29.2 C
Jakarta

Cerbung – Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( 81 )

Baca Juga:

Menahan “Mulas” Setiap Saat.

Udara dingin menjalar ke seluruh tubuh. Setelah sebelumnya sempat gerah di malam harinya. Sampai kami kadang tidur hanya pakai kaos singlet. Ditemani kipas angin butut. Tapi masih bersih. Karena istri rajin merawatnya. Aku dan Rohman yang paling jarang membersihkan kipas angin, Tapi sebaliknya kami berdua yang sering memakainya. Egoisnya.
Pagi itu alarm HP menyalak keras. Berulang-ulang. Bahkan sampai seolah melompat. Aku terbangun. Istri ternyata sudah lebih dulu. Kakak Rohman, masih melingkar dengan selimut putihnya. Sementara Rohman yang tidur di kamar sebelah aku tengok juga belum ada tanda-tanda kehidupan. Posis tidurnya sudah tidak beraturan. Kepala dimana, kaki dimana. Tapi yang masih tetap ada, posisi head set masih menancap kuat di telinga. Aku lihat HP sudah mati. Kesimpulannya ketiduran anak ini. Bukan sengaja untuk tidur, istirahat.
“Sudah malam mas, tidur,” kataku untuk yang kesekian kali.
“Sebentar lagi, pak, ” jawabnya untuk yang kesekian kali juga.
“Besok sekolah, khawatir subuhnya kesiangan, lho,” ancamanku.
“Gak kok. Subuh tetap bangun,” jawabnya, masih sibuk dengan gadget-nya.
Aku lirik jarum jam di dinding kamar tengah. Jam 11 malam.  Agak keras, aku ingatkan.
“Besok kalau gak bangun subuh, awas lho,”
” Iya-iya”
Dengan menggerutu ia jawab sekenanya. Tapi tidak seketika terus HP dimatikan. Aku sudah mulai “sakit perut”. Mules. Aku tinggalkan dengan doa. Semoga segera matikan HP dan tidur dengan seksama dan dalam tempo yang singkat, sehingga besok pagi bisa bangun subuh berjamaah di masjid. Tidak terlambat.
Tapi ternyata, seperti beberapa malam sebelumnya. Adzan subuh belum juga bangun. Aku dan istri harus bangunkan dengan susah payah. Terpaksa aku sholat sunnah 2 rakaat di rumah. depan pintu kamarnya. Sambil menunggu  Rohman bangun. Selesai sholat sunah, belum bangun juga. Hmm.
“Sudah mau iqamah lho mas, ayoo..” kataku sambil aku tepuk pantatnya. Sesekali aku pencet hidungnya yang mancung ke dalam. Kali ini agak berhasil. “Iya…bapak berisik,” sambil ngeloyor ke kamar mandi.
Dalam hati, biar saja menggerutu yang penting tujuan besar-nya yakni sholat subuh berjamaah di masjid, kena.
“Masih ngantuk-e .” katanya dengan mata setengah terpejam.
“Ya, gak papa. Sholat subuh lebih penting,” jawabku diatas sepeda motor.
Dan benar sampai di masjid kami terlambat satu rakaat. ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!