Oleh. H.Ashari*
Malam belum begitu larut. Jam 22.05. Aku terjaga oleh tangis anakku. Istri sigap membangunkan aku. “Bangun, Mas,” istriku berulang kali sambil menggoyang-goyang tubuhku. Aku memang terkenal susah dibangunkan. Apalagi tadi seharian kerja cari relasi untuk memasang iklan, cukup menguras energy dan pikiran. Tidak cukup dihubungi lewat phone apalagi hanya sms, wa, mereka perlu dijemput, diprsentasi dan diprospek. Itupun belum tentu berhasil. Jadi hampir tidak istirahat. Hanya sebentar untuk sholat dhuhur dan ashar saja. Suara istri membuat aku terbangun.
“Aa. ayo pak, jadi naik bis mboten, jadi ke Pekalongan” anakku membantu memulihkan ingatanku. Oh,iya, malam ini kami berencana ke Pekalangan, kota Batik itu. Ada teman kerja istri yang mengundurkan diri bekerja, karena orang tuanya ingin mereka pulang untuk merawatnya. Yogya – Pekalongan terasa jauh untuk ukuran merawat orang tua juga adik-adiknya yang lima. Kebetulan mereka berdua kakak adik, bekerja dalam satu instansi. Maka Ahad pagi itu kami diundang untuk perpisahan di rumahnya di Pekalongan Jawa Tengah.
Kantornya istri katanya sepakat menyewa 2 bus besar untuk mengangkut keluarga besar sekolah tersebut. Aku sendiri tahunya mendadak. Mau gak ikut kata istri gak enak. Yah, hitung-hitung juga untuk rekreasi. Toh, kami juga jarang yang namanya plesiran. Belum tentu sebulan sekali. Tapi yang paling semangat anakku, Falah (5,4 tahun). Maklum, namanya anak, kalau dengar mau naik mobil senangnya minta ampun. Apalagi dia juga sukanya main mobil-mobilan. Kalau ditanya, kadang pingin jadi sopir bis yang besar. Katanya bisa kemana-mana gratis. Alibi itu didapat dari mana aku sendiri juga tidak tahu. Kadang-kadang aku sendiri sebagai bapaknya bingung dengan pemikiran anakku yang melebihi usia anak-anak yang lain, juga omongannya. Dan Menurutku juga kepintarannya, di TK ABA dia juara.
Keanehan yang menonjol dari Falah adalah soal merk mobil. Hampir semua merk mobil dia hafal. Dari yang sederhana, mobil pick up, tronthong, hingga avansa, xenia, alphart, jip, sedan, susuki carry sampai baleno, dia tahu. Padahal umurnya belum genap 6 tahun. Tidak jarang mobil dari kejauhan saja, asal sudah kelihatan “kepalanya” dia tahu, jenis mobil apa itu. Padahal bapaknya, aku sendiri, belum punya mobil. Ketika aku bilang cita-citaku punya mobil susuki carry, dia mengatakan itu dah kuno. “Kenapa tidak avansa atau xenia saja pak yang bagus,” katanya. Sementara kakaknya sendiri yang berusia 13 tahun tidak tahu banyak tentang jenis mobil.
***
Malam itu benar kami naik bus besar. Bus khusus pariwisata. Naik dari kantor istri akhirnya jam 11 malam. Aku masih ngantuk. Tetapi karena diminta menjadi ketua rombongan, rasa kantuk itu saya buang jauh-jauh dengan cuci muka dan makan permen. Satu bus terisi hampir 60 orang. Dari balita sampai orang tua ada. Aku mengabsennya. Setelah berdoa, bus berjalan. Bus kami di belakang dari bus pertama. Namun sejak keluar dari halaman kantor istri, perasaanku sudah tidak enak. Kalau busnya bagus, namun jalannya kok kurang nyaman. Istilah jawanya ngaddhul-gadhul. Benar juga ternyata tidak hanya aku yang merasakan, belakangku dan teman yan duduk dekat sopir merasakan hal yang sama. Bahkan kami sempat macet.
Akhirnya salah seorang teman yang kenal dengan panitia (EO) minta untuk ganti bus. Kami berprasangka baik, kepada pak sopir. Ini yang tidak beres adalah bus-nya. Mesinnya. Mungkin belum istirahat. Maklum liburan kemarin, banyak bus pariwisata yang sampai indent melayani penumpang. Kami khawatir bus ini tidak sempat mengalami perawatan, sementara jalan terus, rute yang jauh. Hingga mesin aus.
Pemintaan ganti bus disetujui. Kami berhenti agak lama menunggu kiriman bus dari Yogya. Hampir 2 jam kami menunggu dipinggir jalan yang dingin. Waktu itu aku tengok jarum jam menunjuk pukul 02.13 dini hari. Penumpang sibuk mencari kamar belakang. Sementara yang punya balita sibuk dengan anaknya. Yang dewasa segera menurunkan tas-tas rangsel yang cukup besar dari dalam bagasi dengan sigap.
“Itu busnya sudah datang,” kata Mas Suranto sang panitia, tak kalah sigapnya.
“Bus nya sama ya pak. Itu tulisannya ya sama, eh pak sopirnya masih mas-mas lho,” kata anakku, Falah nyerocos. Kok tahu kalau sopirnya masih mas-mas. Maksudnya masih muda. Padahal dia masih bertengger di belakang stir bus. Aku sendiri mengira dia sudah bapak-bapak.
