JAKARTA, MENARA62.COM – Sebanyak empat dari 100 anak usia dini di Indonesia mendapatkan pengasuhan yang tidak layak dari orang tuanya. Selain itu stunting diawali kondisi Weight Faltering yang menyebabkan anak gagal tumbuh dan berkembang.
Hal tersebut terungkap dalam webinar Seputar KB dan KS dalam rangka percepatan penurunan stunting yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Harris Hotel Bekasi, pada Kamis (9/11/2023).
“Pola asuh orangtua dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendidikan orang tua, lingkungan, dan budaya. Dalam lingkungan keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya kemudian. Sementara pola asuh terbagi menjadi 4 jenis, yaitu otoritatif, otoriter, permisif, dan neglecful,” kata Deputi bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) Nopian Andusti, SE., MT., ketika membuka webinar dengan tema “Pola Asuh Bagian Terbesar dalam Pembangunan Keluarga: Studi dan Implementasinya”
Menurut Nopian, di Indonesia, 4 dari 100 anak usia dini pernah mendapat pengasuhan tidak layak. Persentasenya berkisar 3,73 persen di tahun 2018, dan menurun menjadi 3,64 persen di tahun 2020, kata Nopian mengutip Profil Anak Usia Dini tahun 2021. Sedangkan dalam Indeks Perlindungan Anak, Indonesia memiliki target 2024 sebesar 3,47 persen.
Sejalan dengan Nopian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera BKKBN dr. Hariyadi Wibowo, MARS., berharap dalam webinar ini dapat mengupas tuntas mengenai pola asuh yang baik.
“Bagaimana pola asuh yang cocok bagi anak agar sesuai dengan perkembangannya? bagaimana pengaruh pola asuh terhadap perkembangan anak?,” kata dr. Hariyadi.
Webinar daring via Zoom yang juga tayang secara live di Youtube BKKBN Official ini dimoderatori oleh Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Resty Pujihastuty dan Oktriyanto, dengan menghadirkan tiga narasumber pakar pada bidang pola asuh dalam pembangunan keluarga.
Awal dari Stunting
Sementara itu narasumber Dr. dr. Fitri Hartanto, Sp.A(K) memaparkan tentang pentingnya intervensi keluarga dalam pencegahan stunting.
“Sebetulnya terjadinya stunting berawal dari Weight Faltering yang menyebabkan anak gagal tumbuh, gagal perkembangan otak, pada tahap inilah harus dilakukan intervensi dini di layanan kesehatan primer,” kata dokter spesialis anak di Rumah Sakit dr. Karyadi, Semarang ini.
“Kita harus fokus pada pencegahan daripada mengobati. Lantas bagaimana cara mencegah angka stunting baru? Dengan upaya preventif primer, artinya ketika masih belum terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Melalui aspek promotif dan preventif, maka akan menghasilkan hasil yang optimal,” ujar dr. Fitri.
Selanjutnya dr. Fitri mengatakan kebutuhan anak akan asah, asih, dan asuh, tentu harus dipenuhi oleh orangtuanya. Kadang dipahami bahwa “sayang” adalah selalu menuruti kehendak anak, permisif, sehingga mengakibatkan anak gagal belajar.
Dr. Fitri menyarankan sebisa mungkin orangtua menggunakan kasih sayang yang positif. Mencontohkan perilaku yang baik, tentu tidak dengan kekerasan baik sikap maupun perkataan.
“Pada saat mengajari dengan kasar, maka anak hanya akan mengingat wajah orangtua yang marah, anak tidak menangkap kata apa yang diajarkan,” katanya.
“Kemudian stimulasi harus dioptimalkan di usia golden periodnya, begitu diajarkan yang salah anak akan menganggap hal itu benar. Kalau sudah tertanam di diri anak, maka akan sulit diubah. Salah satunya picky eater anak hanya makan apa yang disukainya saja, misalkan anak tidak suka makan ikan maka orangtua sengaja tidak pernah memberi ikan. Padahal protein sangat penting untuk cegah stunting. Nah, yang harus membiasakan dan memberikan makanan gizi seimbang adalah lingkungan yang paling dekat yaitu orangtuanya,” imbuhnya.
Jangan Lupakan Sanitasi
Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University Dr. Yulina Eva Riany, SP., M.Ed mengatakan pentingnya sanitasi dan kebersihan dalam mencegah stunting.
“Ada hasil penelitian dari Bangladesh yang mencengangkan. Di sana sudah ditekankan aspek pengetahuan edukasi pada orangtua dan pola pengasuhan. Namun, angka stunting negara itu justru tetap meningkat, ternyata mereka lupa akan aspek sanitasi sehingga tingkat kesakitan pada anak tinggi,” kata Yulina.
Ketika ditelaah praktik pengasuhan yang dapat di reinforce yaitu pengasuhan yang penuh kehangatan, less punishment, less stress pada orangtua khususnya ibu,
“Yang sedang ramai sekarang, baby blues. Pengasuhan positif prinsipnya memberikan kesempatan pada orangtua agar mampu secara mandiri mengatur kapasitas untuk mendisiplinkan anak, healing sendiri, self regulated emosinya. Ternyata dapat menurunkan stress dan depresi, juga menurunkan stunting. Sehabis melahirkan, ibu harus didukung penuh, sehingga dapat mengasuh dengan happy juga,” ujar Yulina.
Satu hal yang menarik, edukasi pada support system juga berpengaruh signifikan, “bagi sandwich generation banyak pengasuhan anak ada di tangan nenek, sehingga butuh edukasi agar nenek memiliki pemahaman yang sama dengan orangtua dalam memberikan pola pengasuhan yang optimal, pemenuhan kebutuhan gizi dengan keragaman pangan, misalnya untuk MPASI,” terang Yulina ketika menjelaskan grand parenting.
Bully dari Orang Tua
Sementara itu psikolog Senior Program Specialist ECED Tanoto Foundation Fitriana Herarti, M.Psi mengungkapkan bahwa pengasuhan positif didasarkan pada kasih sayang, saling menghargai, pemenuhan dan perlindungan hak anak, terbangunnya hubungan yang hangat, bersahabat dan ramah antara anak dan orangtua, serta menstimulasi tumbuh kembang anak agar optimal.
“Akhir-akhir banyak kasus bullying, sebenarnya tidak hanya antar anak saja, bahkan banyak kasus orangtua yang membully anaknya sendiri. Salah satu adalah membandingkan anaknya dengan orang lain. Komentar negatif yang sedianya untuk mendorong agar mereka lebih baik malah justru menjatuhkan mental. Padahal setiap anak unik,” kata Fitri.
“Anak adalah peniru ulung, orangtua adalah modelnya. Apapun yang terjadi pada anak merupakan refleksi dari orangtua. Bapak ibunya teriak maka anak bisa menirukan, teriak kepada temannya. Jangan harap anak bisa cerdas apabila orangtua tidak cerdas dalam menerima informasi. Misal, ketika adzan, orangtua tidak memberikan contoh langsung shalat maka anak akan menirunya,” tambahnya.
Dirinya menyebutkan contoh stunting yang tinggi di Vietnam, berhasil diatasi dengan 1 legal, “pemerintah mendukung ASI eksklusif, ibu bekerja boleh cuti 6 bulan untuk menyusui anaknya,” ujar psikolog yang sudah 20 tahun menekuni dunia anak tersebut.(*)