Buya Prof Dr KH Yunahar Ilyas MAg (Ketua PP Muhammadiyah/Waketum MUI Pusat) sudah meninggalkan kita semua. Namun, pesan dan ilmu yang disampaikan serta diwariskan, akan selalu hidup. Salah satunya, dalam berdakwah untuk selalu mengenalkan diri sebagai Muhammadiyah.
“Jangan malu, apalagi takut memperkenalkan diri sebagai Muhammadiyah,” ujar Buya Yun, panggilan Yunahar Ilyas, seusai makan sop kepala ikan di sebuah restoran di Makassar, saat Muktamar ke-47 hampir lima tahun lalu.
Buya Yun berpesan, kemanapun dan dimanapun, harus bangga bermuhammadiyah dan berdakwah.
“Kalau saya ceramah di orang yang tidak suka Muhammadiyah, maka ya bikin mereka suka, jangan sembunyikan identitas kita. Di mana pun berdakwah perkenalkan diri sebagai warga Muhammadiyah”.
Dalam obrolan lain, Buya Yun sering merasa heran dengan orang-orang Muhammadiyah yang gampang terbawa isu tidak betul. “Saya heran, kok bisa muncul isu seperti itu. Seperti ada yang menyangka saya garis keras. Saya ini Muhammadiyah, dan Muhammadiyah itu bukan garis keras Islam,” ujar Buya Yun sambil tersenyum.
Saat itu, di meja yang sama antara lain, ada Nasrullah, bendahara Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, dan sejumlah PDM dari berbagai daerah.
Dalam suasana santaipun, Buya Yun, sempat menyelipkan pesan-pesan kecil. Meski singkap, namun langsung diingat. Ini cara dan kelebihan Buya Yun, dalam berdakwah.
Sederhana
Suatu ketika, saya mendapat tugas menemani Buya Yun, untuk mengisi acara Infokom MUI di sebuah hotel di Solo. Sejak sehari sebelumnya, Buya Yun sudah memberi kabar.
“Saya tidak usah dibelikan tiket, tidak perlu dijemput karena ada kendaraan sendiri. Dan tidak usah dipesankan kamar hotelnya. Pagi-pagi sekali, saya akan berangkat dari rumah di Jogja. Dan tidak perlu diantar pulang,” pesan WA Buya Yun.
Sementara, pihak Kominfo yang menjadi partner MUI dalam acara tersebut, sudah menyiapkan segala sesuatunya. Apalagi, Buya Yun merupakan narasumber penting dalam acara tersebut.
“Biar dipakai buat mereka yang nggak kebagian kamar,” ujar Buya Yun, ketika diberitahu soal itu.
Sepuluh karakter
Dalam perjumpaan yang kesekian, Buya Yun menyampaikan soal sepuluh karakter yang harus dimiliki kader Muhammadiyah. Saya tidak bisa mengingat dengan parti soal urutannya, dan tidak tahu apakah urutan itu dipentingkan atau tidak. Namun karakter yang disebutkan adalah (1) al-Fahmu, (2) al-Ikhlas (3) al-Amal, (4) al-Jihad, (5) at-Tadhiah, (6) al-Jama’ah, (7) ath-Tho’ah, (8) al-Ukhuwwah, (9) ats-Tsabat, dan (10) at-Tajarrud.
Pertama, yaitu Al-Fahmu yang bermakna paham atau memahami. Yakni paham tentang Islam secara kaffah. Kader Muhammadiyah tidak boleh mempunyai paham Islam yang setengah-setengah.
“Yang harus Kita pahami pertama kali yaitu Islam, karena Muhammadiyah adalah gerakan Islam, jangan salah paham apalagi gagal paham,” ujar Yunahar diiringi gelak tawa para hadirin.
Menurutnya, paham Islam yang dianut oleh Muhammadiyah ialah paham Manhaji bukan paham Mazhabi, karena Muhammadiyah tidaklah bermazhab. Pemahaman tentang Islam adalah pondasi dasar kader Muhammadiyah untuk memahami lebih jauh Muhammadiyah.
“Paham tentang agama Islam itu sangat penting, di setiap materi Baitul Arqom itu pasti ada materi tentang Al-Islam. Kalau sudah paham Islam dengan baik, maka otomatis paham Muhammadiyah. Jadi sudah memiliki paham Muhammadiyah, tidak perlu mendaftarkan diri jadi anggota Muhammadiyah pun dengan sendirinya sudah menjadi Muhammadiyah,” ujarnya.
Poin kedua yaitu al-Ikhlash (keikhlasan). Yunahar bersyukur karena keikhlasan sudah menjadi sifat mainstream yang dimiliki oleh mayoritas warga Muhammadiyah. Lantas, Yunahar memaparkan tiga indikator suksesnya seorang kader dalam kehidupan.
Pertama yaitu Ikhlasunniyyah (niat yang ikhlas). Kader harus memiliki rasa ikhlas berkorban membantu menghidupi persyarikatan, tidak pamrih dan tidak pelit. Kedua yaitu itqonul ‘amal (profesional dalam bekerja) kader Muhammadiyah harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Jika kader Muhammadiyah bekerja maka dia harus bekerja dengan ikhlas, cerdas, dan tuntas. Sering datang rapat, kata Yunahar, juga termasuk perwujudan dari itqonul amal.