“Kok tahu kalau masih mas-mas sopirnya, le ? tanyaku
“Yo tahu, topinya kaya punya Falah, sama nyopirnya lincah lho pak, pinter,” jawabnya. Hmm. Aku gendong dia untuk segera masuk ke dalam bus. Maklum untuk masuk sendiri dia belum bisa. Tinggi badannya dengan tangga naik bus hampir sama. Waktu itu, sesepuh kantor istri duduk di belakang. Maka aku dan Falah duduk di depan persis samping Mas Sopir. Sementara istri dan anakku yang pertama duduk di deret nomor 3. Aku masih bisa melihatnya. Jika mereka mau minta bantuan kepadaku. Setelah cek, absen dan berdoa kami melanjutkan perjalanan. Kami tetap diurutan ke-2 dari bus yang pertama.
Ternyata benar. Mas sopir ini masih muda.Cakep. Pakai topi kaya punya Falah. Falah yang aku pangku, seolah tidak berkedip memperhatikan mas sopir disamping. Ia kelihatan santai dan elegan. Sesekali ngobrol dengan kernetnya. Diantaranya cerita mengapa penumpang minta ganti, “ Untung aku masih tidur digarasi. Di phone mas Suranto, gak enak aku. Meski masih agak ngantuk, aku langsung siap menggantikannya,” katanya. Rupanya dia baru pulang mengantarkan rombongan wisata ke pantai Indrayanti di Gunungkidul DIY.
****
Setelah perjalanan agak panjang. Aku mencoba mengenalkan diri. Tanpa salaman, aku sebut namaku, dia mengatakan namanya Angga aslinya Semarang Jateng. Pertama kali menjadi sopir wisata ya di tempat dia bekerja. Falah yang tidak secara khusus berkenalan, ternyata merekam namanya mas sopir tadi. Mas Angga. Dengan mas Angga kami selamat sampai di Pekalongan pagi hari, hingga pulangnya lewat Kendal dan sampai di rumah jam 10 malam.
Yang membuat kami tidak habis pikir, justru nama Mas Angga dikenang oleh anakku. “Mas Angga pinter ya pak nyopirnya, klaksonnya bagus, keras, thon-thoon, tulilut-tulilut…semua pada minggir,” kata Falah berapi-api. Seminggu nama Mas Angga masih menjadi topik pembicaraan di keluarga kami. Padahal aku yakin, mas Angga tidak akan mengenal kami. Lha, baru bertemu sekali. Puncaknya, anakku minta no HP-nya Mas Angga, aku tanyakan ke Mas Suranto, punya. Malam itu Falah sms-an dengan mas Angga.
“Falah siapa ya ini, cowok apa cewek, pas ketemu dimana?” sms Mas Angga menjawab sms anakku. Penasaran dengan sms, Mas Angga gantian phone. Jadilah mereka bicara lewat udara. Layaknya mereka sudah kenal lama. Aku cekikikan mendengarnya. Hingga sekarang nomor WA Mas Angga tersimpan rapi di HP kami. Belakangan kami tahu, kalau Mas Angga pindah perusahaan bus di Semarang. Semuanya dari Wa. Sebelumnya setiap berpapasan bus dengan merk sama, anakku selalu menyebut nama Angga sebagai sopirnya. Aku mencoba memberi pengertian pelan-pelan, kalau tidak setiap bus dengan merk sama itu sopirnya juga sama. Bukan apa-apa aku khawatir kalau naluri kecilnya yang sedang mencari sosok idola terjebak kepada pemikiran yang sesaat dan bendawi.
“Kalau aku besok jadi sopir bus, boleh gak pak?” pintanya satu saat.
“Boleh saja, kenapa tidak? Tetapi sopir bus yang taat beribadah, yang soleh dan amanah,” jawabku.
“Apa hubungannya pak, sopir bus dengan taat beribadah,? Tanyanya lagi, saat kami sedang baca koran sore hari diteras rumah yang tidak begitu jembar itu.
“Ya, jadi sopir kan pergi kemana-mana, jauh-jauh mengantar orang, makanya meski tidak dekat dengan orang tua dan keluarga, kamu harus tetap menjalankan sholat lima waktu, ditambah dengan sholat sunnah, tidak boleh menaikkan harga semaunya, meskipun pimpinanmu tidak tahu, tetapi Allah Maha Tahu, nak,” jawabku kali ini lebih serius. Sementara Falah masih sibuk dengan mainan mobil-nya yang aku belikan dari Malaysia.
“Ya, ndak tho Pak. Falah tidak akan melupakan Sholat, kalau perlu musiknya di bus, Falah ganti dengan ngaji Al-quran, Pak…”
“Lho, kenapa diganti, Nak?” selidikku.
“Biar didoakan juga sama Allah, sehingga selamat. Busnya tidak mogok, kayak kemarin Lho Pak waktu ke Pekalongan itu,” jawabnya kaya anak seumuran SMP saja.
“Amin,” Jawabku kemudian aku peluk anak itu. Dia meronta.
“Kenapa bapak memelukku dan menangis,”
“Gak apa nak, bapak ingin Falah menjadi anak soleh. Menjadi apapun itu,”
“Falah pingin jadi sopir yang pinter ngaji pak,”
“Boleh-boleh, nak..”
Kali ini dia tidak meronta lagi. Merasakan hangat pelukanku. Aku ciumi jidatnya yang licin. Namun sejurus kemudian, dia melesat ke halaman jauh kembali dia asyik dengan mobil mainannya. Aku sapu air mataku dengan punggung tangan kiriku agar tidak tumpah di dua pipiku. Aku tutupi dengan koran yang tadi aku baca. Biar Falah tidak tahu bahwa bapaknya sedang menangis. Menangis bahagia. Karena sikap dan perilakunya. (Sekian)