Cara-cara yang dilakukan oleh sejumlah oknum polisi yang memperlakukan rakyat dengan semena-mena, seperti yang terjadi dalam demo terkait UU Cipta Kerja beberapa hari terakhir ini, mengingatkan saya kepada masa penjajahan Belanda.
Pada masa itu, kompeni dengan beringas, dan kasar serta dengan tidak mengenal rasa perikemanusiaan sedikitpun, memukul menendang dan menginjak-injak orang pribumi yang menentang dan memprotes kebijakan yang dibuat oleh si penjajah.
Tindakan biadab tersebut mereka lakukan tentu tujuannya adalah untuk membungkam kelompok pribumi. Tujuannya supaya cengkraman kekuasaan mereka sebagai penjajah di negeri ini semakin lebih kuat lagi.
Tapi kalau yang melakukan hal seperti itu adalah oknum polisi Republik Indonesia, yang setiap bulannya gajinya dibayar dengan uang rakyat, pertanyaan saya kemana nasionalisme dan hati nurani mereka. Kemana sila-sila dari Pancasila yang sering mereka ucapkan setiap upacara tersebut, terutama sila keduanya yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mereka tempatkan?
Tidakkah mereka sadar bahwa orang-orang yang mereka hadapi itu, adalah juga anak-anak bangsa yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945 untuk menyampaikan pandangan dan sikapnya. Pandangan itu, termasuk untuk mengkritisi kebijakan dan keputusan pemerintah yang mereka nilai mengancam dirinya, lingkungan dan masyarakat luas.
Lalu mengapa tindakan dan perlakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan Pancasila, serta perikemanusiaan itu mereka lakukan terhadap para demonstran tersebut? Apakah mereka tidak punya hati dan perasaan? Bagaimana kalau tindak kekerasan dan kebiadaban itu menimpa isteri dan anak-anak, serta keluarga besar mereka? Apakah mereka bisa menerimanya? Tentu saja tidak, bukan!
Oleh karena itu, kita menghimbau kepada pihak kepolisian atau kepada siapa saja di negeri ini, agar dalam bertindak dan menindak rakyat supaya terukur. Tindakan itu, jangan sampai karena kemarahan dan kebencian kepada para demonstran, atau kepada siapa saja, lalu kita menjadi tidak berlaku adil terhadap mereka. Kita jangan menyamakan para demonstran tersebut seperti musuh dalam medan peperangan. Itu amat berbeda sekali.
Para demonstran itu adalah juga saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Demonstran itu, punya kesamaan dengan kita, sama-sama cinta terhadap bangsa dan negeri ini. Oleh karena itu, kami benar-benar tidak bisa menerima para demonstran yang mereka gebuk tersebut. Apalagi, pemukulan tidak berhenti, meski demonstran sudah menyerah dan minta-minta ampun. Demonstran masih saja terus dihajar. Tidak heran, jika siapapun yang melihatnya tentu akan tersayat-sayat rasa kemanusiaan dan hati nuraninya.
Penulis: Anwar Abbas, sebagai anak bangsa yang gundah, pemerhati masalah sosial ekonomi dan politik yang saat ini menjabat sebagai Sekjen Majelis Ulama Indonesia dan Ketua PP Muhammadiyah.