24.5 C
Jakarta

Dana Desa, Jadi Amunisi Penanganan Stunting di Daerah

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo Sp.OG (K) berharap penanganan stunting di tingkat desa smakin baik. Mengingat saat ini dana desa yang dialokasikan pemerintah pusat langsung ke desa diarahkan juga untuk penanganan stunting.

Hal itu dikemukakan dokter Hasto di depan 32 Jurnalis dalam acara rutin dwi mingguan  Forum Jurnalis yang diselenggarakan BKKBN, Jumat (22/9/2023), di Resto Zam Zam, Jakarta.

“Uang sudah disediakan. Tenaga juga sudah disediakan. Sistem sudah ada. Mudah-mudahan hasilnya (penanganan stunting) baik,” ujar Hasto pada diskusi dengan Forum Wartawan Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana (Forta Bangga Kencana).

Hasto mengatakan salah satu prestasi kepala daerah  diukur dari keberhasilannya menangani stunting di wilayahnya. Stunting sendiri menjadi tematik dalam indeks prestasi reformasi birokrasi.

“Kenapa mereka takut, sebetulnya takut tidak berprestasi. Pejabat politik, tidak prestasi akan berpengaruh pada elektoral. Maka, mereka  takut diumumkan gagal.  Sementara Pj. Gubernur yang tidak bisa turunkan stunting, bisa saja dicopot  jabatannya,” jelas Hasto.

Sebagaimana diketahui, stunting disebabkan oleh faktor jauh, menengah, dan dekat. Bila faktor jauh teratasi dengan baik, menurut Hasto,  70 persen akan berperan mengatasi stunting. Faktor jauh dimaksud adalah lingkungan,  jamban hingga  air bersih. “Namun mindset juga harus bagus,” tandas Hasto.

Ia juga mengingatkan agar keluarga mengontrol betul penggunaan keuangan. “Dari pada beli motor, kalau orangnya waras, mindsetnya bagus, barang-barang tidak penting. Lebih penting  lingkungan baik, punya mindset yang baik terhadap makanan. Sadar betul pentingnya protein hewani (bagi bayi),” ujar Hasto.

Diingatkan oleh Hasto agar ibu-ibu, sebagian bermukim di desa, sebaiknya menghindari anak-anak dari makanan yang tidak bergizi. Salah satunya cilok yang isinya hanya tepung dan penyedap rasa.

“Saya pernah cek dapur rumah keluarga risiko  stunting. Ternyata hanya ada nasi sama mie. Belum lagi kawin pada usia muda. 0Mindset faktor jauh bila bagus, ternyata mampu cegah stunting meski mereka tidak kaya raya,” jelas Hasto.

Dalam kunjungan ke lapangan, dokter Hasto memaparkan pernah berdialog dengan seorang ibu yang memiliki anak  usia 1,3 bulan. Namun ibu itu juga lagi hamil enam bulan. Pendidikannya S2. “Si ibu tidak menjaga jarak kehamilan. Kata ibu itu, sekalian repot,” ungkap Hasto.

Mindset atau perilaku hidup seperti itu, kata Hasto, berpotensi memunculkan stunting pada anak. “ASI tidak produktif gara-gara hasilkan hormon estrogen progesteron saat ibu hamil. Akibatnya, produksi ASI tidak keluar. Sehingga ASI bagi kebutuhan anak yang sudah lahir putus, tidak sampai diberikan selama 24 bulan.”

“Sementara puting yang diisap anak  akan mengeluarkan hormon prolaktin di otak ibu dan terjadi kontraksi di rahim ibu. Akibat kontraksi, bayi akan terjepit dalam kandungan, aliran oksigen tidak lancar. Bayi akan tersiksa. Belum lagi ketika bayi lahir, si kakak akan cemburu luar biasa, anak tersebut akan stres,” jelas Hasto.

“Banyak orang berpendidikan S2 mindsetnya salah. Melalui rekan media, harapan saya, mindset yang salah itu bisa diluruskan,” kata Hasto.

Jadi Beban Negara

Stunting akan memicu penyintas stunting  mudah terkena penyakit degeneratif di usia tua. Seperti diabetes millitus. Menurut Dr. dr. Rio Kristian Utomo, MH.Kes, CH, CMH, CHt, CSTMI, Konsultan  Ahli Humas dan Media Center BKKBN, akibat penyakit diabetes millitus negara harus menanggung biaya perawatan sekitar Rp20 triliun. “Jadi,  anak stunting nantinya menjadi beban negara,” ungkap Rio Kristian.

Pada bagian lain penjelasannya, dokter Hasto menandaskan bahwa BKKBN berencana mengukuhkan wartawan sebagai Duta Stunting. “Teman-teman media nanti jadi Kakak Asuh Anak Stunting. Nanti ditandemkan dengan perusahaan dalam gerakan percepatan penurunan stunting,” jelas Hasto.

Hasto juga meminta dukungan pers nasional  dalam menggerakan calon pengantin (catin) untuk mendaftarkan diri di aplikasi elsimil (elektronik siap nikah, siap hamil) tiga bulan sebelum menikah.

Dengan tercatat dan terdatanya mereka di aplikasi tersebut, pemerintah bisa secepatnya  melakukan intervensi manakala catin memiliki kondisi  yang belum prima untuk hamil. Mereka akan “disehatkan” terlebih dulu sehingga tidak melahirkan anak stunting. Seperti pemberian tablet tambah darah agar Hb nya naik.

Di sisi lain, bila anak yang belum usia dua tahun  berpotensi stunting, Hasto meminta agar anak-anak tersebut  harus segera ditangani. “Apapun ditempuh agar proteinnya masuk ke dalam tubuhnya. Misal, mie dikombinasi dengan telur. Dicampur ikan atau dicincang. Apapun caranya harus ditempuh supaya bayi mendapat Makanan Pendamping ASI,” ujar Hasto.

Menjawab wartawan terkait dana stunting di desa yang dialokasikan untuk pembangunan pagar,  Hasto mengatakan pemerintah mengalokasikan anggaran stunting dari APBN sebesar Rp30 triliun. Sebanyak RP 20 triliun dialokasikan untuk program Keluarga Harapan. Sementara Rp 2 triliun  dibagi  12 kementerian/lembaga.  BKKBN mendapat porsi Rp 12 miliar, dialokasikan untuk gaji Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang jumlahnya ada 600 ribu orang.

Forum Jurnalis ini  juga dihadiri Direktur Bina Kualitas Pelayanan KB  BKKBN, Martin Suanta; Kepala Biro Umum dan Humas BKKBN, dr. Victor Palimbong; Plt. Direktur KIE BKKBN, Dr. Dadi Ahmad Roswandi, M.Si.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!