Sesungguhnya semua manusia sebagai mahkluk yang bernyawa, tidak kenal latar belakang suku, budaya, tingkat pendidikan, pekerjaan maupun jabatan, ghirah keagamaan maupun organisasi keagamaannya, dan seterusnya, mau tidak mau, pasti akan melewati satu pintu. Ini adalah satu kepastian yang paling nyata. Pintu yang paling dekat dengan kehidupan setiap ciptaan-Nya. Sebagaimana pun upaya menghindari pintu itu, tidak akan mungkin dapat dilakukan. Nama pintu itu adalah kematian.
Kematian merupakan rahasia yang menjadi hak prerogatif Allah SWT. Sebagai seorang muslim, saya meyakini hal ini. Yakin seyakinnya. Keyakinan ini menjadi salah satu bagian dari keimanan kita kepada Sang Pencipta. Hanya Dia yang Maha Mengetahui, kapan dan dimana kita akan meninggalkan dunia. Hanya Dia pula yang Maha Mengetahui akan dimana seseorang akan dikebumikan. Kita bisa saja lahir di satu kampung, tak ada jaminan bahwa kita akan dikebumikan di kampung itu pula. Sebab, itu tadi, adalah bagian dari hak prerogatif Allah SWT, yang tidak ada tawar menawar atasnya.
Usianya terpaut sekitar lima tahun di atas saya. Rumah kami di Kelurahan Hutasuhut Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara, tidaklah begitu berjauhan. Sekitar seratus meter saja jaraknya. Rumahnya menuju Pasar Sipirok, persis di sudut tikungan menurun. Setiap kami mau pergi ke Masjid Taqwa Muhammadiyah juga ke SMP Negeri 1 Sipirok, selalu melewati rumahnya. Jalan di depan rumahnya waktu itu, sudah diaspal. Sedang jalan di depan rumah kami belum diaspal, biasanya dijadikan jalan pintas menuju kawasan persawahan atau kebun-kebun di belakang kampung sana.
Tahun 1980-an, saya masih kelas tiga sekolah dasar. Saya hanya tahu namanya Dera. Orang lain biasanya panggil dia dengan sebutan si Dera. Karena saya lebih muda usianya, saya panggil Bang Dera. Begitulah orang Sipirok. Tak boleh memanggil nama orang yang lebih tua dari kita, kecuali atas penjelasan tertentu. Kita harus menyematkan gelaran panggilan kehormatan kepadanya. Istilahnya adalah “partuturon“. Jika ada seseorang yang menyebut nama langsung dari orang yang lebih tua darinya, itu satu pelanggaran adat. Tak tahu beradat atau “naso malo maradat“.
Karena rumah kami dengan rumah mereka sangat dekat, menjadi salah satu alasan ibuku dan ibunya sangat akrab. Tentu ada alasan lain. Ibuku lebih tua dari ibunya. Ibuku bermarga Pakpahan berasal dari Desa Panggulangan, sedangkan ibunya berasal dari Keluharan Bagas Nagodang bermarga Siregar. Ibuku dan ibunya sama-sama pernah berjualan pakaian dari pasar ke pasar di Sipirok. Bahkan sampai ke Simangambat dan Sipagimbar.
Kearaban ibuku dan ibunya bagaikan amplop dan prangko zaman dulu. Satu sama lain saling mengisi dan saling berbagi. Menurut ibuku, yang baru saja saya telepon langsung ke Makassar mengatakan, satu-satunya teman akrabnya, seia-sekata, dan saling membantu, adalah ibunya.
Ketika ibuku suatu ketika kena fitnah, melakukan sesuatu tindakan yang tidak terpuji, ibunya berada di garda terdepan membela ibuku. Orangtua yang sebaya dengan ibuku, tahu akan kasus ini. Saya sendiri tak tahu persis jalan ceritanya, waktu itu saya masih kecil. Inilah pengakuan ibuku baru saja. Ibunya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Suatu ketika kami sekeluarga diajak ke kebun mereka di Kobun Lobu namanya. Sekitar dua kilo meter dari rumah kami, yang ditempuh dengan jalan kaki ke arah Desa Sampeyan dan Poldung. Kerja bakti membersihkan kebun dan masak-masak. Ini sudah menjadi budaya orang Sipirok. Istilahnya “marsiurup“. Karena membersihkan kebun, tentu membawa benda-benda tajam. Parang panjang nan tajam, sabit, cangkul, rambas dan seterusnya terbuat dari besi.
