24.6 C
Jakarta

Cara Australia Menjaga Perasaan Tetangga

Baca Juga:

Oleh : Haidir Fitra Siagian

Memang tidak mudah menjaga perasaan orang per orang. Sama juga halnya dalam upaya memuaskan keinginan semua pihak. Amat sangat sulit untuk dilakukan. Salah satu alasannya adalah diantara kita masih ada yang tidak dapat memahami bahwa orang lain punya perasaan. Faktor lainnya adalah kekurangjelian dan kekurangpekaan kita terhadap sesuatu. Di satu sisi, kita mau melakukan atau menyampaikan satu kebaikan. Tapi kadang kita kurang jeli melihat teks dan dalamkonteks apa, kepada siapa, dan bagaimana melakukannya.

Demikian pula dalam melakukan sesuatu, kita ada kalanya kurang peka. Sering kali tidak atau lengah terjadap perasaan orang lain. Pada saat tertentu, lebih mengutamakan kepentingan dan kenyamanan sendiri, sedikit sekali usaha untuk memahami perasaan orang lain.

Suatu ketika, sekitar 7-8 tahun lalu, di belakang rumah, air limbah dari dapur merembes sampai ke jalanan di depan halaman rumah tetangga. Awalnya kami tak tahu, karena musim kemarau, kiranya air tersebut langsung meresap ke tanah. Lama-kelamaan merembes ke situ. Kami tak menyangka sama sekali karena waktu itu saya sendiri sedang tugas belajar. Lalu sang tetangga menyampaikan hal itu kepada kami. Mengingat di belakang rumah belum ada selokan pembuangan limbah, akhirnya kami putuskan untuk menggali sumur resapan, penampungan limbah air rumah tangga di samping rumah.

Ini penting kami lakukan, selain untuk menjaga kesehatan dan kebersihan, yang paling penting adalah untuk menjaga perasaan tetangga kami. Sebab menjaga perasaan tetangga, itu adalah hal penting dalam hidup bermasyarakat. Tanpa kerukunan dengan tetangga, hidup bermasyarakat terasa hambar. Saya dapat merasakan perasaan mereka yang halaman rumahnya kena becek. Itulah sebabnya, kami harus mencari solusi yang terbaik.

Tentu diantara kita, tidak semua hal itu berlaku. Ada juga tetangga yang baik dan rukun. Namun tidak bisa disembunyikan juga bahwa terdapat warga yang membiarkan air limbah rumah tangganya sampai ke jalanan. Dia tahu hal itu sesuatu yang tidak baik, akan tetapi tidak atau belum ada pikirannya untuk memperbaikinya. Boleh jadi itu berlangsung dari tahun ke tahun, hingga sekarang. Air kotoran masuk ke jalan raya, digilas kendaraan, memercik ke pejalan kaki yang lewat. Menimbulkan kebecekan yang nyata, suasana mirip kubangan kerbau. Panorama yang tidak sedap. Bau amis yang sangat mengganggu, dan seterusnya. Inilah akibat dari kita tidak atau kurang memiliki kepekaan sosial. Ada juga orang lain yang tega membuang atau menyimpan sampah di depan rumah kita. Atau menumpuk bahan bangunan, pasir, batu, krikil di setengah jalanan raya. Selokan menjadi buntu, jalanan menyempit, kotor dan berdebu.

Selain kekurangpekaan warga, hal ini karena ada diantara aparat pemerintah, Ketua RT/RW setempat, dan opinion leader setempat kurang peduli dengan masalah tersebut. Menganggap hal itu bukanlah sesuatu masalah besar yang harus diributkan. Atau mungkin mereka tidak mengetahui masalah ini karena lebih banyak mengurus masalah besar, misalnya persaingan politik, dan lain sebagainya.

Padahal sebenarnya hal ini bisa diantisipasi jika ada kepedulian sosial antar sesama. Demikian juga perlu adanya semacam perhatian dari pemerintah setempat. Jika kedua komponen itu, tidak memberi perhatian, maka sulit menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Menurut saya, aparat pemerintah seharusnya lebih peka kepada persoalan kecil di lingkungan masyarakat daripada urusan lainnya, misalnya peringatan hari jadi kabupaten atau mengundang ulama besar untuk jadi imam shalat subuh berjamaah di anjungan pantai, dan lain sebagainya.

