Oleh: Marfuah Panji Astuti, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Di dunia modern kebutuhan akan big data sangat vital dan tak terhindarkan. Semakin lengkap data yang dimiliki, maka akan semakin komprehensif keputusan yang diambil.
“Big data berfungsi sebagai sumber ‘pemahaman yang krusial di era digital’,” (Andrejevic 2014, 1675).
Tak bisa dihindari, ada ketimpangan dalam mengakses/memperoleh data yang disebut “Data Asymmetries”. Di mana salah satu pihak bisa mengakses/mengumpulkan data yang lebih banyak dibanding pihak lain. Menurut Boyd dan Crawford, kurangnya akses independen terhadap big data mengakibatkan konstelasi yang bermasalah antara ‘aktor kaya data’ dan ‘aktor miskin data’ (2012, mis. 674).
Kasus ketimpangan untuk mengakses big data atau data asymmetries juga terjadi di Indonesia. Hal ini terlihat nyata pada lesunya perdagangan di Pasar Tanah Abang yang pernah menjadi pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Kurangnya pemahaman dan sulitnya pedagang mengakses big data konsumen, akhirnya membuat mereka tak mampu bersaing di saat market place dengan kemampuan mengumpulkan data yang sangat luar biasa, dan menjadikannya senjata untuk terus mengikuti algoritma kebutuhan konsumen.
Kemampuan mengumpulkan/mengakses big data ini juga digunakan oleh advertising agency untuk terus “mengejar” calon pembeli melalui iklan-iklan yang sesuai dengan algoritma yang didapat dari bermacam platform sosial media. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan yang semakin memukul pelaku usaha kecil yang tidak bisa terakses dengan iklan maupun big data yang bisa digunakan untuk menganalisa kebutuhan calon konsumennya.
DATA PHILANTROPY SEBUAH SOLUSI
Kondisi “Data Asymmetries” memunculkan gagasan tentang “Data Philantropy”, yakni sebuah insentif moral untuk berbagi big data. Aksesibilitas publik tidak hanya dipandang sebagai masalah nilai ekonomi, tetapi sebagai kontribusi untuk kebaikan publik.
Dalam Forum Ekonomi Dunia 2011, Kirkpatrick (atas nama UN Global Pulse) mengeluh tentang semakin banyak big data yang diproduksi setiap hari, namun hanya tersedia untuk sektor swasta, dan hanya digunakan untuk meningkatkan pendapatan’ (Kirkpatrick 2011). Akibatnya, potensi big data yang dapat digunakan untuk kebaikan publik diabaikan. Karenanya, ia mengusulkan gagasan ‘filantropi data’, yakni berbagi big data yang dihasilkan.
Dalam Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat, disampaikan bahwa big data bisa sangat bermanfaat untuk membantu sesama dalam kegiatan berbagi/sosial. Big data bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi lebih dalam mengenali perilaku dan kebutuhan masyarakat. Melalui insight tersebut, organisasi dapat merancang program yang lebih sesuai dan meningkatkan akuntabilitas serta transparansi dalam pengelolaan dana.
Melihat adanya fenomena data asymmetries, harus ada sistematika yang lebih adil dalam mengakses/mengumpulkan big data. Untuk mengatasi ketimpangan atau data asymmetries tersebut, salah satunya melalui data philantropy, yakni insentif moral untuk berbagi big data yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

