Cream Herbal Anti Jerawat merupakan temuan dokter Puthut Mahaendro Dananjoyo. Penemuan ini diperoleh saat ia menyusun tesis pada Program Studi Magister Kimia (PSMK), Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Islam Indonesia (UII). Temuan tersebut mengantarkan Puthut Mahaendro menjadi lulusan pertama pada Program Magister Kimia UII setelah dinyatakan lulus ujian tesis, Selasa (28/12/2021).
Cream Herbal Anti Jerawat yang berupa salep ini merupakan treatment natural karena berbahan baku pala dan jintan hitam. Bahkan salep ini sudah dilakukan beberapa kali uji coba. “Hasilnya, salep ini sudah bisa membunuh bakteri dan mengurangi radang pada jerawat,” kata Puthut Mahaendro.
Puthut mengangkat judul tesis ‘Ekstraksi Kombinatif Minyak Atsiri Biji Pala (Myristrica fragrans) dan Jintan Hitam (Nigella sativa) dengan Metode Microwave Assisted Distilation serta Potensinya sebagai Agen Anti Jerawat.’ Pala memiliki zat aktif mistisin dan Jintan Hitam mengandung timofinon, sebetulnya bila dikonsumsi sendiri-sendiri sudah memiliki efek yang bagus.
Namun Puthut menggabungkan dua bahan tersebut karena memiliki senyawa yang mirip. Kemudian pemrosesannya menggunakan sistem destilasi (assisted distilation) dan bantuan microwaved sehingga hasilnya lebih bagus. “Ketika kita uji, antiinflasmi dan antibakterial hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan dikonsumsi sendiri-sendiri,” katanya.
Puthut Mahaendro yang lahir tahun 1986 ini menyelesaikan studi di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah. Kemudian melanjutkan di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan lulus tahun 2011.
Setelah lulus dokter, Puthut bekerja di perusahaan farmasi Jakarta. Ia mendapat tugas memegang produk atau obat-obatan untuk penyakit jantung. “Kerjanya memberi penjelasan tentang obat penyakit jantung kepada pegawai farmasi agar bisa memasarkannya kepada dokter-dokter dan apotek-apotek,” katanya.
Di perusahaan farmasi, Puthut hanya bertahan selama dua tahun. Kemudian ia pindah ke Klinik Kecantikan Natasha Skin Care Yogyakarta. Saat bertugas di sini, Puthut mendapatkan informasi Program Magister Kimia UII menerima pendaftaran calon mahasiswa baru. Puthut yang sudah menyenangi ilmu kimia sejak duduk di bangku SMA ingin memperdalamnya di Magister Kimia UII.
“Saya sudah kenal kimia sejak dari SMA. Menurut saya, kimia merupakan basic dari semua science. Kalau kita kenal basic-nya, akan lebih mudah mengerjakan ilmu yang lain-lain. Ilmu kimia terkoneksi pada semua cabang ilmu,” kata Puthut.
Selain alasan tersebut, Puthut yang berasal dari keluarga dokter juga ingin memiliki keahlian lain dan tidak sama dengan kakak serta adiknya. Kakak dan adiknya sudah mengambil pendidikan dokter spesialis sehingga Puthut mencari keahlian yang berbeda. Tempat kerjanya di Klinik Kecantikan Nathasa Skin Care juga memberikan atmosfir untuk mengikuti pendidikan di Magister Kimia UII.
Puthut masuk Magister Kimia UII bulan Juli 2019. Ia sempat mengikuti kuliah secara luar jaringan (Luring) atau tatap muka selama satu semester. Kemudian merebaknya Covid-19, kuliah dilaksanakan secara dalam jaringan (Daring). Bahkan Klinik Natasha Skin Care, tempat Puthut bekerja juga ditutup sementara.
Kemudian Puthut kembali ke Semarang dan mengikuti kuliah secara Daring. Selama di Semarang, Puthut juga bekerja sebagai dokter di Klinik kakak atau adiknya. “Saya dapat kuliah offline itu hanya satu semester,” katanya.
Saat kuliah secara online, Puthut merasakan kurang mendapatkan pengalaman. “Kalau pas offline itu enak, kita bisa ketemu profesor dan bisa sharing secara langsung. Teman-teman juga enak, mereka welcome semua. Atmosfirnya sangat mendukung. Tidak usah khawatir dan kalau ada masalah tinggal bilang sama administratornya (Mas Hakim) sehingga bisa terpecahkan semua,” ujarnya.
Proses pembuatan Cream Hebal Anti Jerawat, Puthut menggunakan bahan pala dan jintan hitam. Ia menggunakan microwave assisted distillation untuk mengekstrak minyak atsiri dari kedua bahan tersebut dan dipelajari dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Central Composit Design (CCD) digunakan untuk menilai pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar timokuinon dan miristisin.
Selanjutnya, komposisi kimia minyak atsiri diteliti dengan menggunakan Gas Chromatografv Mass Spectrometry. Penelitan ini juga membandingkan efektivitas antara distilasi uap dan microwave assisted distillation terhadap efisiensi setiap prosedur.
Minyak atsiri yang diperoleh diukur efek antiinflamsinya dan diubah menjadi sediaan salep 10%. Aktivitas antiinflamasi dilakukan dengan metode stabilisasi membran sel darah merah yang diinduksi hipotonisitas. Aktivitas antibakterial salep diukur dengan metode difusi cakram.
Dalam penelitian ini didapatkan hasil opumasi kondisi distilasi pada suhu 124 derajat Celsius selama 120 menit. Microwave assisred distillation menghasilkan rendemen yang tidak berbeda signifikan dengan distilasi uap dengan waktu yang lebih singkat dan lebih hemat energi.
Senyawa miristisin dan timokuinon yang didapat juga lebih tinggi dengan microwave assisted distillation. Salep dari minyak atsiri kombinasi ini memiliki efek antiinflamasi yang tidak berbeda signifikan dengan natrium diklofenak dengan 65.78% daya hambat lisis eritrosit.
Selain itu, memiliki efek antibakterial terhadap Propionibacterium acnes yang tidak berbeda signifikan dengan klindamisin 1% dengan luas zona hambat 17.67 mm. “Minyak atsiri kombinasi pala dan jintan hitam ini berpotensi sebagai agen anti jerawat,” tandasnya.
Dalam proses ekstrasi, Puthut memodifikasi peralatan dengan bantuan magnetron mengunakan microwave. Magnetron ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan partikel secara cepat, senyawa yang keluar dari pala dan jintan hitam lebih banyak. Sehingga cara ini dinilainya lebih efisien.
“Proses ini lebih ramah lingkungan. Mengapa? Pertama, waktu lebih cepat. Sehingga kebutuhan listrik (watt) lebih kecil. Kedua, efek pembakaran CO2 (Carbon Dioksida) yang membuat pemanasan global jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan penyulingan uap. Ini akan terasa manfaatnya bila dilakukan pada skala industri. Pemanasan global berkurang, pemanfaatan energi (cost) lebih ringan,” ujarnya. (*)