Kini Baru Kurasakan.
Malam itu terasa panjang. Beberapa kali aku tengok jarum jam di dinding atas magic com ruag tengah – jarum pendek seolah tak bergerak. Lama di angka 2. Jangan-jangan jam itu mati. Tapi aku tengok jam di HP, sama. Aku tengok Kakak rohman, tertidur pulas dengan selimut putihnya. Ibunya Rohman pun demikian. Mungkin capek seharian bekerja. Pekerjaan domestik memang menguras tenaga. Meski tidak kelihatan hasilnya, namun rasanya tidak pernah ada habisnya. Kok tahu? aku pernah merasakan sendiri, dua hari di rumah dengan anak2-anak, pekerjaan rumah selalu saja ada. Kalau tidak kita sendiri yang berhenti. Maka pekerjaaan itu seolah menari-nari di pelupuk mata. Biarkan mereka tertidur dalam istirahat.
Aku coba bangkit dari tidur. Setelah mengucek kedua mata, aku coba langkah kaki ke kamar belakang. Langkah gontai. Tubuhku terhuyung sesaat. Untung masih bisa menguasai diri. Usai keperluan pribadi, dalam hati terjadi 2 kenginan yang saling tarik menarik. Pertama tidur lagi atau kedua Sholat malam. Sebenarnya kaki sudah melangkah keluar dari jamban, tapi hati kecil mengatakan kuat, : mengapa tidak kamu adukan masalah itu kepada yang mempunyai solusi? Akhirnya aku balik lagi, untuk mengambil air wudhu.
“Ya Allah engkaulah yang Maha membolak-balikan hati setiap orang. Maka kuatkan keimanan kami, keluarga kami terutama anak untuk selalu di jalan-Mu. Jalan yang engkau ridhai.” jarit ku dalam hati. Karena sadar benar, meski anak kita sejak awal kita sekolah di sekolah dengan basis agama, bahkan masukkan pesentren, tetapi belum jaminan dia berada di track kebenaran, jika kita sendiri tidak berusaha mempertahankan. Terlebih jika anak kita memasuki usia SMP-SMK, para ahli psikologi menyarankan untuk orang tua, kita lebih care. lebih perhatian, lebih dekat.
Dua minggu ketika Rohman menolak atau lebih tepatnya lebih memilih sekolah umum, meski berbasis agama, saya merasakan badan terasa lungrah. Seolah keinginan untuk mewujudkan cita-cita terhalang. Jika tidak dikatakan kandas. Sebenarnya di sekolah agama inipun, di dalamnya ada pondok. Sehingga anak tidak harus pulang intens belajar agama disore dan malam hari.
“Gak mau pak. Ikut yang program reguler saja. Itu sudah pulang sore kok pak,” kata satu siang saat kami healing luar kota.
“Jika dirumah bisa nemani mas. Ngaji tetap kok pak,”
“Bener?”
“Bener, pak,”
Tiba-tiba saya ingat wejangan ustadznya Rohman, “Seburuk-buruk lingkungan, maka lingkungan di pondok akan lebih baik,” katanya satu pagi usai kami mengikuti kajian rutin lapanan di pondoknya.
Tentu kita bebas memilih dan menilainya. Benar tidaknya. Semuanya akan kembali kepada diri kita. Tapi seminggu di rumah, dalam hati aku sudah merasakan perbedaan perilaku Rohman. Ngajinya kok jadi kurang tertib. Masih terkesan disuruh-suruh. Nanti menyuruhnya dengan sedikit keras. Bertanya balik, begitu saja disuruh-suruh, diatur-atur….Tapi nyatanya kalau tidak disuruh, ya belum berajak pantatnya. Matanya masih tertuju ( bersambung )