27.3 C
Jakarta

Cerpen : Rembulan di Atas bukit Pajangan – 78

Baca Juga:

Mulai Dewasa, benarkah mulai longgar?

Gambar-Rembulan diatas Bukit Pajangan

Pagi belum beranjak benar. Bagaskara masih malu-malu, mengintip dari balik cakrawala. Hawa dingin menusuk pori. Jaket kesayangan yang biasa aku pake tetap juga tidak kuasa untuk menahan rasa menggigil. Sesekali rit jaket aku tarik keatas, karena reflek sering turun sendiri, dimakan usia.  Jalan Magelang masih senyap sepagi itu. Aku lirik jam baru pemberian istri, memang belum genap jam 6. Wajar, jalan propinsi itu masih cukup lengang. Aku bayangkan jika di ibu kota, katanya habis Subuh jalan-jalan sudah mulai padat merayap. Bahkan jika mau ke kantor, naik kereta atau bus, terlambat sedikit saja, bisa berabe. Resiko terlambat masuk kantor.

Disepanjang jalan pikiranku lari kemana-mana. Melompat-lompat. Bahkan menari-nari. Berkelebatan peristiwa masa lalu yang menghantarkan hingga masa kini. Baik-buruk. Susah senang. Pikiran dominan adalah bagaimana jika Rohman nanti jika banyak di rumah. Tidak lagi di pondok. Sanggupkah aku atau tepatnya kami keluarga, mengawal-nya? Melanjutkan program di pondok. Sementara aku sendiri, ngajinya masih kedodoran. Memaksa anak untuk terus dan tetap dipondok, pernah aku lakukan. Hingga akhirnya rohman dengan malas-malasan mendaftar juga di pondok alternatifnya. karena malas, setengah hati, tes-nya lewat daring, hasilnya masuk cadangan. Namun akhirnya malah diterima. Aku senang sebenarnya.
Namun sebelumnya memastikan untuk membayar bea awal, saya tanyakan lagi. Tetapnya memantapkan. Harapannya jangan sampai sudah membayar dengan bea yang tidak sedikit, di pondok ogah-ogahan, malas berujung dengan kabur. Aku bertanya tidak lewat HP atau WA,
“Aku harus ketemu Rohman langsung,” kataku dalam hati waktu itu.
“Enggaak, pak,” jawab Rohman, saat kami bertemu empat mata.
“Yakin le,?
“Yakin. Aku ingin di rumah nemenin mas,”
“Mas, bisa dengan bapak dan ibu le,”
“Gak pak,”
“Mikir biaya, kamu?”
Rohman menerawang sejenak. Aku mencoba menganalisa pikirannya.
“Gak usah mikir soal biaya, penting kamu belajar, ngaji, bapak sudah senang.”
Rohman tetap menggeleng.
“Bener ini? Soalnya, batas membayar, transfer siang ini le. Kalau mau, bapak – langsung kirim. Kalau tidak ya terus WA jawab kalau Rohman mengundurkan diri. ”
“Iya aja pak, nanti di rumah, aku pingin meneruskan program di pondok. Ngaji ya tetap,”
“Bener le?”
“Bener, pak.”
“HP?”
“Ya tambah main HP kalau capek. Untuk selingan saja. Yang utama ngajinya,”
“Hm…kalau HP-nya dibatasi, mau?
“Mau…”
Begitu sepenggal dialog di sabo siang itu. Jelang Dhuhur.
Meski aku belum mantap benar. Akhir hari itu juga, aku urungkan untuk lanjutkan Rohman mondok lagi. 3 tahun sudah cukup di bukit Pajangan itu.. Setara SMP. 15 Juz dihafal-kannya. Dalam hati, bagaimana untuk menjaga hafalan itu. Yang tidak sedikit untuk ukuranku, yang satu juz saja belum hafal.
“Besok tetap murajaah ya, le,”
“Siap,”
Namun dalam hati paling dalam, apakah akan muncul hasrat untuk lebih longgar, karena merasa besar. Jika di rumah nanti. Entah-lah. Pikiran buruk itu aku kibaskan.
Kami berpelukan. Sesaat. Haru. Aku pamit, agar Rohman bisa dhuhur di komplek pondok. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!