YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Apa yang terlintas dalam benak kita jika terucap kata Hamka? Public mengenal Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) sebagai penulis dengan ratusan artikel dan puluhan buku yang telah ditulisnya.
Hamka dikenal sebagai jurnalis. Jejak kewartawanannya terekam dalam Khatibul Ummah (1925), Kemauan Zaman (1929), Pedoman Masjarakat(1936-1942), Pandji Masjarakat (1959-1960), Gema Islam (1962), dan Panji Masyarakat di masa Orde Baru.
Hamka juga dikenal sebagai penulis novel. Karya-karyanya antara lain Si Sabariyah (ditulis dalam bahasa Minangkabau), Menunggu Beduk Berbunyi, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
Lebih dari segalanya, Hamka adalah seorang ulama dengan kepiawaiannya yang sejajar antara berceramah dan menulis. Karya utama Hamka adalah Tafsir Al-Azhar yang ditulisnya saat dia dipenjara tanpa proses hukum oleh rezim diktator-otoriter Sukarno.
Atas produktifitasnya melahirkan karya-karya intelektual, pada 1958 Universitas Al-Azhar Mesir menganugerahi Hamka gelar Doctor Honoris Causa. Berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia memintanya menjadi Guru Besar Studi Islam.
Tidak syak lagi, mengkaji pemikiran dan peranan Buya Hamka di pentas politik nasional, sesuatu yang menarik, meskipun terlihat musykil.
Meskipun Hamka tercatat sebagai aktivis Partai Masyumi –di masa penjajahan, dia menjadi aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia— dan pada pemilu 1955 terpilih sebagai anggota Konstituante dari daerah pemilihan Jawa Tengah serta menjadi salah seorang juru bicara Fraksi Masyumi di majelis pembentuk konstitusi itu, Hamka tidak tercitrakan sebagai politisi. Gema suara politik Hamka tertelan oleh Mohammad Natsir, Mohammad Roem, atau Prawoto Mangkusasmito.
Sebagai aktivis partai yang pernah berguru kepada H.O.S. Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, mustahil Hamka tidak punya imajinasi tentang politik di tanah air.
Hal ini coba diangkat dalam kajian bersama dengan pembicara -Ustad Lukman Hakiem/ Pakar Sejarah Pergerakan Kebangsaan dan Dr. Ahmad Khoirul Fata Penulis Disertasi tentang Buya Hamka yang dihelat Laboratorium Dakwah Pesantren Mahasiswa Budi Mulia, Yayasan Shalahuddin, Yogyakarta pada Senin (31/5/2021).
Menurut Prof. Yunan Nasutioan Hamka adalah sosok yang bisa disebut sebagai Ibnu Taimiyahnya Indonesia, karena sebagaimana sejarah Ibnu Taimiyah melahirkan karya –karya besarnya dalam penjara. “Hal ini pulalah sebagaimana yang terjadi dengan Buya Hamka, justru dalam kondisi keterbatasannya di penjara di zaman Soekarno, lahir karya besarnya TAfsir Al Qur’an Al Azhar yang fenomenal,” kata Prof Yunan.
Satu kutipan dari Hamka yang mengandung filosofii sangat mendalam adalah “siang bertongkat tombak, malam berbantal kitab suci “. Kita tidak boleh lari dari harus kenyataan, menyerbu ke dalam takdir, berusaha keras dalam kehidupan untuk hasil yang terbaik namun jangan lengah selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Hamka adalah individu multi talenta meskipun pendidikan formalnya tidak lulus SD namun semangat belajarnya yang luar biasa menjadikannya seorang pujangga, penulis, wartawan dan ulama
Sementara dalam pandangan Prof. Habib Chirzin, sosok Hamka adalah pribadi yang ibarat lautan yang dalam dan luas dan tidak bisa menyempitkan pribadinya dalam satu dimensi, pujangga, sastrawan kosmopolitian dunia rantau Melayu.
Peran Hamka sangat besar dalam pembentukan MUI (Majelis Ulama Indonesia) meskipun banyak rintangan ibarat mengayuh di antara batu karang, salah-salah bisa terhantam ombak dan terhempas dalam pusaran berbagai kepentingan. Namum Hamka bisa melalui dengan indah dan gagah, tanpa harus kehilangan marwah, karena bisa bersikap tegas kepada sikap pemerintah yang merugikan umat. Hal ini karena prinsipnya bahwa “Ulama tidak bisa dibeli karena ulama sudah terjual kepada Allah”.
Itulah teladan yang bisa banyak dijadikan panduan perjuangan dalam mengayuh bahtera kehidupan bagi generasi milenial yang bisa kita ambil dari kehidupan Ulama besar seperti Hamka.