32.9 C
Jakarta

Catatan Akhir Tahun 2024 Pemuda Muhammadiyah DIY: Hukum, HAM, dan Lingkungan.

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.COM

Tahun 2024 ini menyajikan banyak sekali kejadian bagi masyarakat Indonesia, terutama di bidang hukum, HAM, dan lingkungan. Mulai dari Pemilu 2024, konflik agraria dan lingkungan di beberapa daerah, kasus korupsi, polemik Pilkada, penembakan brutal oleh polisi, dan masih banyak lagi.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2024 yang diselenggarakan Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (30/12) di Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, tiga narasumber yang terdiri dari Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H. (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah), Dr. Indah Shanti, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan), dan Muhammad Saleh, S.H., M.H. (Peneliti Hukum CELIOS) memberikan banyak hal yang terjadi di 2024 ini.

Dimulai dari sambutan Novrizal Sayuti Selaku Wakil Ketua PWPM DIY bidang Hukum yg menyampaikan refleksi singkat kondisi Hukum di Indonesia. Selanjutnya sambutan Iwan Setiawan selaku Wakil Ketua PWM DIY yang menyampaikan hukum di Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Catatan dimulai dari Trisno Raharjo, yang memaparkan Indeks Negara Hukum di Indonesia masih stagnan menurut World Justice Project (WJP), yakni di kisaran 0,53 selama di bawah periode Presiden Joko Widodo. Selaras dengan ini, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia juga rendah, dengan skor 34 dari 100, bahkan kalah dari Timor Leste yang skornya 43.

Cerminan lemahnya hukum di Indonesia, kata Trisno, juga ditunjukkan dengan digunakannya hukum sebagai alat sandera menyandera di politik. Contohnya, kasus Harun Masiku yang turut menyandera beberapa elit partai politik. Serta Hasto Kristiyanto yang menyimpan banyak bukti yang diklaim bisa membuat “geger” negara Indonesia karena membuka skandal para pejabat.

“Kayak saling sandera menyandera. Lalu, kapan masalah hukum itu terselesaikan, kalau tidak ada keseriusan untuk mengatasi kasus hukum yang ada?” kata Trisno dengan prihatin.

Tahun 2024 juga menjadi ujian bagi kepolisian yang mengalami masalah banyak sekali. Termasuk yang menjadi sorotan adalah ketika salah satu polisi di Semarang menembak seorang siswa SMK bernama Gamma, pemerasan kepada Warga Negara Asing (WNA) di sebuah konser, dan berbagai kekerasan polisi terhadap masyarakat sipil. Tak lupa juga, korupsi pengadaan gas air mata mencapai triliunan serta kasus gas air mata yang belum kelar seperti Tragedi Kanjuruhan Malang dan sengketa Pulau Rempang.

Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menjadi sorotan, dimana dalam prakteknya aparat turut dilibatkan untuk mengusir warga yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut dengan kekerasan, seperti yang ditunjukkan pada kasus Pulau Rempang dan PIK 2. Kemudian, berbagai upaya kriminalisasi juga ditujukan kepada para pejuang lingkungan, sebagaimana menurut data WALHI, ada 1.131 pejuang lingkungan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.

Selain itu, berbagai pembungkaman kritik juga turut dilakukan. Contohnya, bagaimana pameran seni pelukis Yos Suprapto di Galeri Nasional harus dibatalkan hanya karena ada beberapa karyanya yang menyindir salah satu bekas Presiden RI.

“Kita ini seperti negara hukum, tapi tatanan hukumnya tak cukup baik untuk hal – hal bagaimana penggunaan perangkat – perangkat dimungkinkan untuk melakukan upaya penegakan hukum kita,” ujar Trisno.

Lanjut ke Indah Shanti juga memberi rekomendasi terkait gender dan lingkungan, mulai dari substansi hukum yang berkeadilan dan berkesetaraan gender. Menurutnya, bagaimana sebuah produk hukum itu berkeadilan dan berkesetaraan gender kalau perempuan tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan mengenai lingkungan hidup. Meskipun ada Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, tetapi masih belum cukup.

“Karena banyak produk perundang-undangan yang tidak pro terhadap kesetaraan dan keadilan gender, terutama perempuan dan lingkungan hidup,” ucapnya.

Rekomendasi selanjutnya adalah penguatan pendidikan lingkungan hidup yang berkesetaraan gender. Ini penting karena bicara soal kenapa tidak ada keadilan gender bermula dari keluarga. Ketika keluarga menempatkan perempuan, laki – laki, dan anak – anak pada satu lingkup yang adil, pada saat itu sebenarnya sudah memberikan pendidikan gender.

Sebab, tidak mungkin akan ada perempuan yang jadi aktivis, dokter, guru, politisi, dan profesi lainnya kalau kemudian tidak didukung oleh lingkungan yang genderist. Keluarga merupakan sentral yang pertama untuk menjinakkan budaya patriarki, artinya memberikan porsi yang sesungguhnya kepada perempuan termasuk berperan untuk lingkungan hidup.

“Sehingga di tahun 2025, ketika kita memperbaiki relasi antara perempuan dan laki – laki, terhadap lingkungan hidup, menjadi satu langkah terdepan supaya lingkungan hidup tetap lestari bersama perempuan dan laki – laki dalam satu bingkai yang agamis,” kata Indah.

Lanjut ke Muhammad Saleh yang memberikan catatannya dengan menjawab dua pertanyaan yang disampaikan di awal materinya. Pertama, bagaimana kualitas hukum negara kita hari ini, ia menjawab kualitas hukum di Indonesia tidak berubah dan justru mengalami penurunan.

Dalam sebuah studi, Indonesia disebut beranjak dari negara demokrasi menjadi non-demokrasi dan ada kecenderungan terjadi autocratic legalism, artinya pemimpin punya kewenangan mutlak dalam pengambilan keputusan tanpa melibatkan bawahan. Dimana perbuatan-perbuatan autocratic ini dilegalkan dalam bentuk hukum.

Pertanyaan yang kedua, variabel apa yang paling banyak menentukan proses penegakan hukum dan berjalannya hukum di Indonesia. Ternyata, Indonesia masih terlalu dominan di dalam sektor bisnis, khususnya bisnis ekstraktif macam tambang dan sawit.

Hal ini dikarenakan masalah bisnis ini menimbulkan banyak persoalan hukum, seperti ketimpangan, masalah lingkungan hidup, praktik politik dinasti, dan praktik politik yang tidak akuntabel transparan.

Ini membuat Indonesia agak mirip dengan sebuah tesis yang dikeluarkan Daron Acemoglu dan James A. Robinson berjudul “Why Nations Fail?” dimana intinya adalah kenapa sebuah negara bisa gagal apabila tidak mampu mengelola institusi ekonominya secara inklusif.

“Apabila institusi ekonomi itu mengarah pada institusi yang sifatnya ekstraktif, maka ada kecenderungan negara itu gagal. Dan nampaknya beberapa tesis dari Acemoglu itu terlihat variabelnya di Indonesia, sehingga ada kecenderungan kita akan mengarah pada negara yang ‘gagal’,” ungkap Saleh.

Editor: Arief Hartanto

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!