30.1 C
Jakarta

BSN pada Era Digital, Menangkal Hoaks Melalui SNI

Baca Juga:

JAKARTA – Hoaks  atau berita bohong semakin marak. Data POLRI 2018 menyebutkan dalam sehari rata-rata 3.500 hoaks beredar di dunia maya. Pesan berantai tersebut disampaikan melalui WhatsApp, Line, Instagram, Facebook, Twitter maupun media sosial lainnya.

Era digital yang ditandai dengan penggunaan teknologi secara masif, menurut Menteri Kominfo Rudiantara menjadikan hoaks begitu mudah menyebar mencapai sasaran. Dengan penetrasi penggunaan internet mencapai  angka sekitar 145 juta orang, hoaks sangat mudah menembus kelompok manapun, baik yang tinggal di kota maupun pedesaan, baik yang berpendidikan maupun hanya lulusan SD, mereka yang kantoran maupun buruh petani.

Melalui media sosial, informasi bisa disebarkan dengan mudah. Bahkan acapkali informasi tanpa dasar scientific, mampu mengubah persepsi masyarakat karena sedemikian cepatnya menyebar.

Karo Multimedia Divisi Humas Polri Brigjen Pol Budi Setiawan mengatakan,  maraknya penyebaran berita hoaks didorong keinginan sebagian masyarakat yang ingin eksis, yakni dengan menyebarkan informasi secepatnya. Padahal yang bersangkutan tidak mempelajari terlebih dahulu kebenaran informasi yang disebarkannya.

Tak hanya berita-berita politik, hukum, agama dan ekonomi. Hoaks juga menimpa produk-produk makanan, minuman, obat-obatan dan produk lainnya. Tujuannya, tentu tak sekedar membuat resah masyarakat. Adakalanya juga perang strategi bisnis, saling menjatuhkan lawan.

Awal 2018 misalnya, beredar khabar adanya beras yang dicampur pemutih atau zat pengawet formalin yang berbahaya bagi kesehatan melalui media sosial. Isu tersebut membuat kalangan ibu-ibu resah, mengingat beras adalah kebutuhan pokok yang tiap hari dikonsumsi. Belum lagi isu tentang beberapa merek penyedap rasa dan mie instan yang mengandung babi.

Dalam menyebarkan hoaks, penulis biasanya menyertakan lembaga-lembaga berkompeten seperti MUI, Kemenkes, Kemenag, Pondok Pesantren, ulama dan lainnya. Tujuannya, agar berita yang disebar dapat meyakinkan masyarakat luas, dapat mengubah persepsi publik.

Menjawab persoalan tersebut, Badan Standardisasi Nasional (BSN) memiliki peranan penting dan strategis. Melalui produknya bernama Standar Nasional Indonesia (SNI), BSN bisa membantu masyarakat memberikan jawaban apakah satu produk baik makanan dan minuman atau produk lain aman digunakan atau tidak, aman dikonsumsi atau tidak.

“SNI juga bisa membantu industri atau pelaku usaha untuk meyakinkan masyarakat tentang kualitas produknya,” kata Kepala BSN, Bambang Prasetya.

SNI adalah standar yang baku yang harus dipenuhi oleh industri saat akan mengeluarkan suatu produk. Standar  ini disusun dengan acuan yang jelas, melibatkan para ahli, dibawah pengawasan asosiasi profesi dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Sebagai sebuah standar, maka lanjut Bambang, hal-hal yang mengenai produk yang berlabel SNI, tentu sudah memenuhi kadiah dan aturan main sesuai standar yang ditetapkan dan disepakati. Mulai dari hulu hingga ke hilir, mulai dari pra produksi, proses produksi hingga siap digunakan.

SNI ditetapkan oleh pemerintah untuk berbagai hasil produksi yang dibuat oleh masyarakat Indonesia, baik itu yang diproduksi secara perseorangan maupun yang diproduksi oleh sebuah badan atau perusahaan. SNI bisa menjadi jaminan hak dan kewajiban baik sebagai produsen maupun konsumen.

