SAMPAH merupakan barang menjijikan yang mesti dijauhi. Namun di tangan Boy Chandra (55) sampah berhasil disulap menjadi barang-barang berharga seperti pot tanaman, pupuk kompos, dan pipa-pipa paralon dengan berbagai ukuran. Sehingga barang-barang daur ulang tersebut bisa mendatangkan rupiah.
Boy Chandra, warga Bungsing, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengembangkan usahanya di atas tanah gersang seluas 2,5 hektare milik Kalurahan Guwosari. Tanah gersang tersebut berada di perbukitan Pajangan yang disewanya selama kurang lebih 20 tahun.
Boy Chandra berhasil mengubah tanah gersang tersebut menjadi lahan yang produktif. Tanah tersebut kini digunakan untuk pengolahan sampah, perkebunan, perikanan, pertanian, dan perindustrian. Sebagian lahan digunakan untuk memilah sampah, menghancurkan sampah menjadi chip, rumah produksi pembuatan pot, perkebunan, perikanan, pertanian, dan industri pipa.
Bahkan tempat usahanya tersebut telah dijadikan sebagai tempat pelatihan bagi calon-calon pengolah sampah. Boy bekerjasama dengan Prof Gunawan Somodiningrat mendirikan Guwo Sari Traning Center (GSTC). Menurut rencana GSTC akan menjadi pusat pelatihan berbagai macam ketrampilan.
“Ada 90-an karyawan yang terlibat dalam proses daur ulang sampah di sini. Usia mereka bervariasi mulai dari 20 hingga 70 tahun. Sedang jenis pekerjaannya, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka mendapatkan upah sesuai UMR (Upah Minimum Regional) Bantul,” kata Boy Chandra di Guwosari, Sabtu (22/5/2021).
Dijelaskan Boy Chandra, kebetulan lahan yang disewanya memiliki sumber mata air kecil. Kemudian air tersebut ditampung dan digunakan untuk menyirami tanaman yang ada di perkebunan, dan pertanian menggunakan sistem tetes. Air tersebut disalurkan menggunakan paralon hasil daur ulangnya. Sistem ini dapat menghemat tenaga kerja.
Boy Chandra juga menggunakan sumber air tersebut untuk mengembangkan perikanan dalam kolam terpal. Saat ini, sudah ada lima kolam terpal berdiameter kurang lebih 1,5 meter dan dipelihara ikan gurameh. “Ada karyawan khusus yang bertanggung jawab memelihara ikan,” kata Boy.
Boy Chandra menceritakan usaha menjadi pendaur ulang sampah ini diawali tahun 2000. Tahun 1998, Boy Chandra yang memiliki bengkel One Stop Shopping cukup besar di Meruya Hilir 38, Taman Kebon Jeruk, Jakarta.
Saat usahanya sukses, Boy Chandra berkenalan dengan seorang wanita, pelanggan bengkelnya warga negara Hongkong. Kebetulan wanita tersebut tinggal di depan bengkelnya. Kemudian keduanya sepakat untuk mengembangkan usaha burung walet.
“Dugem, main perempuan, Narkoba, dan minuman keras merupakan hiburanku setiap malam. Selain itu, juga menyukai judi bola. Pernah suatu ketika aku menang Rp 3 miliar dalam satu malam. Keuanganku semakin menguat saat itu,” kata Boy.
Dalam perjalanan bisnis sarang burung walet, Boy meninggalkan kolega bisnisnya dengan mencari jalan penjualan langsung ke konsumen. Harapannya, Boy bisa mendapatkan untung besar. “Namun harapan tinggal harapan, karena saya tertipu miliaran rupiah dan hutang besar dari saudara. Saya stress berat, depresi saat itu,” katanya.
Permasalahan semakin rumit, di dalam keluarga juga terjadi pertengkaran. Untuk menutup hutang, bengkel dijual, rumah tempat tinggal keluarga dijual, perhiasan isteri dijual dan Boy jatuh miskin. “Aku sering berpikir untuk mengakhiri hidup ini. Hampir gila. Jalan kaki tanpa arah. Akhirnya, aku bertemu dengan tokoh spiritual,” ceritanya.
Boy mendapat nasehat dari tokoh spiritual yang dapat memberi semangat dan menguatkan hatinya. Kemudian Boy diarahkan untuk hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Tepatnya di Bambanglipuro, Bantul.
Sesampai di Yogyakarta, Boy tetap bingung. Sebab tidak ada saudara dan teman yang dikenal. Bahkan doa-doanya belum dikabulkan Tuhan. Sehingga Boy menduga ini merupakan hukuman atas kelakuannya di masa lalu. “Aku marah kepada Tuhan, karena tidak mendapat pertolongan dari Tuhan. Kondisiku semakin parah,” katanya.
Tahun 2003-2004, Boy ketemu dengan seorang eksportir daur ulang plastik kemasan ke Cina dan seorang manajer pabrik kabel yang membutuhkan tembaga bekas. Boy merintis usaha menyuplai plastik dan logam bekas. Usaha yang dilakukan dari tempat kontrakan di Ganjuran ini memberikan keuntungan yang cukup tinggi dan berhasil.
Seiring dengan meningkatnya usaha, rumah kontrakannya tidak cukup untuk menumpuk barang-barang dagangannya. Kemudian tahun 2006, ia pindah ke Pijenan, masih di wilayah Bantul. Tetapi usahanya ini mendapatkan protes dari warga sehingga harus pindah ke Bungsing. Usahanya mengolah sampah plastik menjadi chip untuk kebutuhan pabrik paralon di Jakarta.
“Saat pindah ke Bungsing hanya menyewa satu rumah dengan luas tanah kurang lebih 300 meter. Kegiatannya, mendaur ulang sampah plastik menjadi chip yang dikirim ke Jakarta,” kata Boy.
Boy kemudian berusaha untuk inovasi produk. Ia tidak mengirim chip ke Jakarta dan ingin mengolah sendiri menjadi pipa paralon. Kemudian ia bertanya-tanya ke pabrik paralon dan sempat mendapat jawaban yang tidak mengenakan yang membuat dirinya ‘marah.’
Ia pun bertekad untuk mewujudkan impiannya bisa membuat pipa paralon dari pabrik lain pelanggan chip dari Boy. Akhirnya, Boy berhasil mempelajarinya dan mendirikan pabrik paralon di Bungsing.
“Tahun 2017, mampu memiliki pabrik paralon dengan puluhan karyawan. Mampu membelikan rumah untuk isteri dan anak di Jakarta. Ini sebagai pengganti rumah yang pernah dijual saat kebangkrutan,” kata Boy yang terus berinovasi.