28 C
Jakarta

CITAYAM SYNDROME ! Tauladan Atau Keedanan.

Baca Juga:

Oleh : Musytarif Pegiat Sosial /PMI

MENARA62.COM. Fenomena ciyatam, membuat saya terbayang sekumpulan sosok muda mudi yang sering saya jumpai di banyak lampu2 merah jalanan-jalanan kota di mana saya tinggal.

Dengan gaya khas mereka, bergerombol memeriahkan sibuknya arus lalu lintas. Sesekali mereka akan memainkan gitar, kecrekan, atau apapun alat seadanya untuk meminta sedikit uluran bantuan penyambung hidup.

Hanya saja, muda mudi ini tidak menetap di satu tempat. Mereka ini nomaden, berpindah tempat dari kota satu ke kota lainnya. Hanya berbekal nekat. Tidak jarang pula, harus berhadapan dengan Satpol PP karena dianggap meresahkan atau mengganggu keindahan kota.

Muda mudi ini, yang pernah saya dengar tidak semua berasal dari keluarga tidak mampu atau bukan orang yang tidak memiliki keluarga. Kelompok ini hanyalah sarana pelarian, dan kebebasan. Tempat menjauh dari segala macam pengekangan, ingin lepas dari segala macam aturan. Dan menurut mereka, jalanan adalah tempat paling strategis menjaga eksistensi dan ekspresi kebebasan itu.

Tidak jauh berbeda, munculah sekelompok muda mudi yang juga menempatkan jalanan sebagai tempat nongkrong, tempat melepas penat, tempat melepas rindu, tempat mengikat perasaan, pemikiran, pemahaman dan latar belakang yang sama. Kebetulan tempat itu bernama Citayam.

Kebetulan pula, muda-mudi tersebut melalui komunitas jalanannya, menggunakan sarana yang ada sebagai tempat menampilkan ekpresi kebebasannya melalui jejaring media sosial yang dihuni anak anak muda mudah sekali terprovokasi untuk menjadikannya viral.

Segala macam Teorema marketing dan aturan main jual beli, konsep tertinggi dalam ekonomi, seolah tidak berlaku di media sosial. Fenomena Citayam adalah bukti.

Ekspresi tanpa konsep, marketing tanpa menejemen, hanya berdasar kebebasan. Dalam logaritma media sosial untuk menemukan momentum “viral”, dalam kaidah Jawa disebut Bejo bejan…atau keberuntungan.

Inilah yang kemudian perlu diperhatikan, bahwa dalam menjaga fenomena viral, siapapun akan sangat sulit membendungnya baik secara aturan moralitas, aturan religiusitas, bahkan hukum tata negara. Karena, pada hakekatnya, semua tergantung dari cara memaknai kebebasan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!