31.2 C
Jakarta

Cerbung: Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke 2)

Baca Juga:

Istri, Nampak Lebih Tegar

Perjalanan pulang dari mengantar Rohman ke pondok, terasa lama. Bayangan Rohman menari-nari dipelupuk mata dan hati. Kadang ingin kembali lagi ke pondok untuk melihat sedang apa Rohman sekarang. Dan rentetan pertanyaan lain. Bagaimana makannya, bagaimana dengan teman-temannya, bagaimana tidurnya. Pendeknya, baper. Tidak terasa, air mata menetes makin deras, membanjiri kedua pipi ini.

“Kok, diam saja kenapa e, pak?” kata istri, sambil menyolek pinggang. Lamunanku buyar. Pecah.

“Enggak apa-apa,” jawabku parau, sekenanya.

“Nangis ya,?” lagi istri penasaran, mendengar suaraku tercekat. Gak jelas

“Kasihan Rohman, bu. Bagaimana makannya dan tidurnya?” kataku, sambil nyetir. Jadi agak kurang fokus.  Sementara air mata jatuh makin deras, tak tertahankan.

“Bapak harus kuat. Tidak hanya dibuktikan dengan memberikan biaya mondok. Tapi lebih dari itu, bapak juga harus kuat menahan rindu, kangen dan perasaan lainnya. Ini ujian pak. Doakan saja, Rohman betah di sana. Gak usah setiap hari ditanyakan kabarnya. Doa orang tua lebih kuat,” kata istriku ceramah.

Memang terbalik. Biasanya seorang ibu yang tidak tahan berpisah dengan anak-nya. Ini malah aku, sebagai bapak yang kelihatan cengeng. Rapuh. Dalam hatiku mengatakan, istri sebagai seorang ibu, pasti sesungguhnya juga memendam rasa kangen yang dalam. Namun dia lebih pintar menyembunyikannya. Sehingga tidak nampak dipermukaan. Kelihatannya lebih tegar.

******

Habis isya kami sampai rumah. Hujan belum juga reda. Meski tidak sederas sore jelang maghrib tadi. Namun hujan ini tetap membuat kuyup, jika kita jalan di luar tidak berpayung. Mandi dan ganti baju yang kemudian kami lakukan. Kakak Rohman, namanya Fauzan, usia sekitaran 20 tahun, kebetulan berkebutuhan khusus. Di sepanjang jalan tidak banyak bertanya. Hanya sesekali, memang menanyakan adiknya, dengan bahasa sederhana yang dia pahami. Kamipun paham dengan bahasanya. “Rohman di mana pak,” hanya itu pertanyaannya yang diulang-ulang.

Kami sengaja mampir sholat di masjid yang ada di sepanjang jalan tadi. Sehingga sampai rumah usai mandi, kami bertiga makan malam. Istri nampak capek. Setelah sholat sunah 2 rokaat, dia tidur. Saya coba melakukan hal yang sama. Namun tetap tidak bisa tidur. Meski coba paksa untuk pejamkan mata. Namun hati ini dengan cepat lari ke pondok. Tempat Rohman tinggal di sana. Kami lepas, siang jelang sore tadi.

Bayangan wajah Rohman masih sangat jelas di pelupuk mata. Apalagi kalau senyum. Giginya yang putih berderet nampak rapi. Sejurus kemudian, aku ingat pernah marah kepadanya hanya gara-gara di rumah main HP terlalu lama. Sampai nangis dia. Atau saat istri juga pernah marah atau lebih tepatnya nasehati dia, agar tidak terlalu lama bermain game. Jika sudah demikian aku sering dilema, mau bela Rohman atau salahkan istri, agar tidak terlalu keras dengan anak sendiri.

“Sudahlah, gak usah keras-keras ini. Sama anak sendiri, besok kalau sudah di pondok, pasti dia tidak akan terlena main game. Karena memang tidak boleh membawa alat komunikasi. (bersambung…)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!