25.5 C
Jakarta

Boarding School, Sekolah sambil Mondok, sebuah Pilihan

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP*

Aksioma yang menyatakan pergantian menteri selalu dibarengi dengan pergantian kebijakan, rasanya tidak terbantahkan.  Dari pergantian kurikulum, Silabus hingga Perangkat Pembelajaran dan Sistem Penilaian. Kurikulum KTSP berganti K- 2013, konon adalah dalam rangka penyempurnaan sistem pendidikan di negeri ini. Meski masih menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah mengambil jalan tengah dengan memberikan kesempatan kepada tiap sekolah memilih mau terus menggunakan K-13 lengkap dengan penyempurnaannya, atau kembali ke KTSP (kurikulum 2006). Namun dengan catatan pada tahun pelajaran 2019/2020 pemerintah mematok semua sekolah sudah siap dengan penerapan K-13 ini.

Kini Mas Nadim Makareim, Menteri Pendidikan di era Jokowi juga mencoba menyempurnakan sistem pendidikan di negeri ini, dengan lebih menyederhanakan RPP, yang dikenal RPP satu lembar, dengan banyak menekankan pembelajaran yang membentuk karakter dan pemanfaatan teknologi. Dan yang paling trend adalah penghapusan UN (Ujian Nasional). “Tahun ini tahun yang terakhir,” Kata Nadim satu saat. Yakin.

Kalau kita mendalami substansi dari apa yang diharapkan Mas Menteri pendidikan diharapkan tidak hanya mengedepankan sisi kecerdasan (kognitif) semata, tetapi penanaman akhlak, karakter yang konon menjadi bekal hidup peserta didik (PD) sudah semestinya dipersiapkan semenjak PD berada di bangku sekolah. Kurikulum di era Nadim ini memang bukan tanpa sisi lemah, terutama komentar dari teman-teman guru adalah di aspek penilaian yang cenderung njlimet, rumit alias rigit. Tetapi semangatnya sesungguhnya boleh dicatat sebagai sebuah keunggulan. Terutama dari sisi penggunaan IT. Bagaimana jika diterapkan di Sekolah Boarding?

Untuk mendapatkan out put PD yang berkualitas, saya pikir pola pendidikan Boarding School (BS). Sekolah sambil Mondok yang kini makin marak perlu diapresiasi. Mengapa? Karena survey membuktikan bahwa pola pendidikan yang menggabungkan pendidikan reguler di kelas setiap harinya dipadu dengan pendidikan ala pesantren. PD menginap (asrama). Mereka akan mendapatkan pengawasan yang lebih ekstra. Istilahnya sejak dari tidur hingga mau tidur lagi dalam pantauan.

Sependek yang saya tahu, beberapa catatan tentang pendidikan Boarding School yang mulai dilirik kuat oleh wali murid, meski mereka harus merogoh kantong lebih dalam. Buktinya calon peserta didik dan wali rela antri untuk mengikuti seleksi masuk.Meski harus mengarungi pulau pun dilalui.

Pertama, adanya jaminan perolehan pendidikan gabungan yang berkualitas. Gabungan antara kepintaran secara IQ, EQ dan SQ.  Diberikan secara intens oleh sekolah dengan manajemen BS ini. Hal ini dibuktikan dengan torehan prestasi di bidang kognitif yang tidak selalu ketinggalan. Sementara dari sisi agama mereka juga unggul. Pola asrama menjadikan pengawasan anak dalam 24 jam lebih mudah.

Kedua, karena sistem itulah maka, PD akan lebih fokus belajar dan mengaji dalam suasana lingkungan yang kondusif. Meski harus diakui, bahwa namanya anak-anak (PD), tentu pada awal-awal pembelajaran akan ada pemberontakan-pemberontakanyang bersikap psikologis. Setiap hari tadinya mereka diantar dan dijemput oleh orang tuanya, kini mereka harus “jauh” dari orang tuanya dan belajar mandiri. Tidak hanya belajar mandi sendiri, namun juga kemandirian yang lainnya. Misal mencuci dan seterika  baju sendiri, biasakan bangun tengah malam, padahal awalnya sholat subuh juga masih terbiasa kesiangan. Namun keterpaksaan yang berulang-ulang ini, lama-lama akan menjadi kebiasaan dan akhirnya akan membentuk karakter pada diri anak.

Ketiga, rasa aman dan nyaman dari para wali/orang tua. Karena dengan menitipkan anak dalam waktu penuh di sekolah, menjadikan mereka tidak akan mempunyai banyak waktu luang untuk kegiatan negatif yang cenderung merusak atau destruktif. Karena rasa aman inilah maka para orang tua akan rela memberikan bantuannya, kontribusinya untuk sekolah tersebut.

Terlebih makin permisifnya budaya pop dikalangan remaja. Menjadikan banyak orang tua khawatir dengan perkembangan anak-anak remajanya. Apalagi waktu yang dimiliki para ortu juga kini makin tidak sempat untuk mengurus anaknya sendiri, lantaran kesibukan yang tidak terperi. Masalah ekonomi.

Keempat, memberikan kesempatan untuk calon memperbaiki diri, mudahan dengan perbaikan baik pembuatan RPP, sistem mengajar  tidak  terus-menerus mencatat di papan tulis. . Insya Allah dengan demikian, PD akan lebih tertarik dan belajar bukan lagi sebuah kewajiban, namun sudah menjadi kebutuhan. Semoga bermanfaat. Sekian

Penulis : Praktisi Pendidikan di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY, opini pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!