Yang ketiga itu jaudatul ada’ atau memberikan hasil yang terbaik/maksimal. Setiap periode kepemimpinan haruslah lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Jika diberi amanah, harus berusaha memberikan hasil yang memuaskan.
Karakteristik kader yang ketiga yaitu al-Amal. Yakni ulet dan rajin bekerja. Senantiasa mengamalkan Islam untuk pribadi, agama, dan Negara supaya terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (MIYS).
“Alhamdulillah, Muhammadiyah dalam gerakan amalnya sudah cukup menonjol” kata Yunahar diiringi tepuk tangan para hadirin.
Amal Usaha Muhammadiyah itu dimiliki secara resmi oleh organisasi bukan perorangan, oleh karena itu sistem pengelolaannya bisa tertata rapi. Yunahar memisalkan amal usaha Muhammadiyah itu layaknya korporasi, sementara amal usaha yang dimiliki oleh NU layaknya koperasi, karena dimiliki oleh perorangan.
Keempat, yaitu Al-Jihad. Kader Muhammadiyah harus mengerahkan segenap kompetensi yang dimiliki untuk melakukan kebaikan. Dalam masalah infaq, misalnya. Kader Muhammadiyah harus mengeluarkan infaq sebaik-baiknya, meniru apa yang sudah dilakukan oleh Khalifah kedua, Abu Bakar Ash-Shiddieq.
Kelima, yaitu at-Tadhiah, yang bermakna rela berkorban. Korban waktu, korban harta, serta korban perasaanpun harus dicurahkan oleh kader Muhammadiyah.
“Tidak ada ceritanya Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberi uang, yang ada malah PP yang menggalang bantuan dari tingkat bawahnya. Seluruh PTM itu wajib menyumbang 1% untuk Muhammadiyah, tidak ada PP itu bagi-bagi,” kata Yunahar.
Keenam, yaitu al-Jama’ah (semangat berjama’ah). Merupakan suatu kenisicayaan bahwa Muhammadiyah sebagai jam’iyyah (persyarikatan) harus memiliki sinergitas dan kekompakan dalam berorganisasi. Mulai dari tingkat ranting hingga pusat.
Karakteristik yang ketujuh itu at-Tho’ah (loyalitas/kepatuhan). Warga Muhammadiyah harus patuh dan loyakl kepada pimpinan di tingkatnya masing-masing, dari ranting hingga pusat. Namun, pesan Yunahar, Kader Muhammadiyah janganlah terlampau patuh.
“Warga Muhammadiyah harus patuh tapi jangan terlalu patuh”.
“Kalau terlalu patuh biasanya apa-apa ditanyakan, permasalahan kecil-kecil pun akan ditanyakan ke majelis tarjih bagaimana fatwanya, kalau sekiranya sudah jelas atau bisa diputuskan sendiri, ya gak perlu minta fatwa tarjih lah,” ujanya.
Tapi, ada juga warga Muhammadiyah yang tidak patuh dan pura-pura bertanya.
Yunahar kemudian menceritakan pengalamannya. “Dulu ada yang tanya kepada saya, pak, apa warga Muhammadiyah harus patuh putusan tarjih?” lalu saya jawab, “pak, pertanyaan Anda salah, harusnya kenapa Anda tidak ikut putusan tarjih dan alasan apa yang Anda gunakan untuk tidak patuh putusan tarjih?, tarjih memang tidak memaksa untuk dipatuhi tapi jangan sampai tidak mengikuti putusan tarjih tanpa alasan”.
Meskipun patuh terhadap pemimpin, tapi semangatnya masih sahabat (egaliter)
Poin kedelapan yaitu al-Ukhuwwah (persaudaraan). Menurut Yunahar, iklim persaudaraan di Muhammadiyah sudah cukup bagus. Meskipun Muhammadiyah itu struktural, namun hubungan sehari-hari antar warganya masih bersifat kultural dan egaliter.
Dulu, ketika pak AR Fachruddin antri mau makan, warga NU yang melihatnya menganggap hal itu kurang ajar, padahal hal tersebut sudah sangat biasa di Muhammadiyah. Muhammadiyah sangat egaliter tapi semangatnya itu semangat ukhuwwah, ta’awun dan takaful (saling memberi jaminan).
Kesembilan, yaitu ats-Tsabat (konsisten/istiqomah). Istiqomah mencerminkan suatu sikap teguh pendirian, tidak gampang terbujuk dan tidak takut dari ancaman. Diancam tidak takut, dirayu tidak terbujuk.
“Watak Muhammadiyah sejak zaman penjajahan itu teguh dan fleksibel, tidak berpolitik dan mengambil jalur kultural. Agus salim pernah mengajak Muhammadiyah jadi parpol, tapi ditolak Ahmad Dahlan,” kata Yunahar.
Jika sudah menjadi gerakan Islam (seperti Muhammadiyah yang fokus pada ranah kultural) berarti mencakup seluruh aspek, tinggal strategi kita saja bagaimana mengaturnya tidak harus menempuh jalur politik.
Poin terakhir yaitu at-Tajarrud. Kemurnian dalam gerakan, dan kembali pada pesan Buya Yun diawal tulisan ini. Jangan ragu mengaku sebagai Muhammadiyah.