya yang agak sempit itu. Dulu sebelum memutuskan untuk mengembangkan usahanya, ia sempat berpikir, jangan-jangan usaha aslinya, yakni jualan gorengan tidak dapat ditangani, tetapi dengan prinsip mengambil risiko sedang, ternyata semuanya dapat berjalan. Pelan namun pasti.

Kelemahan kita kalau sudah merasa berhasil, banyak konsumen, secara sengaja kita justru malah menurunkan kualitas. Baik itu rasa, terutama adalah ukuran. Ini sebenarnya bumerang dan bom waktu bagi sebuah usaha. Maka, mempertahankan kualitas jauh lebih susah, ketimbang kita mendapatkannya.

Cerita ketiga. Saya punya teman penjahit pakaian. Sekarang ini kewalahan menerima order. Apalagi kalau musim sekolah tiba. Bak durian runtuh. Padahal awalnya, ia ‘nunut’ nebeng pada saudara yang lebih dahulu ‘jadi’. Tapi ia tidak malu bertanya. Pekerjaan yang dianggapnya sederhanapun dilakukannya, misalnya sekadar memasang kancing baju, ternyata ada ilmunya. Setelah tahu seluk menjadi penjahit, termasuk cara mencari order, iapun putuskan untuk  keluar dan mencoba untuk memulai usaha baru. Awalnya memang ada  perasaan canggung dan takut gagal, tidak ada yang pesan. Tetapi ternyata relasi yang dulu ada ketika ia bersama saudaranya – masih tetap mencari.

Ia tidak buru-buru keluar dari usaha saudaranya. Ia coba bangun dulu relasi dan kepercayaan. Dengan penambahan modal secukupnya, ia mencoba melengkapi  dagangan lainnya. Artinya, penting mengambil risiko sedang dalam bisnis kita. Tidak buru-buru cepat mencapai puncak. Namun juga tidak lamban dalam berjalan.

Ketiga cerita tadi semoga membawa inspirasi kita. Hakekatnya hidup kita ini juga adalah dalam koridor bisnis. Kita tidak ingin merugi dalam hidup yang hanya sekali-kalinya ini. Allah Swt  – Tuhan YME telah membeli jiwa, harta dan nyawa kita, untuk berjuang dijalan-Nya. Dan keuntungannya adalah surga yang telah dijanjikannya. Kekal abadi selama-lamanya. Sekian.

* Mengajar di SMP Muhammdiyah Turi Sleman DIY, opini pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!