28.8 C
Jakarta

Cerbung : Rembulan di Atas Bukit Pajangan (76)

Baca Juga:

Cerpen
Tersandung Duri, Sekali.

Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( serial )
Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( serial )

Bayangan bahwa menyekolahkan anak di pondok selalu mulus, bertabur bunga. Tidak selalu benar. Artinya halangan dan rintangan akan selalu ada. Menyertai. Orang diluar pagar rumah saja yang seringkali mengatakan kalau anaknya di pondok sudah tentram. Nyaman. Tinggal sediakan uang untuk akomodasi, selebihnya doa dipanjatkan. Akhir tahun menuai hasilnya. Onak duri tak begitu dihiraukan.
Pagi itu, belum selesai aku prepare untuk berangkat kerja, aku dengar langkah kaki di garasi. Tidak biasanya, sepagi ini ada tamu. Aku sudah mulai curiga. Siapa ya tamu sepagi ini. Jam.06 lebih sedikit. Langkah kakinya ringan. Anak kecil. Tapi siapa? Dalam hitungan jari, tiba-tiba dengar suara parau, “Assalamualaikum?” suara Rohman menjawab pertanyaanku. Aku kaget. Rohman juga. Sementara ibunya masih sibuk di dapur, menggoreng telur ayam yang kemarin sore aku ambil dari kandang barat rumah.
“Kamu, Mas,” matuku beradu pandang. Kuat. Aku peluk Rohman. Bau amis, apek jadi satu menyengat hidungku. Namun semua tak ku hiraukan. Makin kuat aku peluk. Rohman tenggelam dalam isak tangis. Aku sedikit dorong tubuhnya yang kurus itu. Namun kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Sekali lagi aku tatap.
“Ada apa Mas? Ayo duduk. Minum dulu,” aku mencoba mengendalikan gejolak hati. Aku ambil segelas minum putih. Segelas langsung tandas. Habis. Haus rupanya dia. “Aku pergi dari pondok, pak,” kata Rohman menunduk. Antara takut dan malu. Bagai disambar petir dipagi hari, mendengar berita yang sejak lama aku hindari. Namun pagi ini, aku mengalaminya. Pikiranku kalut. Namun sekali lagi aku mencoba menenangkan diri. Sebab solusi dengan emosi, jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi dengan main pukul. Hanya penyesalan yang ku dapat. Sudah pernah aku alami.
Belum selesai aku berbincang dengan Rohman yang pulang tidak diundang itu, ibunya menyembul dari dapur. Bisa jadi karena dengar suara-suara kami yang berisik, atau memang karena urusannya di dapur sudah selesai. “Ohm kamu, Mas,? “ pernyataan senada dengan aku tadi. Kaget campur galau. Karena aku keburu masuk kerja, maka sengaja aku serahkan untuk interogasi Rohman yang pulang mendadak ini, kepada ibunya. Namun sejatinya, hanya untuk mengalihkan emosi saja. Aku khawatir tidak bisa mengendalikan diri. Aku pamit tetap pergi kerja. Meski sudah terlambat. Namun sebelum pergi, aku tetap cium kening Rohman,,sambil aku tepuk pundaknya seraya mengatakan :”Tetap semangat, Mas,”. Seutas senyum berkelebat dari bibirnya. Tensi dihati mulai turun tangga,
####
Aku tidak tahu lagi percakapan macam apa yang dilakukan ibu-anak itu di rumah, saat aku keluar. Pilihan jawaban hanya dua. Apakah istri marah melihat situasi didepan mata menusuk ulu hatinya. Meski tetangga kanan tidak tahu apa yang sejatinya terjadi. Tahunya kami keluarga baik-baik saja. Artinya tidak banyak masalah di rumah. Tahunya anak di pondok, pasti nurut. Gak banyak tuntutan. Rajin ibadah. Santun. Gak banyak membantah. Itu yang sering aku dengar dari omongan tetangga. Meski kadang tidak langsung masuk ke telinga kanan kiri dari nara sumber yang kurang  jelas. Namun suara-suara itu sering aku dengar. Dalam hati aku mengamini saja. Meski dalam prakteknya tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Buktinya saat ini.
Di kantor aku tidak khusuk. Jelas. Pikirannku ke rumah. Membayangkan betapa amarah ibunya. Atau malah bisa sebaliknya, didekapnya Rohman, untuk mencari jawab, apa yang sesungguhnya terjadi hingga si bungsu ini kabur dari pondok. Tak sabar melihat perkembangan Rohman, aku WA istri. Beberapa kali tidak dijawab. Aku makin gelisah. Resah. Namun coba aku tenangkan. Namun tetap gundah.
“Ada apa mas? Sepertinya ada sesuatu – kok sebentar duduk, sebentar kemudian berdiri?” Tanya teman di kantor, Melihat perubahan sikapku yang tidak aku sadari. Agak gugup, aku jawab sekenanya, “ Iya, anak pulang tadi,”
“Pulang saja, maju gak papa mas?” kata temanku.
“Gak usah mas, kemarin sudah sering ijin,” jawabku.

“Sehat-sehat saja kan putranya?”
“Sehat mas,”
Percakapan pendek kami berdua terhenti. Karena HP ku berdering. Saat aku lihat, chat Istri yang menyala. Dengan nada buru-buru, aku diminta pulang. Kali ini aku tidak malu lagi untuk pamit pulang. Disepanjang jalan, hatiku melompat-melompat. Andai Rohman tahu, isi hati ini –betapa inginnya setiap orang tua menghendaki anaknya sholeh. Tidak banyak membantah. “Tapi anak kita, mempunyai dunia sendiri,” katasisi  hatiku yg lain(bersambung…)

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!