Tiba-tiba bang Dera berteriak, menjerit-jerit. Ibu dan bapaknya, atau Nantulang dan Tulang, juga ikut berteriak menangis. Abangku dan abangnya hanya melongo. Ayahku berada agak jauh dari lokasi. Ibuku langsung memeluk bang Dera. Dipegangnya kepala bang Dera. Suasana sangat mencekam pada siang jelang duhur itu.
Rupanya abangku, Rifai, yang ikut membersihkan kebun dengan cangkul besi, mengenai kepala bang Dera. Apakah kepalanya sudah terbelah atau gimana. Itu dibenak kami. Ibuku langsung bergerak. Mendekap kepalanya dengan tangan. Bang Dera tetap menangis sejadi-jadinya. Secara perlahan ibuku melepaskan tangan dari kepalanya. Merasa tak ada darah, tak ada luka. Alhamdulillah, ternyata tidak apa-apa. Itulah kekuasaan Allah SWT. Walaupun kepalanya sudah kena cangkul besi, ternyata hanya luka ringan dan tak parah. Urusan kebersihan kebun dan acara makan-makam di atas daun pisang, tetap dilanjutkan hingga sore.
Lain waktu masih di sawah mereka. Tepatnya di saba Sagala, lewat Desa Sigiring-giring arah ke Ramba Sihasur. Ini kerja bakti atau marsiurup lagi. Mamakkur atau mencangkul sawah yang akan ditanami padi. Satu petak sawah yang sudah diairi beberapa bulan, ditanam berbagai jenis ikan, termasuk ikan mas dan lele. Pada bagian sawah paling bawah, dikeluarkan air. Pada bagian itu pula ikan-ikan akan berkumpul. Semakin lama semakin habis airnya. Ribuan ikan akan kelihatan. Kami yang terdiri dari dua keluarga masing-masing : saya, bang Syamsul, bang Pai, bang Jufri. Sedang dari pihak mereka adalah bang Dera, bang Adil, bang Pian, serta Tulang (ayahnya), masih mencangkul di bagian sawah lain.
Ayahku baru saja tiba. Biasanya memang ayah datang terlambat. Karena dia akan datang membawa dua lusin limon (nama minuman botol warna merah) dan berbungkus-bungkus kacang Arab. Juga rokok merk Union warna hijau dan merk Konfil warna kuning pembungkusnya. Sementara ibuku dan Nantulang berada di dangau atau rumah kecil dalam kebun, masak nasi dan sayur, mempersiapkan makan siang.
Tiba-tiba saja ada semacam suara berdecak dari atas langit. Seekor ikan mas warna kuning meronta-ronta di langit. Kami kaget bukan main. Tanpa komando, berlarian ke bagian sawah paling bawah. Tangkapi semua ikan mas yang sudah besar, pindahkan ke tempat yang aman. Lalu tutup kembali lobang keluar air. Setelah ditutup, aliri kembali air ke dalam sawah, supaya ikan-ikan kecil dapat kembali berenang dan bersembunyi di bawah air.
Rupanya tadi beberapa ekor burung “halihi” atau burung elang hitam datang menerkam ikan mas. Burung elang ini bagaikan panen raya terkam ikan dengan mudahnya karena air sudah menyusut. Bang Dera menemukan beberapa ekor ikan mas yang sudah luka di semak-semak. Mungkin ikan yang sudah ditangkap elang lalu lepas dari pegangannya.
Kuliah Di ISIIP
Pada akhir tahun 1980an, setamat SMA, anak-anak muda Sipirok harus pergi merantau. Pantang tinggal di kampung, kecuali yang tidak mau dengan alasan tertentu, seperti jaga orang tua, mengurus usaha dan lain-lain. Paling banyak merantau ke Kota Medan dan Jakarta. Ada juga yang merantau ke Riau dan Padang.
Mereka yang tidak merantau, biasanya tinggal di desa menjaga kampung sambil domino, catur dan menggoda perempuan yang lewat. Ada juga yang mencari peruntungan sebagai kondektur bis antar kampung, sopir becak, dan jadi calo bis di Pasar Sipirok. Sebagian lagi tentu pergi ke sawah atau kebun membantu orang tuanya. Tak lama mereka akan segera menikah, punya anak dan tetap tinggal di desa.
Beda dengan Bang Dera ini. Bersama beberapa temannya dari Kelurahan Hutasuhut, mereka merantau ke Jakarta. Biasanya naik bus ALS atau Antar Lintas Sumatera dari Sipirok ke Jakarta selama tiga hari dua malam. Itupun kalau busnya tidak rusak di hutan. Jika ada kerusakan, maka akan lebih lama lagi perjalanannya.