“Intinya, bisnis akan berjalan aman jika berpedoman pada aturan dan ketentuan pemerintah,” tukasnya.

Kepala BSN Bambang Prasetya. (ist)

Karena itu, SNI memiliki peran penting dan strategis sebagai ‘mesin penjawab’ terhadap berita palsu atau hoaks suatu produk atau suatu barang.

“Masyarakat bisa mengecek produk tersebut ber-SNI atau tidak. Kalau sudah memiliki SNI, tentu dia sudah memenuhi standar baku dan itu aman,” kata Bambang.

Belum semua wajib SNI

Meski SNI penting, tetapi hingga kini belum semua produk wajib ber-SNI. Dikutip dari laman resmi Kementerian Perindustrian,  sejauh ini baru 544 produk yang ditetapkan oleh pemerintah wajib SNI. Produk-produk tersebut  termasuk dalam 3 sektor industri yakni elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT) serta mainan anak. Jumlah SNI di sektor TPT mecakup 521 produk, mainan anak 21 dan elektronik 2 produk.

Produk-produk tersebut diwajibkan memiliki SNI, dengan tujuan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah.

SNI wajib juga dalam rangka melindungi konsumen saat mendapatkan produk, baik dalam transaksi konvensional atau transaksi online seperti e-commerce yang saat ini berkembang pesat. Selain itu SNI penting untuk menghadapi serbuan produk impor.

Bambang seperti dilansir dari laman bsn.go.id mengatakan, SNI memiliki banyak manfaat. Dari sisi pemerintah, SNI melindungi produk dalam negeri dari produk-produk luar yang tak berstandar, dan membangun keunggulan kompetitif produk lokal.

Sementara itu, bagi produsen, SNI bisa memberikan kejelasan target kualitas produk yang harus dihasilkan. Dan yang terpenting bagi konsumen, SNI salah satu pegangan saat membeli barang, tak kecuali saat belanja konvensional atau online.

“SNI bisa menjadi jaminan, yang bisa digunakan masyarakat agar mendapatkan keamanan dalam menggunakan produk yang ber-SNI,” kata Bambang.

Masyarakat sadar SNI

Karena pentingnya SNI tersebut, kini banyak pelaku usaha yang berupaya mendapatkan sertifikat SNI untuk produk yang dihasilkan. Meski produk yang dihasilkan berkategori tidak wajib SNI.

Helis Soleha misalnya. Pemilik Honey Pempek tersebut mengaku meski tidak wajib SNI, ia tetap menerapkan SNI sejak April 2018. Tujuannya adalah memberikan rasa aman kepada konsumen. Selain itu ia ingin memperluas pangsa pasar Honey Pempek.

Helis Soleha, pemilik Pempek Honey.

Hasilnya, omset penjualan pempeknya naik hingga 30 persen dalam waktu 5 bulan. Pun area pemasaran yang semula hanya kota Palembang dan sekitarnya, kini merambah hingga kota Jakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa.

“Saya tahu SNI setelah BSN melakukan pembinaan untuk pelaku usaha kecil dan menengah. Lalu saya ikutan daftar karena ingin konsumen lebih percaya pada produk saya. Nyatanya memang benar,” kata Helis Soleha.

Ia juga lebih mudah menjelaskan kepada konsumen jika ada yang ragu terkait keamanan produk pempeknya. Sebab produk makanan sering dihadapkan pada isu bahan pengawet , bahan pewarna, dan lainnya.

“Saya cukup menunjukkan SNI produk. Konsumen langsung percaya dan yakin bahwa produk pempek saya aman, sesuai standar pemerintah,” lanjutnya.

Data BSN saat ini, dari 813 sertifikat SNI yang sudah diterbitkan, 207 diantaranya adalah SNI untuk kategori produk wajib SNI seperti peralatan listrik.  Artinya 75 persen SNI yang ada merupakan SNI dari produk yang sifatnya masih sukarela alias belum wajib SNI.

