Pengalaman ini, mungkin juga dialami oleh banyak orang lain saat berinteraksi dengan Buya Syafi’i Ma’arif, allahu yarham.
Sembari bersepeda ringan, Jumat (10/6/2022) pagi, penulis dan istri silaturrahmi ke Prof Dr Abdul Karim, dosen Adab di UIN Sunan Kalijaga.
Ahli sejarah keturunan Banglades ini, punya banyak kenangan yang tidak terlupakan dengan Buya Syafii.
Dul Karim, demikian Buya biasa memanggilnya. Dul Karim ini mengenal Buya pertama kalinya pada tahun 1982. Buya yang datang ke Fakultas Adab IAIN mencari Dul Karim. Hal itu dilatarbelakangi setelah Buya membaca tulisan Dul Karim di Suara Muhammadiyah tentang tokoh almarhum Abdul Latif, asal Bangladesh, yang juga pejuang kemerdekaan RI.
Dalam perjalanan kehidupan Dul Karim, Buya Syafii merupakan dosen S2-S3, juga pembimbing tesis S2 sekaligus Promotor utama di S3 Dul Karim di IAIN Sunan Kalijaga.
Tidak sedikita momentum yang diingat oleh Dul Karim, ketika dirinya menjadi asisten Buya cukup lama, kemudian jadi dosen mutlak di UII.
Pernah beberapa kali Dul Karim datag ke UNY untuk mengantarkan uang mengajar atas nama Buya. Uang honor itu, malah diserahkan kembali ke Dul Karim.
Dul Karim protes, krn honor itu hak dosen payung (Buya). Buya menjawabnya dengan bahasa sederhana, “Mas Karim yang ngajar, buat soal, nguji dan koreksi, itu layaknya bagi yang mengampu, apalagi anda sebagI mahasiswa luar negeri ibnussabil… Udalah terima saja,” ujarnya.
Saat uang koreksi dan honor yang lain, jatah Buya sebagai dosen tamu di Kualalumpur, Dul Karim datang ke rumah menemui Umi Buya Syafii Maarif, untuk menyerahkan honor ngajar Buya. Umi Syafii Maarif malah menambah uangnya, digabung dengan honor Buya dan menyerahkannya pada Dul Karim, sembari berkata: “Ini untuk beli susu buat ananda mas Karim.”
Dalam hal lain Buya itu, kata Dul Karim, tidak padang bulu dan pemurah.
Setiap kali Dul Karim – meski sudah jadi Profesor – datang silaturrahmi bersama keluarganya ke rumah Buya, Buya atau Istri Buya selalu memberi uang kepada anak anak Prof Karim. Padahal dua anak prof Karim sudah menikah.
“Buya tidak perlu memberi uang mereka, gaji saya sudah lebih dari cukup,” protes Dul Karim.
Kata Buya: “Gaji itu hak kamu, pemberian ini hak mereka,” ujarnya.
Satu hal lagi, kata Dul Karim: “Buya dan Umi, itu seiya sekata dalam hal ketidakpandangbuluan dan pemurah. Dan itu sulit ditemukan di dunia ini.”
Penulis: Aris Fauzan, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.