30.8 C
Jakarta

C20 Serukan kepada Pemimpin Dunia tentang Masa Depan Anak-anak yang Terancam

Baca Juga:

BALI, MENARA62.COM — Civil 20 (C20) yang merupakah salah satu engagement groups dalam G20 melaksanakan kick off meeting pada 7/3 di Bali.

Sebagai salah satu anggota dalam C20, Save the Children menginisiasi side event / pertemuan tambahan untuk menyerukan urgensi permasalahan dan risiko yang dihadapi anak di seluruh dunia. C20 adalah salah satu ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi menyuarakan prioritas isu yang perlu ditangani serius.

“Saat ini anak-anak dan orang muda di seluruh dunia dihadapkan pada ancaman global termasuk COVID-19, krisis iklim, perang dan konflik, serta krisis penghidupan. Ancaman ini menghadirkan risiko besar bagi masa depan dan Bumi yang berkelanjutan agar anak-anak dapat hidup aman, nyaman dan terpenuhi hak-haknya. Untuk itu, penting untuk menyerukan hal ini agar menjadi prioritas dalam pembahasan G20,” jelas Selina Patta Sumbung – CEO Save the Children Indonesia dalam keterangannya (8/3/2022).

Tahun 2022, sebagai penerima Presidensi Group 20 (G20), Pemerintah Indonesia berupaya membangun kesepahaman di antara pemimpin G20 terkait berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat global agar pulih bersama dan pulih lebih kuat yang menjadi tema utama G20 “Recover Together, Recover Stronger”.

C20 merupakan wadah organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia untuk menjembatani gerakan komunitas sipil global ke pengambil kebijakan dan keputusan G20. C20 berupaya menyuarakan isu-isu masyarakat sipil, salah satunya mengenai Pendidikan, Digitalisasi, dan Ruang Publik (Education, Digitalization, and Civic Space).

Side Event C20 yang diselenggarakan oleh Save the Children mengusung permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian oleh seluruh pihak dan para pemimpin G20, di antaranya 1) masalah kekerasan berbasis gender salah satunya ditandai dengan pernikahan anak; 2) masalah perlindungan anak di ranah daring di mana karena pandemi anak menjadi terekspos dengan dunia digital dan online; 3) masalah akses ke vaksin, tidak hanya vaksin COVID-19 tetapi juga terganggunya pelaksanaan vaksinasi reguler; 4) krisis iklim dan ketahanan anak; serta 5) masalah kesetaraan gender pada anak dan perlunya perlindungan sosial yang adaptif.

Data dan fakta yang memperkuat permasalahan tersebut telah diutarakan oleh berbagai pihak seperti: Unicef (2020) menyatakan bahwa setiap tahun, 12 juta anak perempuan menikah ketika berusia belum 18 tahun. Lebih lanjut disampaikan bahwa 21% dari perempuan muda menikah sebelum mereka berulang tahun ke-18. DQ (Digital Quotient) Institute (2020) menemukan bahwa secara global anak-anak berusia 8–12 tahun mengalami masalah yang dinamakan cyber pandemic. Terdapat 60% anak-anak 8–12 tahun terpapar dengan risiko dunia digital di antaranya bertemu dengan orang-orang asing atau mengalami pelecehan seksual, kekerasan atau muatan pornografi, ancaman, gangguan media sosial, cyber-bullying, dan risiko nama baik.

Pada sektor kesehatan, data juga menunjukkan gambaran buram. Menurut WHO dan UNICEF, cakupan vaksinasi reguler anak mengalami penurunan dari 86% di 2019, menjadi 83% di 2020. Diperkirakan 23 juta anak umur di bawah 1 (satu) tahun tidak mendapatkan vaksin standar. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2009. Pada tahun 2020, jumlah anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan vaksinasi meningkat menjadi 3,4 juta.

Pada konteks krisis iklim, laporan terbaru Save the Children tahun 2021 secara global “Born Into the climate Crisis / Lahir di masa krisis iklim”, menggambarkan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 merupakan pihak yang paling terdampak parah akibat krisis iklim ini. Secara global, anak-anak yang lahir pada tahun 2020 akan menghadapi 7% lebih banyak kebakaran hutan, 26% lebih banyak gagal panen, 31% lebih banyak kekeringan, 30% lebih banyak banjir sungai, dan 65% lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.

Sementara itu, dalam permasalahan diskriminasi gender, Save the Children juga menyoroti bahwa diskriminasi gender seringnya dimulai dari masa kanak-kanak. Anak perempuan cenderung hak-haknya ditolak, tidak bersekolah, dipaksa menikah dan menjadi objek kekerasan. Lebih lanjut, suara mereka tidak dihargai bahkan tidak didengar sama sekali.

“Sebagian besar kebijakan pemerintah berdampak langsung atau tidak langsung pada kehidupan anak dan orang muda, namun kebijakan itu seringkali diambil dan dijalankan tanpa memperhatikan apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh anak dan orang muda,” jelas Putri Gayatri / 22 tahun / Ketua Dewan Penasihat Anak dan Orang Muda – Children & Youth Advisory Network – Save the Children Indonesia.

Selain itu Putri menegaskan, “Kegagalan dalam mendengar dapat membuat pengambilan keputusan yang salah, oleh sebab itu, libatkan dan dengarkan kami. kami siap bekerja sama untuk mencapai pemulihan yang inklusif dan lebih kuat.”

Melalui Side Event ini, Save the Children dan organisasi sipil global mengharapkan agar para pemimpin dunia khususnya pemimpin G20 dapat segera mengambil langkah nyata untuk mengatasi dampak berbagai persoalan yang menempatkan anak-anak dan orang muda pada risiko yang sangat tinggi.

“Kami sebagai perwakilan dari organisasi sipil global khususnya yang berfokus pada upaya pemenuhan hak-hak anak berharap agar para pemimpin dunia dapat mendengarkan dan melibatkan anak-anak dalam dialog pengambilan keputusan serta memprioritaskan kepentingan anak pada agenda G20,” tegas Selina Patta Sumbung – CEO Save the Children Indonesia. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!