Fakta tersebut kata Kepala Pusat Penerangan Standar BSN Wahyu Purbowasito menunjukkan kesadaran kalangan dunia usaha untuk menerapkan SNI makin meningkat.

“Dari data menunjukkan produk ber-SNI didominasi oleh produk yang sifatnya sukarela, belum wajib SNI, ini bagus,” jelasnya.

Meningkatnya animo pelaku usaha untuk mendapatkan SNI tentu tak lepas dari isu keamanan produk. Semakin hari masyarakat cenderung memilih produk yang sudah memiliki standar agar ada jaminan keamanan dan kenyamanan serta kesehatan. Membeli produk atas dasar diskon atau harga murah, perlahan mulai ditinggalkan oleh konsumen.

Tak hanya itu,  SNI juga berkaitan dengan perluasan pemasaran. Dengan SNI, maka  produk boleh dikatakan siap tembus pasar global.

“Seperti kita ketahui sejumlah negara kini menerapkan aturan ketat terkait produk yang akan masuk ke negara mereka. Uni Eropa misalnya, sangat ketat dalam mengatur kandungan residu dalam produk ikan. Lalu Jepang cenderung menginginkan produk organik,”  lanjut Wahyu.

Fakta tersebut tentu harus direspon positif oleh pelaku usaha di Indonesia. Bahwa pasar global menuntut adanya persyaratan standar yang bisa dipercaya seperti SNI.

Keuntungan SNI

Apa keuntungan menerapkan SNI ? Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standarisasi BSN, Zakiyahmengatakan dalam penerapan SNI, setidaknya ada tiga pihak yang mendapatkan keuntungan. Pertama adalah produsen. SNI mendorong terciptanya suatu produk dengan standar tertentu, yang hanya bisa dihasilkan jika proses produksinya memenuhi kriteria tertentu. Untuk mencapai itu, produsen akan berusaha untuk mencari proses yang efisien dan efektif, mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai dengan pengemasan dan distribusi.

“Dengan kata lain, produsen akan terus melakukan inovasi sehingga produk yang dihasilkannya memiliki daya saing di pasar,” jelas Zakiyah.

Kedua adalah konsumen. Dengan adanya SNI akan membantu konsumen dapat memilih produk yang berkualitas. Adanya SNI akan membantu konsumen terbebas dari produk yang berbahaya bagi keselamatan hidup, kesehatan, ataupun lingkungan. SNI juga membuat konsumen dapat menikmati barang yang sesuai antara harga dan kualitasnya.

Tempe, sudah mendunia setelah mengantongiSNI. (ist)

Ketiga adalah pemerintah sendiri. Mengapa? Adanya SNI membuat pasar di dalam negeri memiliki mekanisme perlindungan dari serbuan barang-barang asing yang tidak diketahui kualitasnya. Dengan demikian maka akan tumbuh dinamika ekonomi baru, dimana para produsen akan berusaha untuk mendapatkan SNI atas produk mereka, sedangkan di masyarakat akan tumbuh lebih banyak lembaga sertifikasi produk yang juga kredibel untuk menilai dan menguji suatu produk.

Beberapa jenis makanan yang sudah mendapatkan SNI, dikatakan Zakiah, saat ini sudah mulai mendunia. Sebut saja tempe yang mendapatkan SNI 3144 tahun 2009 yang kemudian dikembangkan menjadi standar CODEX STAN 313R tahun 2013 atau standar pangan dunia.

Saat ini, tempe sudah dikenal akrab penduduk Jepang, Belanda dan negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat. Dengan standar yang jelas, masyarakat global mendapatkan rasa aman dan nyaman saat mengonsumsi tempe.

Menyusul tempe, BSN juga telah menetapkan SNI 7661:2013 tentang Pempek Ikan Rebus Beku. SNI ini diterbitkan guna memberikan jaminan serta peningkatan mutu dan keamanan pangan komoditas pempek ikan rebus beku yang akan dipasarkan di dalam dan luar negeri.

Zakiyah berharap terbitnya SNI 7661:2013 tersebut diharapkan bisa mendorong pempek menjadi produk global, menyusul tempe yang pabriknya saat ini  sudah ada di Jepang, Jerman, Belanda dan Amerika Serikat.

