26.2 C
Jakarta

CAPD Terapi Ginjal Kronik Masa Kini

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Cuci darah atau hemodialisa (HD) masih menjadi pilihan utama bagi pasien ginjal kronik untuk terapi.  Meski terapi model seperti ini cukup merepotkan, memiliki efek samping dan rasa sakit.

Padahal selain HD, pasien ginjal kronik bisa menjalani terapi CAPD (cuci darah melalui perut). Terapi jenis ini belum populer dilakukan oleh penderita ginjal kronik dengan berbagai alasan dan sebab.

Data menunjukkan dari total penderita ginjal kronik di Indonesia,  94% pasien gagal ginjal menjalani hemodialisa dan kurang dari 5% yang memilih cuci darah via perut. Hemodialisa ini menyedot anggaran BPJS Kesehatan rata-rata Rp 2,6 triliun per tahun.

Dr Atma Gunawan Konsultan Ginjal Hipertensi dari Malang CAPD Center mengakui hampir semua pasien penyakit ginjal kronis yang datang, 95% harus langsung jatuh ke mesin hemodialisa, sebagian besar harus melakukannya 2 kali seminggu bahkan 3 kali seminggu. Karena memulainya terlambat, maka angka harapan hidup selama 1 tahun rendah, hanya 50%.

“Kondisi ini menjadi pertimbangan bahwa sudah saatnya pasien beralih ke cuci darah via perut,” jelasnya di sela diskusi CHEPS UI tentang efektivitas biaya antara hemodialisa dengan CAPD, pekan lalu.

Data Pernefri menujukkan pasien ginjal tahap akhir yang menjalani terapi CAPD tidak banyak hanya ada kenaikan  400 dari tahun 2012, dari 1200 menjadi 1600. Di Malang CAPD Center, termasuk terbanyak menangani  pasien  CAPD yaitu 290 pasien atau 34% dari seluruh pasien pasien yang menjalani dialisis.

Namun kata dr Atma, pelaksanaan CAPD bukan tanpa kendala. Misalnya, sebagian besar peserta CAPD adalah memiliki kriteria yang memerlukan cairan dialisis khusus yang lebih mahal sehingga akhirnya banyak yang drop out. Infeksi rongga perut juga masih menjadi momok bagi pasien karena kurang menjaga kebersihan.

“Berdasarkan analisis kematian, angka kesintasan pasien yang menjalani CAPD sebenarnya lebih baik dibandingkan hemodialisa, yaitu hampir dua kali lipat. Hal ini akibat kualitas hidup hidup pasien yang menjalani CAPD jauh lebih baik,” jelas Atma.

Menurutnya terapi CAPD akan lebih efektif jika dimulai sejak awal. Artinya pasien tidak perlu menjalani hemodialia terlebih dahulu selama bertahun-tahun, baru beralih ke CAPD.

Ketua Pernefri, Dr Darmeizer, konsultan ginjal hipertensi menjelaskan, di Indonesia saat ini diduga ada 2,9 juta penderita Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA). Faktor risiko utama PGTA adalah hipertensi dan diabetes melitus.

Meningkatnya jumlah penderita hipertensi dan diabetes sejak tahun 2000-2015 menyebabkan juga peningkatan pasien gagal ginjal. Sekitar 36% penderita hipertensi dan 25% penderita diabetes akan menderita gagal ginjal. Ketika sudah terjadi kerusakan ginjal, maka tidak akan dapat dikembalikan atau disembuhkan karena sifatnya yang progresif.

“Jika dilakukan pemeriksaan ditemukan kebocoran albumin dan protein, serta fungsi ginjal kurang dari 60% selama 3 bulan berturut-turut, maka sudah masuk kriteria penyakit ginjal kronik. Ada lima stadium PGK dan jika fungsi ginjal kurang dari 15% maka sudah masuk stadium akhir atau gagal ginjal,” jelas Darmeizar.

Hemodialisa dianjurkan dilakukan ketika penyakit ginjal kronis sudah memasuki stadium 4. Sayangnya pasien di Indonesia kebanyakan datang sudah stadium 5 dan baru memulai terapi.

Masalah juga muncul dari terbatasnya jumlah rental unit mesin, baik untuk hemodialisa maupun cuci darah via perut. Di Indonesia saat ini baru ada 352 unit, atau sangat tidak cukup untuk semua pasien PGTA di Indonesia. Apalagi berdasarkan Data Indonesia Renal Registry menunjukkan ada peningkatan pasien hemodialisa baru yaitu 21.000 (2015). Kesenjangan antara pasien yang menjalani terapi dengan jumlah pasien masih sangat lebar, sehingga banyak pasien yang belum terlayani.

Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, melakukan studi perbandingan efektivitas harga antara metode cuci darah (HD) dan cuci darah lewat perut (CAPD). Ketua studi, Prof. Hasbullah Thabrany, menjelaskan, studi dilakukan pada 3 rumah sakit di Jakarta dan Bandung melibatkan 120 pasien gagal ginjal stadium akhir.

Hasil penelitian menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk cuci darah per tahun mencapai hampir 115,5 juta  per orang. Sedangkan jika menjalani cuci darah lewat perut, menghabiskan sedikit lebih banyak yaitu 130,7 juta. Namun kualitas hidup pasien yang menjalani cuci darah melakui perut jauh lebih baik. Karena tidak perlu datang ke rumah sakit dan bolos kerja, pasien yang menjalani cuci darah lewat perut dapat berhemat untuk ongkos transportasi.

Dalam studi terungkap, penghasilan pasien cuci darah yang hilang karena harus ke rumah sakit dua kali seminggu mencapai 9 juta. Transportasi yang dihabiskan mencapai 5,2 juta sedangkan peserta cuci darah lewat perut hanya 3 juta. Studi ini menyimpulkan, cuci darah lewat perut berpotensi menghemat dana JKN Rp 48 juta lebih per orang per lima tahun.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DKSN) dr. Sigit Priohutomo, MPH menambahkan, terkait CAPD ini dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk menghasilkan pengobatan atau terapi yang lebih efektif dan efisien dengan biaya lebih terjangkau untuk penyakit gagal ginjal kronik ini.

“Masalahnya sekarang adalah pelayanan yang berbiaya besar, kurang efektif, dan tidak merata,” ujarnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!