Belajar dengan Anak Sendiri
Kejadian SMA 35 tahun yang lalu. Masih ingat dalam benak. Bagaimana aku jatuh bangun untuk bisa belajar membaca Al-Quran. Meskipun hingga kini belum benar. Masih terus belajar. Apalagi kalau sudah masuk Tahsin. Duh, berat. Karena dari awal belum mengenal methode tahsin ini. Namun, ingat wejangan ustadz, bahwa belajar dibutuhkan kesabaran. Yang aku sesalkan hingga usia 50 tahun kini, belum juga hafal Juz Amma. Juz terakhir dalam Al-Quran yang terdiri dari 37 surat relatif pendek. Dari Surat AN-Naba’ (78) hingga An-Nass (114 ).
Sementara jika melihat Rohman, yang baru belasan tahun sudah bisa melumat Juz Amma, Juz 29, Juz 1-3 dan beberapa surat pilihan. Kutangkupkan kedua tanganku, sembari mengucap Istighfar mohon ampun kepada Allah, atas keteledoran memanfaatkan karunia usia selama ini.
“Ngapain saja aku selama ini,” batinku dalam fisik tersungkur.
“Orang tua kan tugasnya banyak, beda dengan anak-anak. Tidak mikir butuh. Hanya belajar dan bermain,” sisi batin yang lain mencari pembenaran.
“Tapi jatah waktunya yang diberikan, kamu kan lebih banyak, sedangkan anak kecil lebih sedikit.”
“Wajar jika anak kecil banyak hafalannya.”
” Itu hanya alasan kamu saja, untuk menutupi kekuranganmu.”
Saya ingat-ingat teknik Rohman menghafal al-quran jika di rumah, rasanya tidak ada yang istimewa. Mengaji biasa-biasa saja. Maksudnya tidak ada waktu khusus untuk menghafal. Entah kalau waktu di MI dulu. Memang, aku akui untuk hal mengaji ini, Rohman lebih dekat dengan ibunya. Dibanding aku. Rohman biasa dekat kalau kegiatan yang bersifat motorik kasar. Misal main bola bersama, badminton di halaman rumah atau sepeda bersama menjelajahi sawah-sawah hingga di luar kampung.
Pernah satu hari ketika aku tanya, kiat dia menghafal. Saat sebelum ke pondok. Karena sebelum itu memang dia sudah hafal juz 30 dan beberapa surat di juz 29.
“Bapak kok merasa susah ya le, menghafal beberapa surat di juz amma,” kataku.
“Bapak harus ikhlas dan semeta-mata mencari Ridho Allah,” Rohman menjawab datar.
“Lho, aku wes ikhlas banget je le. Tetapi tetap sulit.”
“Bapak, masih ada terbersit kalau hafal surat ini, atau surat itu, akan dipuji orang. Jujur pak?”
Aku tercenung. Batinku tercekat. Sulit untuk berkata-kata. Karena memang sejatinya masih ada rasa senang dipuji orang, jika bisa menghafal beberapa surat pilihan.Buktinya kalau aku menjadi imam sholat, kadang aku baca ayat pilihan yang bukan atau tidak ada di Juzamma, misal QS.Al-Baqarah ayat 255, Al-Baqarah ayat 284-286, Ali Imrah ayat 102-104, Ali Imran ayat 100. Sedangkan kalau sholat sendiri lebih suka membaca Al-Ikhlas dan Al-Kafirun. Ada apa ini?
“Kok melamun pak?” kata Rohman, memecah lamunanku.
” Ngg-gak le. Cuma, yang masih suka dipuji orang itu, kok belum bisa menghilangkan ya le. Bagaimana caranya?” jawabku gugup.
“Bertahap pak. Itu mungkin salah satu sebab, mengapa bapak sulit untuk menghafal surat dalam Al-Quran. Karena masih ada keinginan di lihat orang, dipuji orang,” jawab Rohman, menusuk ulu hatiku. Jawaban yang sungguh tidak pernah aku duga sebelumnya.
“Jangan-jangan bapak mondokan aku ke Pajangan, biar bapak dipuji orang, sebagai orang tua yang soleh, yang perhatian agama pada anaknya. Ampun pak.”
Jujur perasaan itu kadang masih ada. Meski sedikit. “Terus bagaimana le, kalau sudah terlanjur,” katanya seperti anak kecil yang minta petuah kepada orang tuanya.
“Ya bapak hanya minta maaf. banyak istighfar. Mudah-mudahan Allah mengampuni,” katanya lagi.
Aku termangu. Sejurus kemudian Rohman asyik dengan permainan game-nya. Dengan HP-nya memang dia sering khusuk dengan permainan yang ada. Itulah sebabnya sering ibunya marah-marah, atau tepatnya menasehati agar tidak terlalu larut dalam game on line. Setiap kali dinasehati, jawaban Rohman, “Besok kalau di pondok kan sudah tidak main game lagi, bu?” Itu jawaban yang menjadi senjata-nya acap kali dinasehati…(bersambung)