SOLO,MENARA62.COM – Istilah Brain Rot atau kerusakan otak kini menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan, terutama di era digital. Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Bayu Suseno, S.Psi., M.Psi., Psikolog., menjelaskan fenomena ini dari sudut pandang psikologis dalam sebuah wawancara, Kamis (26/12/2024).
“Brain Rot mengacu pada penurunan fungsi mental dan kognitif akibat paparan konten digital, khususnya konten pendek seperti reels atau video pendek di media sosial. Kondisi ini terjadi karena otak cenderung ‘lelah’ menerima banyak stimulus dalam waktu singkat, sehingga memengaruhi kemampuan konsentrasi dan berpikir kritis,” jelas Bayu.
Dia menambahkan bahwa meskipun istilah ini mulai populer dan diakui dalam kamus Oxford, secara medis maupun psikologis, Brain Rot belum diklasifikasikan sebagai gangguan resmi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
“Namun, fenomena ini berkaitan erat dengan adiksi teknologi dan gejala psikologis lainnya, seperti penurunan atensi, kesulitan berpikir kritis, hingga emosi yang sulit dikendalikan,” katanya.
Bayu menyebutkan bahwa salah satu dampak utama dari Brain Rot adalah kebiasaan memproses informasi secara cepat tanpa mendalam.
“Kita cenderung mencari informasi singkat dan instan. Hal ini mengurangi kemampuan berpikir kritis dan memperburuk atensi jangka panjang,” ujarnya.
Selain itu, paparan konten yang terus-menerus berubah dalam hitungan detik dapat membuat otak bekerja lebih keras untuk memproses informasi, yang akhirnya menyebabkan kelelahan mental. Hal ini juga berdampak pada anak-anak dan remaja yang sering terpapar video pendek, sehingga lebih mudah mengalami tantrum atau gangguan emosi lainnya.
Bayu menjelaskan beberapa tanda yang perlu diwaspadai: (1) Penurunan atensi, terutama kesulitan fokus pada informasi yang lebih panjang, (2) Penurunan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis informasi, (3) Kelelahan mental akibat konsumsi konten yang terlalu cepat dan bervariasi, (4) Kesulitan mengontrol emosi, terutama pada anak-anak yang terlalu sering terpapar gadget.
Untuk meminimalkan dampak Brain Rot, Bayu merekomendasikan langkah-langkah berikut: (1) Batasi waktu layar: Kurangi durasi penggunaan media sosial dan gadget, terutama yang mengonsumsi konten pendek, (2) Pilih informasi mendalam: Biasakan membaca atau menonton konten yang memberikan pemahaman menyeluruh, bukan hanya informasi singkat, (3) Latih berpikir kritis: Cari dan analisis informasi dari berbagai sudut pandang untuk melatih otak bekerja secara optimal, (4) Promosikan aktivitas offline: Lakukan aktivitas yang melibatkan interaksi langsung atau penggunaan otak secara aktif, seperti membaca buku atau berdiskusi.
“Semua orang, baik anak-anak maupun dewasa, perlu membiasakan diri untuk mengakses informasi yang lebih mendalam. Ini penting untuk menjaga kesehatan mental dan meningkatkan kemampuan kognitif di era digital,” tutup Bayu.
Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat lebih bijak dalam mengkonsumsi konten digital agar tidak terjebak dalam dampak negatif Brain Rot. (*)