32.7 C
Jakarta

Cerbung: Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( bagian ke-3 )

Baca Juga:

Sabar Memang Tidak Mudah

Seminggu, dua minggu, berganti bulan. Terasa lamban. 3 bulan terasa 3 tahun.  Aturan pondok, anak tidak boleh ditengok dalam kurun waktu itu. Bersyukur masih bisa video call (VC). Itupun dibatasi waktunya hanya 10 menit. Menggunakan HP punya ustadz (Mudzir-nya). Sehingga harus antri. Sabar. Ketika sampai gilirannya dapat waktu phone, kami berebutan. Tapi saya mengalah, biar ibunya yang banyak bercerita. Meskipun hati ini memedamnya untuk menumpahkan rasa rindu. Mendengar dia sehat, sudah senang.“Bagiamana ngaji-le ( sebutan untuk anak laki)? “ tanyaku sekenanya.

“Baik pak. Sudah 3 juzz, Alhamdulillah jalan hafal ini pak. Doakan,” suara di seberang HP. Meruntuhkan hatiku. Sesungguhnya aku kaget dengan perkembangan hafalannya, demikian cepat. Memang ketika mau masuk pondok sudah mempunyai modal 1 juzz hafalan, yakni juzz 30. Aku sendiri, bapaknya hingga seumur ini, 50 tahun, belum hafal juga itu juz amma. Terutama 6 surat macam An-Naziat, Abasa, At-Takwir, Al-Infitar dan Il-Insyiqaq. Kalau selain itu, insya Allah sudah cukup familiar. Sementara Rohman belum ada 3 bulan sudah nambah hafalan 2 juzz. Subhanallah. Hatiku berdesir.

“Makan-nya gak masalah tho, le,” tanyaku ketika HP itu diberikan istri kepadaku. Gantian.

“Alhamdulillah enak kok pak. Jadwalnya padat pak di pondok, tapi ada waktu bermain juga, terutama Jumat, Sabtu dan Ahad, Jadi aku bisa main bola dan badminton,” suara Rohman terdengar nyaring.

Waktu phone 10 menit habis. Meski terasa kurang, namun sedikit lega, mendengar perkembangan hafalannya. Kadang aku jadi malu sendiri. Kenapa dulu waktu masih muda tidak aku gunakan untuk banyak menghafal ayat-ayat Allah ini. Tiba-tiba angan mundur cepat kemasa silam, saat aku seusia Rohman. 12 tahun. Apa saja yang aku lakukan waktu itu. Meski tidak ingat semua, namun beberapa kejadian penting masih menamcap kuat di benak ini. Diantaranya, memang waktu sekolah dasar (SD), aku di dimasukkan oleh orang tua di sekolah ber-plat merah. Sehingga praktis pendidikan agama-nya relatif  kurang. Untuk tidak menyebut tidak ada. Apalagi hafalan surat-surat pendek. Sangat terbatas. Aku sendiri bisa mengaji tergolong terlambat. Atau  bahkan sangat terlambat. Mulai usia SMA.
“ Ayo, kamu mas, baca yang tadi dicatat di papan tulis?” suruh Pak Muktar, guru Agama Islam waktu SMA. Ketika aku baca dan sampai pada huruf atau bacaan Arab (Al-Quran) aku hanya bisa membaca artinya.

“Arab-nya belum bisa mas?” Tanya pak Muktar lagi.
“Be-belum pak,” jawabku malu-malu.
“ Harus bisa. Orang Islam kok sampai gak bisa membaca kitabnya sendiri. Rugi. Yuk belajar di rumah, tidak usah malu. Ikut TPA dengan anak-anak usia SD. Insya Allah kamu bisa. Belajar Al-quran tidak ada kata terlambat. Bahkan yang sudah tua, mulai belajar bisa. Karena Allah sudah berjanji dalam Quran Surat Zumar ayat 17,22,32 dan 40. Dan aku mudahkan Al-Quran untuk berdzikir (peringatan) kepada-Ku. Adakah orang-orang yang mau mengambil pelajaran, belajar ya mas” cemarah Pak Muktar, yang hingga kini masih terngiang-ngiang dengan kuat. Aku harus bisa mengaji. Janjiku waktu itu……….(bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!