Untung baik mereka berangkat dengan perencanaan yang cukup matang. Artinya dari kampung mereka sudah ada tujuan ke Jakarta. Saat berangkat, mereka biasanya “dipabuat“. Diberi makan, dibekali, dan diberi ceramah singkat dari para famili dalam acara resmi setelah makan pagi dengan rendang ayam istimewa. Begitulah cara orang Sipirok mengantar anaknya yang akan merantau.
Namun demikian, ada juga beberapa kasus, anak-anak yang melarikan diri ke Jakarta. Belum tamat SMA, mencuri uang orang tuanya, lalu lari ke Jakarta atau tempat lainnya. Dengan berbagai pekerjaan, ada sopir mikrolet, kondektur, pedagang asongan, dan sebagainya. Ada yang berhasil ada juga yang meninggal dunia di perantauan.
Bang Dera teman-temannya, bernasib baik. Ketika tiba di Jakarta akhir tahun 1980an, sudah ada keluarga dari Hutasuhut yang siap menampung. Namanya H AM Hoetasohoet atau biasanya dipanggil “Rektor”. Saat itu beliau adalah Rektor IISIP Jakarta.
Dia adalah orang Hutasuhut Sipirok yang cukup sukses di Jakarta. Almarhum ayahku Muhammad Dollar Siagian masih memiliki hubungan keluarga yang cukup dekat beliau. Saya dengar dulu, beliau sering datang ke Hutasuhut bikin acara dan bagi-bagi sarung shalat, walaupun saya tak pernah ketemu dan tak pernah dapat sarung. Juga secara rutin mengirimkan jurnal Jumat terbitan Jakarta untuk dibagikan ke berbagai masjid di Sipirok.
Bang Dera dan teman-temannya kuliah di sini. Ada yang ambil jurusan Administrasi Negara ada juga ambil jurusan Jurnalistik, dan jurusan lainnya. Bang Dera sendiri ambil jurusan Jurnalistik. Sambil kuliah di Kampus Tercinta, para orang Sipirok tersebut bekerja di berbagai tempat. Ada yang kerja dalam kampus dan sekitarnya. Sebagian biaya pendidikan mereka ditanggung oleh kampus.
Setelah menyelesaikan studinya, sekitar pertengahan tahun 1990an, Bang Dera mengadu nasib ke Lampung. Sesuai dengan ilmunya, dia menjadi wartawan di salah satu media di provinsi paling bawah Pulau Sumatera ini, Lampung Post. Tak lama kemudian, Bang Dera menikah dengan perempuan kelahiran Lampung berdarah Batak Sipirok bermarga Siregar asal Bagas Nagodang.
Sejak dia merantau ke Jakarta dan saya merantau ke Ujung Pandang tahun 1990, saya tak pernah lagi berjumpa dengannya. Sekitar tiga tahun, saya pernah berkomunikasi dengannya melalui media sosial. Setelah itu tidak lagi. Pada bulan April 2019 lalu, saya sempat ke Lampung untuk tugas negara. Saya lupa bahwa Bang Dera tinggal di Lampung. Jika ingat, seharusnya saat itu saya berusaha mencarinya.
Kemarin pagi, di berbagai media sosial, saya membaca status saudara Budi Hutasuhut, mengabarkan bahwa Indra Mustapa Hutasuhut telah meninggal dunia. Saya sempat tersentak. Siapa orang yang dimaksud. Ternyata yang dimaksud adalah Bang Dera. Anak muda yang dulu pernah disangka terbelah kepalanya di kebun Lobu Sipirok.
Ia lahir di Sipirok sekitar lima puluh tahun lalu. Meninggalkan dunia di Lampung, kemarin, pada 2 Juli 2019. Menurut ibuku, almarhum seorang pendiam dan sekaligus pemalu. Tak pernah bikin susah orang lain. Baik hati dan rajin kalau disuruh. Terakhir kali ibuku bertemu dengan almarhum di Lampung saat adikku menikah sekitar 10 tahun lalu. Jika almarhum pulang kampung ke Sipirok, pun tak pernah ketemu.
Semoga Allah SWT menyempurnakan amal ibadahnya dan mengampuni dosanya, memberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan keikhlasan hati, hormat saya kepada Bang Mara Adil Hutasuhut Adil dan iboto Emly Yusriani Hutasuhut.
Penulis: Haidir Fitra Siagian, Keiraville, Kamis (4/7/2019) jelang Ashar