Hutan. Kata ini sering kita asosiasikan dengan kesegaran, keanekaragaman hayati, dan ketenangan. Ia adalah “paru-paru bumi” sekaligus ”spons raksasa” yang diam-diam menjalankan fungsi vital bagi kelangsungan hidup kita. Namun, di balik peran maha penting itu, laju deforestasi—penghilangan tutupan hutan secara permanen demi pertanian, pertambangan, atau ambisi ekonomi sesaat—terus merobek jantung ekosistem ini. Hilangnya hutan bukan sekadar isu lingkungan, melainkan sebuah kontrak bencana yang sedang kita tanda tangani untuk masa depan.
Melucuti Pelindung Tanah dan Air
Dampak pertama dan paling nyata dari deforestasi terjadi pada dua elemen fundamental: tanah dan air.
Ketika benteng pepohonan dirobohkan, bumi seolah dilucuti dari pakaiannya. Akar-akar pohon yang selama ini berfungsi sebagai semen pengikat tanah mendadak hilang. Akibatnya, saat hujan turun, tanah menjadi tak berdaya. Kita menyaksikan erosi yang massif, memicu longsor dan hilangnya lapisan tanah subur (topsoil) yang tak ternilai harganya. Tanah yang tererosi ini kehilangan unsur hara, menjadikannya lahan kritis yang tak lagi produktif—sebuah pukulan telak bagi kedaulatan pangan nasional.
Di saat yang sama, tanah yang tergerus itu tidak hilang begitu saja. Ia mengendap di sungai dan waduk, menyebabkan sedimentasi yang mempercepat pendangkalan. Ironisnya, proses ini adalah salah satu pemicu utama banjir yang semakin sering kita alami.
Fungsi hutan sebagai “spons raksasa” juga ikut lenyap. Tanpa serapan maksimal, air hujan langsung meluncur di permukaan. Ini menciptakan fenomena banjir bandang yang tiba-tiba, merusak infrastruktur dan memporakporandakan permukiman. Sebaliknya, saat kemarau tiba, kita merasakan dampaknya melalui kekeringan karena tidak ada lagi cadangan air tanah. Sungai-sungai kehilangan baseflow (aliran dasar) dan mengering, menandakan siklus hidrologi telah rusak parah.
Menukar Pepohonan dengan Krisis Iklim
Jika dampaknya di darat sudah begitu brutal, kerusakan yang ditimbulkan di atmosfer jauh lebih mengglobal dan mengancam. Deforestasi adalah akselerator utama Perubahan Iklim (Climate Change).
Pohon adalah pemurni udara terbaik di dunia; ia menyerap CO2, gas rumah kaca utama. Ketika hutan ditebang atau dibakar, karbon yang tersimpan dalam biomassa pohon dilepaskan kembali ke atmosfer dalam jumlah besar. Ini bukan sekadar hilangnya fungsi paru-paru bumi, tetapi juga pelepasan polutan yang terperangkap. Kita secara kolektif mempercepat pemanasan global dan memperburuk kualitas udara, diperparah dengan emisi asap dari kebakaran hutan.
Konsekuensinya adalah pola cuaca yang tak stabil—curah hujan tak menentu, badai lebih sering, dan musim yang kacau balau.
Indonesia, dengan hutan tropisnya, adalah salah satu gudang keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Di sini, deforestasi berarti kepunahan permanen. Hutan adalah rumah bagi ribuan spesies endemik; ketika habitatnya musnah, spesies-spesies ini tidak punya tempat lain untuk pergi.
Hilangnya keanekaragaman hayati ini merusak seluruh rantai ekosistem, menjadikannya tidak seimbang dan rentan penyakit. Puncaknya, adalah meningkatnya konflik satwa–manusia—harimau, gajah, dan orangutan yang kehilangan hutan terpaksa masuk ke perkampungan, menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi.
Membaca Amanah Ilahi
Dampak deforestasi merasuk hingga ke ranah sosial dan spiritual. Kita menyaksikan bencana ekologis—banjir, asap, penyakit pernapasan—yang meningkatkan kerugian ekonomi nasional dan menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat dan petani. Perebutan sumber daya akibat pembukaan hutan juga seringkali memicu konflik agraria yang berdarah.
Dalam perspektif spiritual, krisis ini adalah pengingat keras akan amanah yang telah kita sia-siakan.
Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rūm: 41).
Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis adalah konsekuensi langsung dari ulah kita. Islam mewajibkan ihyā’ al-ardh (menghidupkan bumi) dan menugaskan manusia sebagai khalifah yang wajib menjaga kelestarian bumi, bukan merusaknya demi keuntungan jangka pendek.
Deforestasi, pada akhirnya, bukan sekadar urusan menanam atau menebang. Ia adalah ancaman sistemik bagi stabilitas iklim, kedaulatan pangan, kesehatan manusia, dan keamanan sosial.
Kita tidak bisa lagi bersikap pasif. Upaya penyelamatan hutan harus dilakukan secara holistik, sistemik, dan berkelanjutan. Ini menuntut kolaborasi tanpa syarat antara pemerintah dalam penegakan hukum, korporasi dalam praktik bisnis yang bertanggung jawab, masyarakat dalam aksi nyata, dan komunitas agama dalam spirit menjaga bumi sebagai amanah Ilahi.
Paru-paru bumi sedang kesulitan bernapas. Jika kita membiarkannya, cepat atau lambat, kita semua akan ikut terengah-engah.
Penulis: Ir. Safii Latuconsina, (Dewan Pakar Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

