32.1 C
Jakarta

Cerita Cinta Berdakwah di Daerah Terpencil

Baca Juga:

Ketut Iqbal Rizal, dari namanya, kita tahu bahwa dia berasal dari Bali namun seorang Muslim. Selama 10 tahun, sejak SMP sampai selesai kuliah di Universitas Muhammadiyah Solo, ia habiskan waktunya untuk belajar agama di pesantren. Setelah itu, ia dedikasikan hidupnya dengan berdakwah di daerah terpencil.

“Saya Sudah Hampir setahun Berdakwah di daerah Katingan Hulu, Kalimantan Tengah. Alhamdulillah sekarang respon masyarakat Sudah baik. Walaupun awalnya sempat Ada penolakan,” ujarnya memulai cerita.

Ustadz Ketut Iqbal Rizal sedang memberi Taushiyah

Ketika ia datang di Masjid Muhammadiyah pertama kali, merasakan hal yang amat berbeda. Di masjid itu yang jelas Muhammadiyah, tapi amalan ibadahnya berbeda dengan yang ia pahami. “Ketika saya menjadi imam sholat Maghrib, bacaan basmalahnya saya baca sir (tidak berbunyi), ketika itu saya malah disindir dan dianggap sebagai nabi baru karena menyampaikan ajaran baru,” ujarnya melanjutkan. Peristiwa tersebut, sempat membuatnya shock.

“Sehingga Saya jatuh sakit dan ingin cepat-cepat pulang. Namun, ketika saya mendatangi majelis taklim ibu-ibu, jamaahnya sangat antusias dan memanggil saya nak. Mereka menganggap saya seperti anaknya sendiri. Hal ini membuat semangat dakwah saya bangkit kembali,” kata Ketut dengan wajah berseri-seri.

“Masyarakat maunya pendekatan kekeluargaan, bukan formal, itulah salah satu kunci diterimanya saya berdakwah di sini,” ujar ustadz Ketut berbagi kiat.

Ketut bertugas di kecamatan Katingan Hulu, yang untuk menjangkaunya harus melakukan perjalanan darat selamat 10 jam. Jarak itu bisa juga ditempuh melalui sungai dengan medan seperti arung jeram dari ibukota Katingan. Sinyal ponsel juga sulit.

Lain lagi dengan cerita Istabroqin. Ustadz asal Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat ini, awalnya tidak dianggap oleh warga setempat. Ketika itu, sempat terjadi salah komunikasi. “Sehingga selama dua bulan pertama, kegiatan saya hanya ke masjid saja,”,ujarnya bercerita.

“Ternyata teori yang saya pelajari di kampus, berbeda dengan kenyataan di lapangan. Inilah salah satu tantangan dakwah yang saya hadapi,” katanya.

“Sebagai laki-laki, setelah Lulus kuliah saya ingin segera menikah. Namun karena masih bertugas sebagai dai khusus, saya berkonsultasi dengan Ustadz Jazuli, Direktur Pondok Shobron UMS, saat bulan Ramadhan berkunjung ke Katingan. Alhamdulillah beliau mengizinkan,” ujarnya.

Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menikah dengan Miftahul Mardiyah, wanita asli Dayak Katingan yang merupakan anak tokoh Muhammadiyah setempat. “Jadi ini satu kuharap dua kudapat,” ujarnya diiringi tawa.

Pernikahan tersebut tak hanya bernilai ibadah tetapi juga memudahkan dalam berdakwah. “Alhamdulillah sekarang saya dan istri menekuni bisnis kue. Sambil tetap melaksanakan dakwah. Inilah bukti bahwa masyarakat rela hati membantu bahkan mau menjadikannya menantu,” katanya menambahkan.

Itulah cerita cinta dai Muhammadiyah yang bertugas di daerah terpencil. Tak hanya mensyiarkan Islam, tapi menggunakan pendekatan kekeluargaan untuk memuluskan jalan dakwah.

Penulis: Faozan Amar

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!