Meramu rasa sayang, cinta dan benci
Rembulan di Atas Bukit Pajangan
Mentari mulai melemah memancarkan sinarnya. Tak seperti siang tadi habis dhuhur. Sinarnya begitu garang. Menyengat ubun-ubun. Sampai-sampai kami berpikir kapan hujan akan turun, kalau siang panas begini. Mentari terasa garang. Namun sore itu, lepas Ashar, ia mulai luruh. Hangat-hangat tahi ayam. Cenderung adem. Justru hati ini yang panas. HP butut bergetar, aku buka :”Pak aku gak pulang, terusan mau main ke rumah teman,” WA Rohman aku baca 2-3 X. Hanya untuk memastikan benarkan kata-katanya. Biasanya pulang sekolah langsung pulang. Sampai rumah biasanya 30 menit jelang Maghrib. Bahkan karena males mandi, sering Sholat dulu baru mandi. Ini nagsih kabar, gak pulang, mau terusan di rumah teman. Sudah sore, pulang. Pulang jam berapa?
Untuk menutup rasa kesal di hati. maka aku aku jawab :
“Pulang dulu, baru main,”
Gak dijawab.
“Mandi dulu, bapak ibu juga punya hak untuk ketemu kamu, mas,”
Gak dijawab.
“Masak main di rumah teman, gak ganti baju dari pagi. Belum mandi lagi,”
Gak dijawab.
Ya sudah. Aku hanya berpikir positip. Mungkin sedang di jalan. Namun perasaan gelisah tetap tidak bisa disembunyikan. Mengaduk-aduk perut dan ulu hati. Teman siapa dan dimana? Mungkin ada yang berpikiran, cuma main, pulang larut sudah biasa, lagi pula anak laki-laki. Kadang pikiran sembrono itu berkelebat dalam benak. Biarlah aku lepas saja anak lanang ini. Kemanapun dia pergi dan bermain. Dengan kemunitasnya. Teman-teman sekolahnya. Aku hanya khawatir tanggungjawab sebagai orang tua ini akan dimintai tanggungjawab juga dihadapan-Nya. Kenapa anak dilepas. Tidak diarahkan. Dewasa belum waktunya.
Benar yang aku duga. Maghrib belum pulang. Komunikasi HP mandeg. Rohman gak beri kabar, di rumah teman mana. Mungkin dia marah. Mengapa mau main ke rumah teman saja tidak boleh. Kan sudah besar. Bisa naik motor sendiri. Bisa belok kanan kiri. Meski belum punya SIM sendiri. Ngambeg. Namun jelang Isya’ ada suara motor masuk dibibir garasi rumah. Aku hafal benar itu motor Rohman. Setelah seminggu diganti dengan knalpot “broong”. Insyaf. Knalpot yang lama dipasang lagi.
“Assalamualaikum…” katanya, sambil membuka pintu garasi.
“Wassalamualaikum…” jawabku sambil aku lihat wajahnya. Cemberut. Capai.
Agar tidak menimbulkan masalah baru yang lain. Aku tahan. Tidak akan mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru akan membuat suasana menjadi keruh. Cuma satu, :Sudah mandi, mas?”
Ia menggeleng. Tanda belum mandi. Kecut.
“Lapar pak,” sambungnya. Mungkin di rumah temannya belum makan. Aku juga tidak bertanya. Ibunya yang mendengar belum makan, kemudian diambilkan. Dengan menu apa yang ada. Makan masih diambilkan? Iya. Sudah SMA ? Iya. Bahkan, mungkin saking manjanya, minta disuapin. Ibunya yang melakukannya. Pernah tidak diambilkan, karena kami buru-buru ada keperluan. Rohman tidak makan juga. Hanya beberapa snack yang disukai dimakan semua. Habis. Tandas. Padahal di pondok, aku yakin Rohman lebih mandiri. Sekarang tambah besar, kok malah kolokan. batinku. Semoga bukan bagian dari doa.
“Habis makan, nanti terus mandi. Sholat Isya, terus cerita main kemana,” kataku.
Tidak nunggu habis Isya, ia cerita. Main di rumah teman sekolahnya. Yang rumahnya kalau pulang melewati rumah kami. Nah, kan. Kesana ternyata mau lihat game saja. Katanya ada aplikasi yang baru. Ampun, deh.
“Besok lagi, kan bisa pulang dulu,” serangku. Setelah aku lihat wajah Rohman mulai kendor.
“Kalau pulang dulu, waktu main di rumah teman cuma sebentar,”
“Main itu boleh, apa lagi jelas kemana. Cuma sebaiknya dari sekolah pulang dulu. Ganti baju,”
“Ya, besok lagi.” jawabnya datar. Tanpa melihat aku. Matanya kembali ke gawai yang tidak lepas dari tangannya. Sementaranya ibunya masih setia menyuapinya. ( bersambung )