TABANAN, MENARA62.COM– Kementerian Kesehatan tahun ini mulai mengintroduksi imunisasi Japanese Encephalitis (JE). Untuk tahap awal, introduksi imunisasi JE dilakukan di Propinsi Bali dengan sasaran 962.810 anak usia 9 bulan-15 tahun.
Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K) didampingi Bupati Tabanan, Ni Putu Eka, S. Sos, dan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, saat mencanangkan imunisasi JE di SMP N 1 Tabanan Bali menjelaskan bahwa imunisasi JE dimaksudkan untuk mencegah penyakit radang otak (Ensfalitis).
“Kita canangkan dimulainya kampanye Imunisasi Japanese Encephalitis di seluruh Provinsi Bali. Kegiatan ini akan berlangsung selama dua bulan penuh dengan sasarannya adalah anak berusia 9 bulan sampai kurang dari 15 tahun”, tutur Menkes seperti dikutip dari laman sehatnegeriku, Jumat (02/03).
Dipilihnya Bali karena propinsi ini menjadi satu dari 9 propinsi yang melaporkan adanya kasus JE.
Imunisasi JE itu sendiri berlangsung antara Maret hingga April 2018 secara massal di Bali, termasuk sweeping. Kegiatan sweeping dilakukan untuk menjangkau sasaran yang belum diberikan imunisasi karena sakit, sedang bepergian, orang tua yang sibuk, atau tidak mengetahui mengenai adanya kampanye imunisasi JE maupun alasan lainnya.
Dikatakan Nila, kampanye imunisasi JE dilaksanakan dengan tujuan untuk mengendalikan penyakit JE di daerah berisiko JE. Secara khusus, diharapkan introduksi imunisasi JE mampu menurunkan angka kasus AES dan menurunkan angka kesakitan akibat penyakit JE.
Pelayanan imunisasi dilakukan di pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan, antara lain Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak, SD/MI/sederajat, SDLB dan SMP/MTs/sederajat dan SMPLB, Posyandu, Polindes, Poskesdes, Puskesmas, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Dalam pelaksanaannya, anak-anak akan diberikan 1 dosis (0,5 mL) secara suntikan subkutan. Pada anak usia 9-12 bulan, penyuntikan dilakukan pada paha lateral kanan sedangkan pada anak usia >12 bulan, penyuntikan dilakukan pada area deltoid di lengan kanan. Vaksin yang digunakan sudah mendapatkan rekomendasi atau Pre Qualified (PQ) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan sertifikat pelulusan bets/lot (batch/lot release certificate) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Vaksin ini terbukti aman dan efektif untuk mencegah penyakit JE serta telah digunakan di berbagai negara di dunia. Meski demikian, tetap perlu dipastikan bahwa anak yang akan diimunisasi berada dalam kondisi sehat dan dapat menerima imunisasi JE.
Vektor nyamuk
Virus JE merupakan penyebab utama kejadian penyakit Ensefalitis virus di Asia, termasuk di Indonesia. Manusia dapat terinfeksi virus JE karena ini merupakan penyakit bersumber binatang (zoonosis) yang ditularkan melalui vektor penyebar virus JE yaitu nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE.
Jenis nyamuk yang banyak ditemukan di sekitar rumah antara lain area persawahan, kolam atau selokan (daerah yang selalu digenangi air). Sedangkan reservoarnya adalah babi, kuda dan beberapa spesies burung. Jadi manusia merupakan inang terakhir (dead-end hosts).
“JE dapat menimbulkan kematian, bila bertahan biasanya terdapat gejala sisa yang berat termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental,” ujar Menkes.
Hasil surveilans sentinel tahun 2016 yang dilakukan di 11 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 326 kasusAcute Encephalitis Syndrome (AES) dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Seperti kita ketahui bahwa tanda klinis dari JE tidak dapat dibedakan dengan penyebab lain dari Acute Encephalitis Sindrom (AES), sehingga konfirmasi laboratorium menjadi sangat penting. Kasus JE adalah kasus AES yang telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan laboratorium (IgM) positif.
Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia ≤15 tahun dan 15% pada kelompok usia >15 tahun. Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau, dengan kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali.
Data tersebut menguatkan langkah pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk melakukan introduksi atau pengenalan vaksin baru untuk mencegah infeksi JE. Introduksi imunisasi JE ini telah direncanakan sejak lama dan matang oleh Pemerintah.
