SOLO, MENARA62.COM – Melalui tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dunia berkomitmen untuk mengakhiri pernikahan anak pada tahun 2030. Perkawinan anak sendiri sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan akibat dari ketidaksetaraan gender, pelanggaran hak dan bentuk kekerasan berbasis gender dengan dampak jangka panjang pada kesehatan fisik, mental, pendidikan, ekonomi, budaya dan partisipasi politik anak perempuan.
Setiap anak memiliki hak dalam menentukan masa depan dan menempuh jenjang pendidikan yang tinggi. Namun hal ini jauh berbeda masih banyak perkawinan dibawah umur. Perlu adanya terobosan dari pemerintah dan masyarakat luas dalam mencegah perkawinan anak menjadi tanggung jawab bersama.
Banyak faktor yang melatar belakangi pernikahan anak diantaranya ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan adat budaya. Faktor utama yang menjadi pemicu adalah kemiskinan, faktor geografis, kurangnya akses pendidikan, budaya, ketidaksetaraan gender, konflik sosial dan bencana, kurangnya akses ke layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif, dan norma sosial yang memperkuat stereotip gender tertentu.
Demikian benang merah dari dialog publik bertema “Mengakhiri Pernikahan Anak Dengan Mewujudkan Hak Anak” dengan dukungan dari Irish Aid/Kedutaan Besar Irlandia di Jakarta dan deeVIMas-CAD, TRIPLE-F, yang digelar di Hotel Alana, Solo, Jawa Tengah, Jumat (29/7)
Panitia penyelenggara Yulius Gerry Permana menjelaskan, tujuan dialog publik adalah mengadopsi pendekatan multi-sektoral dan multi-stakeholder untuk mengakhiri pernikahan anak, dengan mekanisme koordinasi yang efektif (masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah).
“Serta untuk berkontribusi pada implementasi rencana, dengan organisasi individu, mengimplementasikan program-program yang termasuk dalam strategi, menyediakan informasi dan pelayanan akses pembelajaran untuk membangun kapasitas pemangku kepentingan nasional dan lokal dan kemitraan dalam advokasi mencapai tujuan dalam penurunan perkawinwan anak dibawah umur,” jelasnya.
TRIPLE-F berkomitmen untuk mengarusutamakan isu lintas sektoral kesetaraan gender dan pemberdayaan anak perempuan dan perempuan muda di seluruh pekerjaan pembangunan kapasitas, analitis dan advokasi kebijakan.
Pencapaian penting telah dicapai di bidang ini oleh beberapa program kerja TRIPLE-F – mulai dari menganalisis dampak perdagangan manusia terhadap anak perempuan dan anak muda, memerangi pernikahan anak dan memajukan pembuatan kebijakan yang responsif gender, hingga mendukung pengusaha perempuan muda dan peran mereka dalam ekonomi digital.
Untuk mempromosikan pengarusutamaan gender dalam memperkuat wanita muda untuk berwirausaha di bidang pertanian,dan mengadvokasi data yang lebih baik untuk kebijakan inklusif gender.
Adapun narasumber diantaranya, Divya Mukand (Girls Not Bride), M. Fakhrudin Kabid DP3AP2KB Kabupaten Jepara, Lutfy Mubarok, (pembela hak anak/advokat/- deeVIMas/CAD Fund), Yustin Sartika, (akademisi/pakar gender dan Pembangunan– UIN Raden Mas Said ).
Peserta terdiri dari pejabat pemerintah daerah, universitas, swasta, organisasi berbasis agama, feminis muda, LSM/CSO dan Forum Anak.
Divya Mukand dalam paparannya menyampaikan, data yang diperoleh dari beberapa negara di Asia seperti Bangladesh, India dan beberapa negara di Afrika seperti Uganda dan juga negara Eropa seperti Belanda dan Amerika Serikat nikah keren telah lama dicanangkan. “Di negara tersebut nikah dengan umur yang telah dewasa,” jelasnya.
M. Fakhrudin Ka Bid DP3AP2KB Kabupaten Jepara mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi kawin bocah di Kabupaten Jepara naik dratis diantara budaya, ekonomi dan pola asuh.
“Mimpi Jepara kekerasan perempuan perceraian dan perkawinan usia anak turun 50 persen di tahun 2027 dan mempunyai satgas cegah kawin bocah. Inovasi Jepara dengan aplikasi Sapa Jepara,” terangnya.
Sahabat Peduli Perempuan dan Anak, Yustin Sartika menyoroti budaya pada pernikahan anak. “Pernikahan anak harus dicegah bersama,” tandasnya.
Sementara Lutfy Mubarok menekankan, pertautan PA adanya kolaborasi masing-masing Dinas dalam penurunan angka kawin bocah. “Perkawinan bocah atau pernikahan dini ke depan diharapkan tidak terjadi lagi,” ujarnya.