Perlu dukungan infrastruktur

Animo pelaku usaha baik kalangan industri maupun pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan sertiifikasi SNI semakin tinggi. Tetapi keinginan mereka untuk mendapatkan sertifikasi SNI seringkali terhambat oleh keterbatasan laboratorium pengujian produk dan minimnya sumber daya manusia (SDM) di lapangan.

Nur Hidayati, Kepala Bidang Pemasyarakatan Standardisasi BSN

“Laboratorium adalah infrastruktur paling penting untuk menerapkan SNI secara optimal,” kata Kepala Bidang Pemasyarakatan Standardisasi BSN Nur Hidayati.

Diakui laboratorium di Indonesia yang bisa digunakan untuk uji produk sudah cukup banyak, sekitar 1.221 laboratorium. Terdiri atas laboratorium milik Pemda, milik swasta dan pemerintah pusat.

Tetapi tidak semua laboratorium bisa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan pengujian. Terutama laboratorium milik swasta yang memang disiapkan untuk kepentingan internal mereka.

“Disinilah peran BSN untuk menjadi jembatan penghubung antara pelaku usaha dengan pemilik laboratorium,” tambah Nur.

Selain jumlahnya masih minim, seringkali labotarorium yang dimiliki Pemda kurang lengkap parameternya seperti yang ada dalam standar SNI produk. Bahkan ada pula Pemda yang tidak memiliki laboratorium untuk uji sampel produk tertentu. Akibatnya pelaku usaha harus pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan laboratorium yang sesuai.

“Kalaupun ada, acapkali mereka harus antre. Karena di lab uji, banyak juga produk sejenis yang akan diuji untuk kebutuhan sertifikasi,” kata Nur.

Nur mengambil contoh ketika pelaku usaha di Makassar akan melakukan uji laboratorium kopi untuk mendapatkan sertifikasi SNI. Ternyata di Makassar yang ada baru laboratorium untuk uji biji kopi. Tetapi untuk kopi berbentuk sediaan bubuk, belum ada.

“Mau tak mau pelaku usaha harus pergi ke Jakarta hanya untuk melakukan uji lab terhadap bubuk kopinya. Dan ini tentu memakan biaya yang mahal dan waktu yang lama,” lanjut Nur.

Diakui Nur Hidayati, untuk mendapatkan sertifikat SNI, pelaku usaha harus melalui sejumlah tahapan. Mulai dari permohonan yang ditujukan kepada Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), pengambilan sampel, uji laboratorium, perbaikan komponen yang kurang hingga evaluasi akhir untuk menentukan layak tidaknya mendapatkan SNI. Semua rangkaian tersebut membutuhkan kesiapan baik dari segi materi atau bahan produk, alat-alat produksi hingga produk siap guna.

“Paling cepat satu tahun baru bisa terbit SNI. Itupun kalau semuanya memenuhi standar,” jelasnya.

Alur pengajuan sertifikat SNI. (ist/bsn)

Ia mencontohkan pengajuan yang dilakukan industri garam belum lama ini. Parameter garam harus mengandung NaCL 94, tetapi ternyata uji lab menunjukkan kandungan NaCL hanya 84. Belum lagi ditemukannya timbal dalam garam tersebut. Kasus seperti ini tentumembutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan sertifikat SNI.

Kendala lain terkait pengujian SNI, ada beberapa produk yang parameter SNI-nya belum ada. Misalnya teknologi solarcell. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasinya karena teknologi solarcell ke depan pasti akan banyak digunakan masyarakat.

“Menjadi pekerjaan rumah bagi BSN ketika kesadaran masyarakat dan pelaku usaha akan pentingnya SNI terus meningkat, pemerintah dan pihak terkait lainnya harus terus didorong untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengaplikasikan SNI. Harus ada kerjasama lintas sektor, lintas kementerian, Pemda dan juga unsur swasta,” tutup Nur Hidayati. (m.kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!