Bagaimana di Australia?

Sore ini seekor burung hinggap di beranda flats atau rumah kami, di kawasan Graduate House, Keiraville, Wollongong, masih milik University of Wollongong. Burung Kakatua Kecil Jambul Putih Kuning atau Cacatua shulpurea, indah dan manja. Senang mata memandangnya. Bulunya putih dan bersih. Suaranya sedikit menakutkan, terutama bagi yang baru mendengarnya.

Awal tiba di sini, beberapa bulan lalu, putriku sering memberi makan burung ini. Dia biasa bermain dengan burung ini di teras. Jinak memang. Saya tadi juga sempat terpikir untuk memberinya roti. Saya baru ingat bahwa memberi makan burung di kawasan ini adalah hal yang tidak boleh. Ada peraturan tertulis dari pihak universitas melalui pengelola flats ini. Sedangkan di kawasan lain, tidak dilarang.

Beberapa hari lalu, seorang teman, mahasiswa program doktor di University of Wollongong asal Jakarta, ketika kami numpang shalat duhur di rumahnya, bercerita kepada saya. Pernah mertuanya didatangi oleh petugas kawasan ini. Mertuanya ditegur karena memberi makan burung kakatua tersebut. Mungkin karena orang tua, dia senang saja melihat burung hinggap ke teras rumah mereka di lantai tiga. Dia tidak tahu bahwa hal itu adalah terlarang.

Mengapa memberi makan burung di kompleks ini dilarang? Tentu ada beberapa sebabnya. Antara lain supaya burung ini terhindar dari makanan yang kemungkinan terkena zat kimia yang tidak cocok bagi kesehatan hewan. Alasan lain adalah untuk menjaga perasaan tetangga. Ini yang agak janggal terasa. Apakah burung itu milik tetangga? Ada apa dengan tetangga?

Sifat burung kakatua putih kuning adalah mirip burung merpati. Bahkan lebih jinak. Si putih mudah berinteraksi dengan manusia tanpa rasa takut. Terutama kepada orang yang menurut ukuran burung ini adalah baik. Salah satu alat ukurnya adalah jika seseorang sering memberi mereka makan roti dan lain-lain. Bukankah memberi makan makhluk Tuhan adalah ibadah? Saya kira ya. Kita memang harus saling memberi terhadap ciptaan-Nya yang ada di muka bumi ini.

Akan tetapi jika kita sering memberi makan barung ini, maka dia akan ketagihan. Burung ini akan sering datang ke kompleks. Bukan hanya satu ekor. Tentu banyak, karena mereka berombongan. Dia akan diikuti teman-temannya sesama burung. Satu kali diberi makan, maka esok mereka akan datang lagi. Bukan hanya ke teras rumah kita, mungkin ke teras rumah orang. Pada saat kita tidak ada di rumah, mereka tetap menunggu di teras. Di saat itulah para burung ini mengeluarkan kotoran. Bukan hanya di teras kita, mungkin pula jatuh ke teras rumah orang di bawah atau mengenai orang yang berjalan di pedesterian. Kita yang senang memberi makan burung, tetangga di bawah yang kena kotoran.

Inilah salah satu sebab mengapa pihak universitas melarang memberi makan burung di kompleks ini. Hal lain yang dilarang adalah menjemur pakaian di teras, kecuali tinggal mengeringkan. Sebab air cucian bisa mengenai tetangga di bawah. Apa lagi? Membuat keributan atau memutar musik hingga terdengar keluar. Hal itu tidak boleh. Inilah bagian dari cara pemerintah menjaga perasaan orang-orang yang bertetangga. Jika anda sudah pernah ditegur, maka selanjutnya akan dikenai denda atau sanksi. Boleh jadi kontrak rumah tidak diperpanjang. Inilah salah satu cara negara menjaga perasaan tetangga.

Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Keiraville, 24.06.19 jelang buka puasa

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!