Tapi buka dulu topengmu…
Buka dulu topengmu…
Biar kulihat warnamu…
Biar kulihat warnamu…
— Peterpan
Salah satu penyakit yang menghinggapi masyarakat modern adalah hilangnya jati diri. Banyak orang yang malu tampil di muka umum dengan identitas diri yang sesungguhnya. Mereka merasa lebih pede untuk tampil di muka umum dengan mengenakan ‘topeng’.
Ada orang yang ingin dilihat sebagai orang sukses, sehingga sebisa mungkin penampilan serta gaya hidup dipoles sedemikian rupa layaknya orang-orang sukses beneran. Dari mulai pakaian yang dikenakan, gadget yang dimiliki, hingga kendaraan yang dinaiki semuanya bermerek dan berkelas. Tidak peduli apakah untuk memoles penampilan tersebut dia harus megap-megap, ngos-ngosan, karena terpaksa harus gali lubang tutup lubang, atau malah gali lubang terus-menerus tanpa bisa menutupnya. Prinsip yang dia pegang adalah: “biar tekor asal nyohor”.
Di negeri ini, model orang–orang seperti ini tidak sedikit jumlahnya. Kelihatan ‘wah’ di luar, tetapi keropos di dalam. Penampilan perlente, tetapi aslinya kere.
Betapa memprihatinkannya orang-orang seperti ini. Demi menjaga imagenya, dia rela menderita. Dia sangat bangga apabila ada orang yang memujinya. Dia pun senang bukan kepalang ketika orang lain melihat dirinya sebagai orang sukses. Padahal, di balik semua itu, ada bom waktu yang siap meledak setiap saat. Ada bola salju yang terus menggelinding dan semakin membesar yang pada saatnya nanti akan menimpanya. Ketika bom waktu itu meledak. Ketika bola salju itu benar-benar menimpanya, maka di situlah masa kehancurannya.
Setinggi apa pun cita-cita kita, sebesar apa pun keinginan kita untuk sukses, sekagum apa pun kepada sang idola yang menjadi rujukan untuk sukses, tetaplah menjadi diri sendiri. Kita tidak perlu mengekor apa lagi menjiplak orang lain. Be Yourself! Jadilah diri sendiri.
Ketika sukses sudah kita raih, ketika cita-cita sudah berhasil kita capai, ketika popularitas sudah berada digenggaman, tetaplah menjadi diri sendiri. Tidak usah jumawa, tidak perlu tinggi hati. Meski prestasi mencapai langit, kaki harus tetap menginjak bumi. Meski bertabur sanjung puji, tetaplah rendah hati.
Menjadi diri sendiri itu mulia. Karena kita mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang Pencipta. Menjadi diri sendiri akan mengangkat derajat kita. Menjadi diri sendiri menunjukkan kedewasaan sikap dan kematangan jiwa.
Orang lain akan simpatik kepada mereka yang bersikap sewajarnya, bertindak apa adanya, berlaku seperlunya. Tidak tampak angkuh, meski kesuksesan berhasil direngkuh. Tidak tinggi hati, meski bertabur prestasi. Tidak jumawa meski rezekinya berlimpah.
Tetap menjadi diri sendiri setelah kesuksesan berhasil digapai tidak akan menjatuhkan harga diri seseorang, justru akan semakin menaikkannya. Tetap menjadi diri sendiri dan tidak mengekor atau menduplikasi orang lain, setelah pelbagai prestasi diraih akan semakin menguatkan image kita sebagai pribadi yang baik.
Tidak ada untungnya kita mengubah gaya hidup mengikuti orang lain, agar tampak ‘wah’. Tidak ada artinya kita berpura-pura hidup bahagia dengan segala gemerlap atribut duniawi, jika sesungguhnya kita menderita berkepanjangan. Hidup di balik topeng kemewahan, padahal hanya kebohongan semata, akan menyiksa diri tiada henti. Hidup dalam gelimang kekayaan semu, akan menghadirkan kegelisahan tak berujung.
Ironisnya, banyak di antara kita— atau mungkin diri kita sendiri?— yang lebih memilih jaga imej (jaim) dengan memoles penampilan kita semewah mungkin, daripada tampil apa adanya sesuai dengan kemampuan dan kenyataan hidup yang tengah kita jalani.
Tidak sedikit orang yang ingin tampil ‘wah’, meskipun kenyataan serta kemampuannya jauh panggang dari api. Dia selalu berusaha mengikuti tren dalam segala hal. Dari mulai rumah yang didiami, kendaraan yang dinaiki, pakaian yang dikenakan, hingga perangkat teknologi yang digunakan. Singkatnya, Dia selalu up to date dalam segala hal.
Konsekuensinya, dia harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang besar. Padahal kenyataannya, kemampuan finansialnya sangat terbatas. Walhasil, berbagai cara dia lakukan yang penting hasratnya untuk tampil wah di mata orang lain terpenuhi. Pinjam sana-sini, dari mulai bank hingga perorangan dia lakukan. Bertindak curang di kantor dengan me-mark up anggaran dia kerjakan. Tipu sana-sini, obral janji ke mana-mana bahwa dia punya proyek atau bisnis yang sangat menjanjikan, dengan harapan dapat kucuran dana segar dari para investor dia jalani. Dalam benaknya, apap pun akan dia kerjakan asal bisa mendatangkan uang untuk memenuhi hasratnya menjaga imej.
Orang-orang seperti ini hanya akan terus menerus diperbudak keinginannya. Dia tidak sadar, bahwa semakin dia berusaha menjaga imejnya, semakin jauh dia dari dirinya sendiri. Semakin dia berambisi untuk bisa tampil ‘wah’, padahal kemampuannya sangat terbatas, semakin dia menderita.
So, tetaplah menjadi diri sendiri. Bersikap sewajarnya, bertindak seadanya, berlaku seperlunya. Itulah kunci hidup bahagia.
Ruang Inspirasi, Kamis (1/10/2020)