Anak kita, “bukan anak kita”.
MEMBRAN yang membatasi antara, cinta, sayang kemudian berubah benci. Seringkali tipis. Pun terhadap anak kita. Anda boleh berpendapat beda. Penjelasan gampangnya : Hari ini sayang, rindu, kangen, cinta namun setelah beberapa hari tinggal bersama kita, rasa itu kemudian turunĀ derajatnya, menjadi rasa jengkel. Tidak sampai pada batas benci memang. Kok bisa? sangat bisa, karena hati manusia bersifat fluktuatif. Naik turun emosinya. Manusia bukan malaikat, apalagi syetan atau jin.
Ketika di pondok, rasa kangen untuk bisa bertemu Rohman selalu muncul di minggu pertama. Minggu kedua, rasa itu sudah menusuk-nusuk lubuk hati untuk bisa bertemu melihat keadaanya. Sampai kadang istri uringan dengan perasaan hati ini yang terkesan cengeng dan baperan.
“Kalau gak niat anak dipondokan,ya biar dirumah terus, peluk, gendong,” kata istri satu saat. Namun kata-kata tetap saja tidak meyurutkan langkah untuk bisa jenguk dan atau tengok.Berbagai dalih dan jurus aku lakukan untuk bisa tengok. Sebenarnya kalau sudah ketemu juga tidak banyak yang diucapkan.Kadang diam seribu bahasa. Dia sibukĀ lagi dengan HP-nya. Karena penjengukan anak bisa diajak keluar. Sekedar makan di luar.
Satu hingga dua jam waktu cukup ngobrol. Tapi jika kelamaan muncul booring juga. Akhirnya dapat merembet pada suasana jengkel.si Anak diajak sharing tidak fokus. Saya jadi ingat pesan filosof Khalil Gibran; Anak kita itu bukan anak kita di zamannya. Penjelasannya anak kita akan lahir di jaman yang berbeda dengan orang tuanya. Kondisinya, tuntutannya dan tentu lingkungannya. Maka menjadi orang tua yang dewasa adalah sebuah tuntutan, agar kita sebagai orang tua tidak mudah baperan. Menyuruh anak untuk kuat, maka orang tua, mustinya harus kuat duluan. (bersambung )