28.6 C
Jakarta

Dapur Tua Rumah Mewah Di Kawasan Menteng

Baca Juga:

Jakarta, Mei 1998. Kota itu mungkin seperti bara yang siap meledak. Di jalan-jalan, mahasiswa berorasi menuntut reformasi hampir setiap hari. Asap hitam mengepul dari gedung-gedung yang dibakar massa. Pemerintah goyah, dan ketakutan merayap di antara dinding rumah-rumah tua di Menteng. Malam itu, di sebuah rumah tua mewah di kawasan itu, seorang wanita terbangun tiba-tiba.

Setengah tiga dini hari.

Ia terjaga dengan perasaan tak nyaman. Dari dapur, terdengar suara sesuatu jatuh—mungkin kursi yang tersenggol. Kemudian sunyi. Suasananya bahkan terlalu sunyi, untuk keadaan setelah ada benda yang jatuh. Ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur. Kosong. Suaminya tidak ada. Dengan langkah hati-hati, ia menyusuri lorong gelap menuju dapur. Di sana, berdiri sosok pria dalam balutan piyama lusuh, membelakangi lemari dapur. Ia berusahan menekan saklar untuk menyalakan lampu.

“Kau belum tidur?” tanyanya.

Suaminya menoleh perlahan. Di atas meja, tampak piring berisi roti, pisau masih tergeletak di sampingnya, dan remah-remah berserakan di atas taplak. Wanita itu tahu, dan ingat dengan jelas. Dia sebelum tidur, telah membereskan barang di meja itu, bersih.

“Sepertinya ada sesuatu di sini,” gumam pria itu, matanya menyapu sekeliling dapur.

“Aku juga mendengar sesuatu.” Wanita itu memperhatikannya. Cahaya lampu membuat kerutan di wajah suaminya semakin dalam dan menambah kerentaan. Usia enam puluh tiga tahun—usia yang memang tidak lagi muda.

Ia pun sadar, dirinya juga tampak tua dalam balutan piyama lusuhnya. Waktu telah mengguratkan jejak perjalanan hidupnya dengan jelas.

“Kau seharusnya memakai alas kaki. Lantai dingin bisa membuatmu sakit,” ujar pria itu.

Wanita itu diam. Ia tahu suaminya sedang menyembunyikan sesuatu. Setelah tiga puluh sembilan tahun menikah, ia bisa mengenali setiap kebohongan yang dilakukannya.

“Pasti ada sesuatu di luar,” gumam pria itu lagi.

“Angin,” jawab sang istri akhirnya. “Mungkin angin. Ah angin malam di musim yang panas.”

Ia buru-buru merapikan meja, membersihkan remah-remah roti seperti menghapus jejak yang harus disembunyikan. Setelah beberapa saat, ia mematikan lampu dan menarik lengan suaminya.

“Ayo tidur. Sudah malam. Istirahatlah.”

Mereka kembali ke kamar dengan langkah hati-hati di atas lantai yang dinginnya menyergap melalui telapak kaki yang telanjang.

Saat berbaring, suaminya bergumam pelan, “Kukira suara itu berasal dari dapur.”

“Mungkin memang talang air yang tertiup angin,” sahut istrinya, berpura-pura setuju. Namun, ia tahu suaminya berbohong. Ia masih mengingat, namun ingatan itu sudah semakin memudar dengan apa yang pernah terjadi di dapur ini. Ketika rumah ini masih ramai, ketika rumah ini masih menyewakan pavilyun samping pada mahasiswi yang sedang kuliah di daerah Salemba.

Meski berusaha mengingat apa peristiwa detailnya, namun ia lupa. Tapi merasa tahu persia apa yang terjadi di dapur ini dikala malam di pertengahan bulan Juli, ketika sedang liburan semester.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang membeku. Suara anginpun seperti tak terdengar. Sunyi. Lalu, samar-samar, ia mendengar suara kunyahan pelan di sampingnya. Pria itu makan dengan hati-hati, seolah berusaha agar tak terdengar. Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya, pura-pura terlelap tidur. Ia berusaha untuk tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan suaminya.

Keesokan malamnya, suaminya pulang lebih lambat dari biasanya. Ia membawa lebih banyak roti. Empat potong. Biasanya ia hanya makan tiga, itupun sudah dirasakannya terlalu banyak.

“Kau boleh makan lebih banyak malam ini,” katanya, menggeser piring menjauh. “Aku tak terlalu suka roti ini.”

Wanita itu menatapnya dengan kosong dan tak mengerti. Pria itu menunduk, menatap piring tanpa berani menatapnya. Namun ia tahu dan mengerti, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.

Di luar, Jakarta terus bergolak. Di luar kawasan Menteng yang nyaman dan damai. Suara tembakan kadang terdengar dari kejauhan. Keriuhan dan ramainya mahasiswa berteriak turun ke jalan, menuntut perubahan, hanya terdengar sayup. Suara itu baru terdengar jelas, ketika menyalakan televisi.

Dikabarkan pula, beberapa dari mereka menghilang, seperti nama-nama yang tidak lagi muncul di koran. Mereka menghilang, tanpa jejak. Ah… kemana mereka. Mungkin juga ada cucuku yang biasanya cukup rajin untuk muncul di rumah yang semakin sepi ini.

Dan di rumah itu, di dapur yang sunyi, sebuah rahasia perlahan terbentuk—tersembunyi di antara remah-remah roti gabin yang gurih, dan keheningan malam. Rahasia yang ingin disimpannya diam-diam, meski ia tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!