Oleh: Pedri Kasman
Presiden Joko Widodo baru saja datang dan memberi sambutan di pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Ambon-Maluku pada hari Jum’at (24/2/2017) yang lalu. Pertemuan Jokowi dengan Muhammadiyah ini adalah yang kesekian kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Semenjak munculnya kisruh yang diawali dengan kasus penistaan agama Islam oleh Ahok, Jokowi memang rajin mendatangi atau mengundang Muhammadiyah. Demikian juga dengan NU dan MUI serta ormas lainnya. Dapat ditangkap pesan bahwa tentu sebagai Presiden, Jokowi ingin meredam gejolak yang sedang timbul di masyarakat.
Di setiap pertemuan itu pula Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir dan pimpinan Muhammadiyah lainnya menyampaikan gagasan dan pesan kebangsaannya. Inti pesannya adalah agar pemerintah segera membuktikan komitmennya untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah bangsa ini, baik keadilan di bidang hukum, keadilan ekonomi dan sebagainya.
Salah satu putusan Tanwir Muhammadiyah yang dibacakan dalam penutupan kemaren (Minggu, 26/2/2017) adalah menelorkan sebuah Resolusi Kebangsaan yang disebut dengan *”Resolusi Ambon tentang Penguatan Kedaulatan dan Keadilan Sosial”*. Poin terakhir dari Resolusi itu lebih kurang berbunyi: “Pemerintah harus tegas dan percaya diri melaksanakan kebijakan ekonomi yang pro rakyat kecil, menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, mengelola sumberdaya alam dengan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menata sistem kepartaian yang lebih aspiratif terhadap masyarakat, mencegah dominasi kelompok tertentu yang dengan kekuatan politik, finansial dan jaringan telah mendikte praktik penyelenggaraan negara. Negara tidak boleh takluk oleh kekuatan pemodal asing maupun dalam negeri yang memecah belah dan memporakporandakan tatanan negara demi melanggengkan kekuasaannya. Untuk itu, pemerintah harus mendorong masyarakat madani berperan lebih luas sebagai kelompok kritis, penyeimbang dan kontrol atas jalannya pemerintahan dan mitra strategis dalam memperkuat kedaulatan negara dan mewujudkan keadilan sosial”.
Karena ini merupakan keputusan Tanwir yang forum musyawarah tertinggi kedua di Muhammadiyah setelah Muktamar, maka ia merupakan keputusan organisasi yang bersifat mengikat bagi Muhammadiyah. Sekalipun isinya lebih merupakan pesan kebangsaan untuk dilaksanakan oleh penyelenggara negara, tetapi tersirat bahwa Muhammadiyah harus mengawal keputusan ini. Artinya jika isi resolusi itu diabaikan maka sangat mungkin Muhammadiyah akan mengambil langkah-langkah berikutnya.
Jokowi dengan pemerintahannya dituntut bergerak cepat untuk membuktikan bahwa pemerintah memang hadir untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan sebaliknya malah memfasilitasi kemudahan-kemudahan bagi segelintir orang, terutama pemilik modal.
Dalam konteks kondisi kekinian terutama yang berkaitan dengan kasus yang melibatkan Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama, Jokowi betul-betul harus dengan tegas berada pada posisi MENEGAKKAN KEADILAN. Proses hukum yang sedang berjalan tidak boleh sedikitpun diintervensi dengan cara apapun. Ahok yang sudah berstatus TERDAKWA sudah semestinya tidak lagi difasilitasi oleh negara, karena hal itu jelas-jelas mencederai rasa keadilan. Karenanya Jokowi harus segera memberhentikannya sementara dari jabatan gubernur sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Kebisingan yang ditimbulkan oleh ucapan seorang Ahok telah menguras energi bangsa ini, telah menghabiskan miliyaran biaya negara. Belum lagi social cost (biaya sosial) yang ditimbulkannya. Ancaman keretakan bangsa tak boleh diabaikan hanya untuk kepentingan jangka pendek pemilik modal dan pemilik kuasa.
Jika pesan-pesan kebangsaan itu tidak direalisasikan oleh Jokowi dengan jujur dan komitmen tingggi, maka tidak ada artinya kehadiran beliau di Muhammadiyah, di NU, MUI dan ormas-ormas lainnya itu. MENEGAKKAN KEADILAN itu adalah sangat mudah bagi seorang presiden yang memiliki kuasa dan segala perangkatnya jika ada KEINGINAN.
Semoga ! (Pedri Kasman, Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah)