Sejak dana 2015, pemerintah telah menggelontorkan dana desa. Pada 2015, disalurkan sebesar Rp20,76 triliun. Setahun kemudian, jumlah itu ditambah menjadi Rp 46,98 triliun. Pada 2017, anggarannya dinaikkan lagi menjadi Rp 60 triliun. Bahkan, tahun 2018 akan bertambah dua kali lipat menjadi Rp120 triliun.
Menurut Mukhaer Pakkanna, Ketua Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (AFEB) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), “Besaran gelontoran dana itu tentu makin menggiurkan. Jika tidak diawasi dengan optimal, akan menjadi biang bancakan baru. Korupsi makin menjadi virus yang terdistribusi hingga ke desa-desa. Aparat desa kalau tidak hati-hati akan memenuhi hotel prodeo”.
Menanggapi banyaknya kepala daerah dan kepala desa yang terlibat korupsi dana desa, Mukhaer menyatakan, ada tiga akar masalahnya yakni: pertama, ketidaksiapan mental dan moral aparat desa menerima dana miliaran Rupiah. Kedua, pelaksana, tenaga pendamping dan pengawas penyaluran dan pengelolaan dana desa berkongkalikong. Relasi pelaksana, tenaga pendamping, dan pengawas sulit dibedakan karena dicurigai berasal dalam satu padepokan yang sama. Ketiga, masih banyaknya celah hukum yang tidak sinkron dari sisi kebijakan.
Kendati sudah ada SKB antara Menteri PDIT, Mendagri dan Menkeu, dari sisi pelaporan dan akuntabilitas akuntansinya, belum sepenuhnya tersosialisasi ke aparat desa.
Diakui Mukhaer Pakkanna, sejak awal pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah muncul kecurigaan terhadap potensi bancakan dana desa itu. Tidak mengherankan, jika laporan KPK menyebutkan, tiga tahun program ini berjalan, laporan dugaan penyelewengan dana desa ke lembaga antirasuah telah menembus 362 laporan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan pada aspek regulasi, tata laksana, pendampingan, pengawasan, dan sumber daya manusia. “Dalam konteks pendampingan dan pengawasan harus berasal dari tenaga-tenaga yang handal dan kompeten serta tidak boleh berasal dari padepokan yang sama dengan pelaksana”, usul Mukhaer Pakkanna yang juga Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta.
Selain itu, kebijakan ini juga harus mengundang pihak Perguruan Tinggi, yang relatif memiliki keahlian, kompetensi, sumberdaya manusia, dan jaringan sebagai tenaga pendamping dan pengawas. “Semuanya harus transparan, tidak semata hanya membuat laporan yang terpampang di balai desa dan situs desa, tapi sejak proses hulu hingga hilirnya harus terbuka. Siapa pelaksana, siapa pendamping, siapa pengawas, harus jelas kerja dan manfaatnya. Sehingga tidak muncul fitnah yang bisa mengorbankan masyarakat desa. Kasihan anggaran sudah naik Rp60 triliun, tapi penurunan kemiskinan desa hanya 0,12 persen. Itu tidak adil”, papar Mukhaer