BOGOR, MENARA6.COM — Biaya produksi beras per kilogram di Indonesia, tertinggi di antara lima negara produsen beras di Asia yakni 0,369 dolar, hal ini memperkecil kemungkinan negara untuk mengekspor beras medium.
“Selama ini yang kita ekspor adalah beras organik atau beras premium. Sedangkan beras medium kemungkinan kecil karena tingginya biaya produksi,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB, Prof Rina Nurmalina, di Bogor Ahad (21/5/2017), seperti yang disiarkan Antara.
Lima negara produsen beras di Asia yakni Tiongkok, hanya menghabiskan biaya produksi sebesar 0,331 dolar AS, Piliphina 0,292 dolar, lalu India hanya 0,209 dolar dan Thailand sebesar 0,208 dolar, serta yang terendah adalah Vietnam 0,154 dolar.
“Produktivitas beras Indonesia, ketiga setelah Vietnam dan Tiongkok. Vietnam memiliki biaya produksi paling rendah, maka itu kenapa mereka bisa ekspor berasnya,” kata Rina.
Ia menjelaskan, efisiensi usaha tani di Indonesia masih rendah dibandingkan negara produsen padi lainnya. Upaya peningkatannya yakni dengan meningkatkan produktivitas atau mengurangi input-input produksi yang berlebih. Menurut dia, biaya tinggi tersebut sebagian disumbang dari tingginya biaya tenaga kerja terutama saat panen dan biaya sewa lahan. Di negara lain berhasil menekan biaya tenaga kerja karena menggunakan mesin, terutama saat panen.
“Karena ada budaya gotong royong, jadi Indonesia belum bisa menekan biaya produksi ini, ditambah luas tanah yang terkotak-kotak,” katanya.
Ia mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh PSEKP mengungkapkan, pendapatan usaha tani padi di Indonesia dilihat dari berbagai daerah, berbagai jenis luas lahan, berbagai jenis padi dan berbagai jenis pengelolaan, masih positif atau menguntungkan dengan R/C berkisar antara 2.35 sampai 2.65.
Tetapi lanjutnya, kendala yang dihadapi, penyediaan beras untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih menghadapi masalah. Seperti, konversi lahan sawah di Pulau Jawa, pertumbuhan produksi dan produktivitas padi yang melambat dan keterbatasan sumber daya manusia.
Selain itu, kepemilikan lahan yang sempit, kurang dari 0,5 haktare, lebih dari 70 persen petani di Indonesia berpendidikan rendah hanya lulus SD atau tidak lulus sekolah dasar.
“Sebanyak 92,85 persen petani Indonesia memiliki modal rendah, kurang penyuluhan, dan 44,01 persen petani berusia di atas 50 tahun. Ini sangat krusial,” katanya.
Rina mengusulkan beberapa kebijakan yang bisa diterapkan oleh pemerintah untuk mendukungan ketahanan pangan dalam negeri. Yakni, peningkatan efisiensi dan daya saing produksi padi melalui varietas unggul, teknologi tepat guna, dan penggunaan mesin pertanian.
Usulan kedua, yakni peningkatan investasi atau infrastruktur. Ketiga, pemberdayaan kelembagaan pemerintah dan petani. Keempat, peningkatan keuntungan melalui efisiensi penggilingan padi dan rendemen beras melalui peremajaan dan investasi mesin penggiling.
“Kelima, penguatan sistem logistik, perbaikan distribusi dan pemasaran hasil, dan perbaikan kualitas manajemen kelembagaan data serta sistem informasi,” kata Rina.