“Sampai saat ini belum ada obat untuk JE dan imunisasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia. Karena itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mensukseskan Kampanye Imunisasi JE ini”, tandas Menkes.
Menkes optimis bahwa kampanye ini bisa mencakup 95% dari total sasaran 962.810 anak, sehingga tercipta kekebalan terhadap virus JE seperti yang diharapkan.
JE di Indonesia
Virus JE merupakan penyebab utama kejadian penyakit ensefalitis virus di Asia. WHO (2012) menggambarkan bahwa negara-negara berisiko JE ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia antara lain Jepang, Korea, India, Srilanka, dan Indonesia serta sebagian northern territory di Australia.
Seperti di negara-negara lain, di Indonesia jumlah kasus JE didapatkan melalui surveilans Acute Encephalitis Syndrome (AES). Seperti kita ketahui bahwa tanda klinis dari JE tidak dapat dibedakan dengan penyebab lain dari AES, sehingga konfirmasi laboratorium menjadi sangat penting. Kasus JE adalah kasus AES yang telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan laboratorium (IgM) positif.
Di Indonesia, pantauan infeksi JE pada kelompok masyarakat di berbagai wilayah dimulai dari penelitian yang dilakukan berbagai kelompok dan institusi sejak tahun 1972. Dilanjutkan dengan surveilans berbasis masyarakat di Bali oleh Kemenkes (2001-2003). Tahun 2014 Kemenkes bekerja sama dengan WHO mengembangkan surveilans sentinel JE di Bali dan empat provinsi berisiko lainnya.
Tahun 2016, surveilans sentinel JE dikembangkan sehingga menjadi 11 provinsi. Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.
Hasil surveilans sentinel 2016 di 11 provinsi menunjukkan bahwa terdapat 326 kasus AES dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia ≤15 tahun dan 15% pada kelompok usia >15 tahun. Kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali.
Gambaran Klinis JE
Tanda dan gejala Ensefalitis biasanya muncul antara 4-14 hari setelah gigitan nyamuk (masa inkubasi) dengan gejala utama berupa demam tinggi yang mendadak, perubahan status mental, gejala gastrointestinal, sakit kepala, disertai perubahan gradual gangguan bicara, berjalan, adanya gerakan involuntir ekstremitas ataupun disfungsi motorik lainnya. Pada anak, gejala awal biasanya berupa demam, iritabilitas, muntah, diare, dan kejang.
Kejadian kejang terjadi pada 75% kasus anak. Sedangkan pada penderita dewasa, keluhan yang paling sering muncul adalah sakit kepala dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
JE bisa menyebabkan kematian, angka kematian akibat JE berkisar antara 5 – 30%. Angka kematian ini lebih tinggi pada anak, terutama anak berusia kurang dari 10 tahun. Bilapun bertahan hidup, bisanya penderita seringkali mengalami gejala sisa (sekuele), antara lain gangguan sistem motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan abnormal); gangguan perilaku (agresif, emosi tak terkontrol, gangguan perhatian, depresi); atau gangguan intelektual (retardasi); atau gangguan fungsi neurologi lain (gangguan ingatan/memori, epilepsi, kebutaan).
Sampai saat ini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini, hanya dapat mengurangi gejala (mencegah perburukan kasus). Oleh karena itu, upaya pencegahan sangat penting. JE dapat dicegah dengan pemberian imunisasi dan menghindari gigitan nyamuk (vektor penular JE).
Faktor Risiko dan Pencegahan
Peningkatan penularan penyakit ini ditengarai disebabkan beberapa faktor risiko, antara lain: 1) Peningkatan populasi nyamuk pada musim hujan; 2) Tidak adanya antibodi spesifik JE baik yang didapat secara alamiah maupun melalui imunisasi; 3) Tinggal di daerah endemik JE; serta 4) Perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan digigit oleh nyamuk misalnya tidur tanpa menggunakan kelambu.
Adapun intervensi yang paling utama dalam pencegahan dan pengendalian JE adalah pengendalian vektor baik secara kimiawi maupun non kimiawi, menjaga kebersihan lingkungan permukiman dan peternakan bebas dari habitat perkembangbiakan nyamuk penular JE, penguatan surveilans, dan imunisasi JE pada manusia di samping vaksinasi hewan (babi, kuda dan unggas). Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.