29.8 C
Jakarta

Daya Beli Nasional, Instrumen Penting Pengembangan Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengingatkan daya beli nasional (purchasing power) merupakan salah satu instrumen penting dalam pengembangan teknologi dan memajukan ekonomi berbasis pengetahuan. Karena itu, pemerintah sudah seharusnya mengelola daya beli nasional ini secara bijak untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional.

Hal tersebut disampaikan Pontjo saat memberikan kata pengantar pada FGD bertema Daya Beli Nasional Domestic Purchasing Power) untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy) yang digelar secara virtual, Rabu (9/3/2022). Diskusi serial ini merupakan hasil kerjasama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas.

“Saya yakin, semua negara pasti menggunakan purchasing power sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya,” kata Pontjo.

Ia memberikan contoh Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Donald Trump (2017-2021) yang menerapkan kebijakan “America First” dengan aturan turunannya “buy American and hire American”. Kebijakan Trump ini, dibuat untuk melindungi kepentingan nasionalnya terutama kepentingan para pekerja dan keluarga Amerika untuk meningkatkan kesejahteraan.

Bagi Pontjo, purchasing power menjadi isu strategis yang harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah selain problem ekosistem inovasi di tengah terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi (Knowledge Based Economy).

“Dalam pengelolaan daya beli nasional, kita masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik yang menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dan lainnya. Salah satu persoalan besar yang masih kita hadapi adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan di berbagai sektor,” lanjut Pontjo.

Dari pengalaman beberapa Negara yang maju dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, kartel dan mafia seperti ini jelas Pontjo, hanya bisa dilawan dengan penguasaan teknologi sehingga ruang dan waktu geraknya dapat diperkecil. Dan untuk pengembangan teknologi harus didorong dengan pengelolaan daya beli nasional secara bijak dan tepat.

Karenanya, daya beli nasional harus terus diperkuat dan diberi haluan atau diarahkan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan. Penggunaan daya beli nasional menjadi kunci bagaimana bangsa Indonesia mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri dan berdaulat untuk kepentingan nasional. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi penguatan daya beli nasional yang berpihak kepada kepentingan nasional termasuk untuk mendorong pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. “Jangan sampai daya beli nasional justru membunuh produksi kita sendiri,” tukasnya.

Pemerintah diakui Pontjo memang telah menerapkan kebijakan “substitusi impor (import substitution)” 35 % atau setara dengan Rp 152 triliun di tahun 2022 untuk mengurangi ketergantungan impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pengendalian impor untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri tumbuh dan berkembang guna meningkatkan daya saing bertarung di persaingan 4 global.

Niat pemerintah melalui kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah domestik pada industri ini, lanjut Pontjo layak diapresiasi. Meskipun demikian, mengingat kebijakan substitusi impor mendapat proteksi dengan berbagai pengaturan (lisensi, pengenaan tariff maupun hambatan non-tarif), tidak mustahil program ini menjadi incaran pemodal pemburu rente yang tentu akan merugikan kepentingan nasional kita. Oleh karena itu, strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya.

Untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan yang mandiri dan berdaya saing, kata Pontjo, harus didukung pula dengan perubahan kultur menyangkut pola pikir dan perilaku. “Dari sisi pelaku usaha, mentalitas kebanyakan pengusaha kita yang ingin “serba instan, jalan pintas, dan cari gampangan” perlu bertransformasi menjadi “usahawan inovatif’ yang berkontribusi dalam mengembangkan inovasi teknologi nasional,” jelasnya.

Sedangkan di sisi masyarakat, perlu ditumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap produk-produk dalam negeri. Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh Jepang yang masyarakatnya sangat loyal dan bangga dengan barang-barang buatan negara mereka sendiri, sehingga nyaris anti dengan produk-produk impor. Dengan mental kultural seperti ini, manfaat daya beli nasional akan dinikmati terutama oleh bangsa sendiri dan bukan oleh bangsa atau negara lain.

Rendahnya Inovasi

Dalam kesempatan tersebut Pontjo juga membahas tentang rendahnya penguasaan teknologi dan inovasi bangsa Indonesia. Hal ini terjadi salah satunya karena berlimpahnya kekayaan alam Indonesia.

Gustav Papanek (2014) menyebut karena kekayaan alam yang berlimpah, membuat Indonesia terlena sehingga tertinggal untuk mengembangkan teknologi yang sering disebut sebagai “Penyakit Belanda” (Dutch Disease). Bahkan, Richard Auty (1993) menyebutkan bahwa negara-negara dengan kekayaan alamnya seperti Indonesia mengalami paradoks “kutukan sumber daya alam (resources curse).

Tentu Indonesia kata Pontjo, tidak boleh lagi terlena dengan kekayaan sumberdaya alamnya, dan demi kemandirian (kedaulatan) dan kemakmuran bersama sudah seharusnya bangsa Indonesia mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy).

“Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan,” jelasnya.

Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat diketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga internasional. Diantaranya adalah belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan “triple-helix” antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai, sehingga sering kali hasil-hasil riset 3 tidak terhilirisasi dengan baik bahkan seringkali masuk ke dalam lembah kematian inovasi.

Selain Pontjo Sutowo, turut memberikan kata pengantar pada FD adalah Prof. Ir. Panut Mulyono(Ketua Forum Rektor Indonesia), Prof. Satryo Soemantri Brojonegoro (Ketua Umum AIPI) dan Mardani H. Maming (Ketua BPP HIPMI).

Adapun narasumber FGD adalah Prof.Didin S. Damanhuri, Guru Besar IPB University, Ninasapti Triaswati Ph.D, Ekonom Universitas Indonesia dan Amalia Adininggar Widyasanti, ST, MSI, M.ENG. PH.D, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/BAPPENAS.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!